Serangan Umum Surakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Db84x (bicara | kontrib)
Db84x (bicara | kontrib)
Baris 84:
== Peristiwa setelah Serangan Umum Solo ==
 
Pada tanggal 11 Agustus terjadi banyak pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh Polisipasukan Militerkhusus BelandaBaret Hijau (Green Cap) atau KST yang menewaskan banyak penduduk sipil antara lain: di Sambeng-32 orang tewas, di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas. Situasi tersebut mendorong terjadinya pertempuran apalagi pasukan TNI terutama pihak DEN II TP Brigade XVII tidak mau menerima perjanjian ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangan umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.
di Sambeng-32 orang tewas ,di pasar Nongko-67 tewas,di Serengan-47 orang tewas,di Padmonegaran Gading-21 tewas,di Pasar Kembang-24 orang tewas.
 
Selain itu Mayor Akhmadi juga mengeluarkan kebijakan yang berbeda dan menimbulkan situasi kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Solo), dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah yang berkedudukan di Sala, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Yogyakarta. Kedua, sebagai pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi: “anggota angkatan Perang dan Pegawai Pemerintah Sipil, sekeluarnya instruksi ini harus berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor akhmadi mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:
Akibatnya terjadi pertempuran lagi akibat peristiwa tersebut di atas.Pada siang hari tanggal 11 Agustus 1949, pihak Belanda yang diwakili Kol Van Ohl mengajak berunding dengan Letkol Slamet Riyadi agar semua pasukan TNI ditarik hingga batas kota dan barikade dibersihkan. Pihak Letkol Slamet Riyadi menerima syarat ini karena ada jaminan dari Van Ohl bahwa ada janji:
* Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.
* Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.
* Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 137.)
Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau Istana Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan Pasukan Belanda, Kolonel Van Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata berlangsung dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30. Pihak Belanda yang diwakili Kol. Van Ohl mengajak berunding dengan Letkol Slamet Riyadi agar semua pasukan TNI ditarik hingga batas kota dan barikade dibersihkan. Pihak Letkol Slamet Riyadi menerima syarat ini karena ada jaminan dari Van Ohl bahwa ada janji:
* Teror belanda tidak terulang lagi
* Tidak akan diadakan pembunuhan terhadap sipil yang membantu TNI
* Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).
Sebenarnya pasukan TNI terutama pihak DEN TP Brigade XVII tidak mau menerima usul ini karena hampir seluruh Kota Solo telah berhasil diduduki dalam serangn umum tersebut dan pihak Belanda telah jelas-jelas melanggar pada tanggal 11 agustus 1949.
* Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.
* Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI.
* Penyerahan kota Sala akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949) (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan Sekitarnya, 130).
Menindak lanjuti hasil pertemuan ini Letnan Kolonel Slamet Riyadi sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan.
 
Sempat terjadi perbedaan pendapat antara Brigade V dengan Den II TP Brigade XVII.Mayor Ahmadi berpegang teguh pada perintah Panglima Divisi II Kol Gatot Subroto.Mayor Ahmadi menginstruksikan agar pasukan TP tetap dalam sektor masing-masing dengan posisi terakhir dan tidak bertanggung jawab terhadap penarikan pasukan ke batas kota dan memerintahkan apabila Belanda melanggar lagi agar ditindak oleh masing-masing sektor. Sedang pihak Brigade V berpegang teguh pada : Berlakunya gencatan senjata tanggal 3-10 agustus 1949, yang berminat berunding adalah Belanda yang sedang terdesak, dan mengurangi kekejaman pasukan Belanda terhadap sipil. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh pasukanya.
 
Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel [[Suprapto]] akhirnya mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil, dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”
Permasalah ini sampai ke Kepala Staf Divisi, Letkol [[Suprapto]] (pahlawan Revolusi). Letkol Suprapto tidak dapat memberikan keputusan, akhirnya Panglima Divisi Ii, Kolonel [[Gatot Subroto]] memutuskan agar Mayor Ahmadi mengalah dan mematuhi perintah Letkol Slamet Riyadi selaku Dan Brigade V/PS. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.
 
Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II Kolonel [[Gatot Subroto]], setelah dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak, kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula. Pada tanggal 24 Agustus 1949 urusan keamanan kota diserahkan kepada Mayor Ahmadi selaku Komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo.
 
== Pengaruh Serangan Umum Solo ==