Chairuddin Ismail: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Andri.h (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Andri.h (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.{{fact}} Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan [[asuransi]] berkebangsaan [[Kanada]] yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.{{fact}} Lewat [[Menteri Luar Negeri]] [[Alwi Shihab]], Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.{{fact}} Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah [[Jaksa Agung]] [[Marzuki Darusman]] ikut turun tangan.{{fact}} Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.{{fact}} Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.{{fact}} Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.{{fact}} Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat{{fact}}. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
 
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri.{{fact}} Namun, Bimantoro menolak.{{fact}} Pada tanggal [[2 Juni]] [[2001]], Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri<ref>[http://www.tribuneindia.com/2001/20010603/world.htm#5 "Wahid appoints new deputy police chief"]</ref>. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.{{fact}} Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni{{fact}}, yang berlaku surut 1 Juni 2001.{{fact}} Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan Presiden dengan parlemen.{{fact}}
 
Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.{{fact}} Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.{{fact}} Bertepatan dengan peringatan [[Hari Bhayangkara]], 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai [[Duta Besar]] RI di [[Malaysia]]<ref>[http://www.tempo.co.id/harian/fokus/64/2,1,6,id.html "Bimantoro Non-Aktif, Chairuddin Jadi Wakapolri"]</ref>. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal [[21 Juli]] [[2001]], dia melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan [[sidang istimewa]], meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.{{fact}}
 
== Lihat pula ==