Revolusi Sosial Sumatra Timur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Sumatra Timur +Sumatera Timur); kosmetik perubahan
Baris 3:
 
== Latar belakang ==
Karena sulitnya komunikasi dan transportasi, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. [[Teuku Mohammad Hasan|Teuku Muhammad Hasan]] selaku Gubernur Sumatra dan Mr. Amir selaku Wakil Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan Merdeka), [[Medan]] pada tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di [[Belawan]]. Kedatangan pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda di Medan.<ref>Kalender Peristiwa 6 Oktober 1945 Sejarah TNI [http://sejarahtni.mil.id/index.php?cid=1973&page=4]</ref> Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan Deli [http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Kota_Medan#Perkebunan_Tembakau] sehingga mengakibatkan migrasi buruh (koeli) perkebunan yang diangkut oleh Belanda. Pada awal abad ke-20, hampir separuh penduduk SumatraSumatera Timur adalah buruh pendatang yang banyak dieksploitasi oleh Belanda.
 
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia karena setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA, sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan penggalangan massa para buruh perkebunan.<ref name="Sinuhaji">Patologi Sebuah Revolusi:
Baris 9:
 
== Revolusi Sosial Maret 1946 ==
[[Berkas:Amir_hamzah_duke_of_langkat.jpg‎|thumb|right|upright|Amir Hamzah salah satu korban Revolusi SumatraSumatera Timur]]
Di Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan
mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati, termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.
Baris 19:
<ref>Sejarah Kabupaten Karo [http://karokab.go.id/in/index.php?option=com_content&view=article&id=123:revolusi-sosial-&catid=47:kemerdekaan&Itemid=105]</ref>
 
Pada tanggal 5 Maret Wakil Gubernur Mr. Amir mengeluarkan pengumuman bahwa gerakan itu suatu “Revolusi Sosial”. Keterlibatan aktivis Partai Komunis dalam revolusi sosial di Sumatera Timur memberikan kontribusi besar; terlebih lagi tanggal 6 Maret 1946, Wakil Gubernur Dr. Amir secara resmi mengangkat M. Joenoes Nasoetion, yang juga ketua PKI SumatraSumatera Timur sebagai Residen Sumatera Timur. Untuk meminimalkan korban Revolusi Sosial, Residen Sumatera Timur M. Joenoes Nasution untuk sementara waktu bekerjasama dengan BP.KNI maupun ''Volksfront'', dan Mr. Luat Siregar diangkat menjadi Juru Damai (Pacifikator) untuk seluruh wilayah Sumatera Timur dengan kewenangan seluas-luasnya.
<ref>Revolusi Sosial di SumatraSumatera Timur oleh Fandy Harwinanto [http://fandyharwinanto.wordpress.com/2010/03/25/revolusi-sosial-di-sumatera-timur]</ref>
 
 
Baris 32:
 
 
'''A. Pendahuluan'''
 
Sebagian orang Simalungun tidak sependapat dengan penulis tentang topik yang sensitif ini. Mereka mengatakan bahwa isu Revolusi Sosial tidak pantas untuk dibuka kembali, biarlah kejadian itu berlalu seiring dengan beralihnya waktu. Justru hal ini yang mendorong penulis untuk lebih jauh mengetahui apa sih Revolusi Sosial itu? Ketika saya membaca buku Anthony Reid yang berjudul Perjuangan Rakyat, barulah saya paham, mengapa orang Simalungun seakan tabu membicarakan Revolusi Sosial itu, sebab menyangkut sejarah perjalanan orang Simalungun yang mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM berat, di mana satu generasi kaum terpelajar orang Simalungun yang kebetulan berlatar belakang kaum bangsawan Simalungun dibantai dengan sangat sadis dan kejam di luar perikemanusiaan oleh orang-orang yang berhati iblis atas nama “Kemerdekaan Republik Indonesia”.
 
 
'''B. Simalungun Menjelang Revolusi Sosial'''
 
Daerah Simalungun yang penduduk aslinya adalah halak (suku bangsa) Simalungun berada di antara suku-suku Batak lainnya, seperti Tapanuli yang dihuni suku Batak Toba dan Pakpak, Karo dan di timur dekat pantai berdiam orang-orang Melayu. Sejak abad XIII diberitakan bahwa orang Simalungun sudah bersentuhan dengan budaya Jawa-Hindu yang dibuktikan dengan pemakaian destar batik sebagai tutup kepala laki-laki Simalungun. Sedangkan budaya India-Hindu diperkirakan sudah hadir di antara orang Simalungun setidaknya sejak abad ke VI dengan hadirnya Kerajaan Nagur yang menurut kisah orang-orangtua berketurunan dari tanah India nun jauh di seberang pulau Sumatra. Seterusnya pengaruh Aceh pun masuk ke Simalungun lewat vazal-vazalnya di pesisir (Serdang dan Deli) dengan kehadiran lembaga konfederasi Raja Marompat yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Panei, Dolog Silou, Siantar dan Tanoh Jawa pada abad XV. Demikian seterusnya sampai kedatangan penjajah Belanda ke Simalungun sejak akhir abad XIX yang membawa perubahan sosial yang besar di Simalungun lewat kehadiran para planters (tuan-tuan kebun), para buruh kuli kontrak dari Jawa dan petani penggarap sawah dari Tapanuli Utara (Batak Toba) yang sengaja didatangkan Belanda demi menunjang kelanggengan usaha para planters yang menguntungkan keuangan kolonial itu. Seterusnya demi menghempang masuknya pengaruh Islam yang semakin meluas di kalangan suku Simalungun, maka didatangkanlah suku Batak Toba Kristen sebagai penyeimbang populasi (dan malahan melampaui populasi penduduk asli). Dengan demikian orang Simalungun semakin terjepit dan menjadi kelompok minoritas di kampungnya sendiri.
 
 
Meskipun demikian, rupa-rupanya pemerintah Belanda yang sudah menguasai daerah Simalungun sejak tahun 1888 itu (takluknya Tanoh Jawa, Tanjung Kasau dan Siantar) dan dipatahkannnya perlawanan sekelompok masyarakat di Raya oleh Rondahaim yang wafat 1891 masih mempertahankan struktur sosial masyarakat Simalungun yang berpola kerajaan itu. Hal ini memang disengaja oleh pemerintah kolonial dalam rangka penghematan anggaran dan mempermudah pengawasannya atas daerah ini, mereka tidak perlu repot membentuk struktur pemerintahan baru, sebab daerah Simalungun sudah diatur secara struktur birokrasi yang berpola monarki dengan pusat pemerintahan yang disebut pamatang tempat kedudukan raja dan para pejabat-pejabat kerajaannya. Demikianlah sampai masuknya dan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 daerah Simalungun berdiri atas pemerintahan tersendiri yang terbagi atas kerajaan-kerajaan (urung) yaitu: Tanoh Jawa, Siantar, Panei, Raya, Purba, Dolog Silou dan Silimakuta. Daerah Simalungun sendiri berada dalam lingkup wilayah Propinsi Sumatera Timur yang berkedudukan di Medan. Bersama etnis Melayu dan Karo, suku Simalungun diakui oleh para antropolog dan sejarawan sebagai penduduk asli (native groups) daerah Sumatera Timur.[1]
 
 
Sesudah kekalahan Jepang dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia di Jakarta yang wilayahnya diklaim meliputi bekas daerah kekuasaan Hindia Belanda (dengan demikian termasuk Sumatera Timur) pada 17 Agustus 1945. Untuk daerah Sumatera Utara deklarasi kemerdekaan diumumkan kemudian tanggal 30 September 1945 dalam suatu pawai para pemuda nasionalis di Medan ibukota keresidenan Sumatera Timur. Semangat kemerdekaan yang besar di kalangan rakyat tidak diikuti semangat serupa di kalangan kaum bangsawan. Sebaliknya kaum aristokrat Sumatera Timur itu dengan terang-terangan menunjukkan sikap yang menyebabkan kebencian di kalangan pendukung kemerdekaan; mereka berharap kedatangan Belanda kembali akan merestorasi kedudukan mereka sebelum perang. Akibatnya pecah ketegangan di antara kaum pergerakan nasionalis Indonesia dengan para aristokrat itu yang menyebabkan garis di antara kedua kelompok itu semakin tajam perbedaannya. Gaya hidup serba kemewahan dan keborosan serta kesombongan kaum aristokrat Melayu semakin menuai kebencian dan dendam di antara rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Khususnya terhadap sultan Langkat dan sultan Deli yang merupakan penguasa pribumi Melayu yang cukup kaya dengan keuntungan minyaknya dan sewa atas tanah perkebunan dari para planters. Situasi rawan yang seperti ini sudah pasti menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak dan dengan sangat baik sekali dimanfaatkan kaum berhaluan kiri, khususnya orang-orang Komunis. Gagasan komuis sendiri sudah sejak 1925 masuk ke Sumatera di bawah pimpinan Sutan Said Ali. Setelah pecah pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926-1927 para tokoh-tokoh PKI banyak yang ditangkap dan dibuang Belanda ke Boven Digul Papua. Di antara yang dibuang itu terdapat seorang pemuda Batak Toba terpelajar berpendidikan Belanda, Urbanus Pardede yang kelak memimpin aksi Revolusi Sosial di Simalungun dan menggantikan Maja Purba sebagai Bupati Simalungun. [2] Selanjutnya Xarim MS (Mau Senang) seorang ahli pidato dan tokoh komunis terkemuka di Aceh yang sudah malang-melintang di gerakan PKI sejak tahun 1926-1927. Pada zaman Jepang dia berhasil mengambil simpati sunseibucho (Gubernur Jepang) Nakashima dan membentuk organisasi BOMPA (Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia), .[3] Selain itu masih terdapat nama Saleh Umar seorang pemimpin nasionalis yang sudah memimpin PNI, Partindo dan Gerindo sejak zaman Belanda. Kemudian Jakub Siregar anak Martua Raja Siregar yang aktif di politik bersama dengan Saleh Umar. Mereka kemudian membentuk dan memimpin pada tahun 1944 organisasi Ken Ko Ku Tui Sin Tai atau Barisan Harimau Liar di bawah pelatihan dari Inoue seorang perwira Jepang. [4] Organisasi ini diresmikan secara rahasia pada 20 Maret 1945 sebagai suatu organisasi militer, dengan Inoue sebagai komandan, Jacob Siregar sebagai wakil komandan, Saleh Umar sebagai kepala staf dan Abdullah Jusuf dan Nulung Sirait sebagai perwira staf. Para pemuda direkrut untuk dikirim mengikuti pelatihan Talapeta dalam bidang pertanian, strategi militer dan ajaran nasionalisme selama satu sampai tiga bulan. Jumlah kadernya sekitar 50000 orang yang terdiri dari kaum tani dan nelayan dari etnis Batak Toba, Simalungun dan Karo yang beroperasi di dataran tinggi SumatraSumatera Timur.[5] Selanjutnya masih ada nama Luat Siregar sahabat karib Xarim MS yang menjadi anggota PKI sejak 1945 dan pernah menjabat residen Sumatera Timur (April-September 1946) setelah berhasil menyingkirkan Tengku Hafas kerabat Sultan Deli dari Bedagai. Lalu dr. Mohammad Amir seorang ahli jiwa dokter pribadi Sultan Langkat yang menjabat Wakil Gubernur Sumatera yang setelah pecah Revolusi Sosial membelot ke pihak Belanda (isterinya seorang Belanda). Sedangkan Saragihras sebagai komandan BHL di Simalungun lebih berperan sebagai eksekutor atas perintah dari para aktor intelektual di atas.
 
 
Baris 57:
 
 
'''C. Revolusi Sosial Pecah di Simalungun'''
 
Secara teoritis, revolusi adalah wujud perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang masyarakat dari dalam dan pembentukan ulangmanusia. Revolusi tidak menyisakan apapun dari keadaannya sebelumnya.[13] Dalam pengertian ini menurut Stzompka, revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial. Jalannya revolusi menurut para sosiolog berada dalam sepupuh tahapan, yang pertama sekali didahului oleh kondisi khas yang disebut “revolutionary prodrome” yang ditandai oleh ketidakpuasan, keluhan, kekacauan dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selanjutnya menjalar pada perpindahan kesetiaan intelektual sebagai hasil agitasi kelompok tertentu dengan cara-cara tertentu seperti penyebaran pamflet atau doktrin yang menentang rezim yang lama.[14]
Baris 68:
 
 
Sungguh beruntung kita mendapat informasi terkini dari saksi mata hidup dari kalangan korban revolusi sosial Tengku Luckman Sinar tentang duduk perkara Comite van Onvangst (Panitia Penyambutan) yang dijadikan dasar tuduhan dari golongan kiri membenarkan tindakan kejam yang disebut mereka revolusi sosial itu. Menurut keterangan Tengku Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, berita itu masih desas-desus di Sumatera (maklum komunikasi tidak secanggih sekarang ini). Berita seperti itu pun cenderung ditutupi kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul desas-desus bahwa tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para tokoh dan penguasa tradisional Sumatera Timur ke rumahnya di Jl Raja/Jl. Amaliun Medan, seperti Xarim MS dan Mr. Yusuf berunding di rumahnya membentuk panitia diketuai Sultan Langkat dan wakil ketua Tengku Mansyur untuk menjelaskan kepada Sekutu alasan mereka bekerjasama dengan Jepang. Panitia inilah yang diisukan kaum kiri sebagai Comite van Onvangst, panitia yang akan menangkapi para tokoh kemerdekaan.[18] Tuduhan yang sampai hari ini tidak terbukti, meskipun para pelaku revolusi sosial telah menggeledah dan membakar istana-istana raja Simalungun, sultan Melayu dan Sibayak Karo. Slogan-slogan bernada revolusioner, seperti “rajar-raja penghisap darah rakyat”, “kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat” menggelora di mana-mana. Para provokator ini kebanyakan adalah dari etnis bukan Simalungun, selain A. E. Saragihras yang menjadi eksekutor di lapangan, tidak diketahui apakah ada etnis Simalungun yang duduk di belakang meja mengatur tindakan biadab itu. Tetapi sudah pasti berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah mereka ketahui bahwa PKI dan Harimau Liar bekerjasama erat sekali dalam tindakan itu. Volksfront (front perjuangan rakyat) dan PARSI yang berdiri pertengahan Februari 1946 yang mana “Pasukan Kelima” dari dr. F. J. Nainggolan turut bergabung. Pesindo sendiri selaku organisasi pemuda pejuang sudah sedemikian rupa dipengaruhi oleh PKI. Tetapi yang lebih mengejutkan dari penelitian Tengku Luckman Sinar, ternyata aksi revolusi sosial itu ternyata sudah lama juga direncanakan pihak penjajah Belanda sejak tahun 1906, di mana kekuasaan kerajaan bumiputera semakin diperkecil, bahkan ada yang dihapus, seperti kerajaan Riau (1911). Pada tahun 1926, Belanda sudah mengangkat panitia untuk itu yaitu Extraterritorialiteitcommisie yang bertujuan bahwa wilayah pemerintahan sendiri yang otonomi itu harus dilenyapkan secara perlahan-lahan dan tatkala raja-raja sudah tidak ada lagi maka demokrasi lokal akan berkembang dan hapuslah kerajaan bumiputera itu.[19] Dan untuk tujuan itu, Belanda telah memakai agennya bernama dr. Amir wakil gubernur Sumatra seorang teosof lulusan Belanda yang beristrikan seorang perempuan Belanda (yang pada zaman Belanda sudah disamakan statusnya dengan Belanda)yang membelot ke NICA pada 23 April 1946. Dia kemudian meninggal di Belanda tahun 1949.[20]
 
 
Pembantaian atas kaum bangsawan Simalungun ini memang sejarah yang sulit diterima logika, sebab hanya dengan alasan “antek penjajah” yang dialamatkan kepada kaum bangsawan Sumatera Timur sudah menjadi dasar untuk tindakan pembantaian, perampokan bahkan pemerkosaan yang jelas tindakan manusia-manusia yang tidak bertuhan. Tengku Luckman Sinar dari hasil penelitiannya membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku republikein itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono dan Zainal Baharuddin dan Saleh Umar serta eksekutor lapangan A. E. Saragihras dari Barisan Harimau Liar (BHL) di Simalungun. Dalam pemeriksaan oleh pihak berwajib mereka mengaku bahwa tindakan itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya untuk menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh penghalang pada kemerdekaan. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera tidak berada di Medan, sebab pada hari itu Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk kunjungan ke Sumatera Selatan. Kehadiran Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menggagalkan rencana Markas Agung tersebut. Wakil Gubernur Mohammad Amir yang sepaham dengan Markas Agung (Residen Abdul Karim) mengatur perjalanan Gubernur mulai 6 Februari 1946. Di saat Gubernur tidak berada di Medan, dilancarkanlah aksi pembantaian tersebut. Sehari sebelum gubernur berangkat, Residen Sumatera Timur Tengku Hafas (yang kemudian dipecat Markas Agung) mengunjungi gubernur di rumahnya, mengungkapkan firasat buruknya, bahwa sepeninggal gubernur akan terjadi suatu peristiwa. Ternyata firasat Tengku Hafas benar. Teuku Hasan menulis: “Firasat itu benar, 1 Maret bertempat di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, volksfront/PKI—M. Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama divisi IV-TRI-Kol. A. Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir), dan dengan bantuan wakil gubernur Moh. Amir—bermusyawarah untuk menumpas kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur pada tanggal 3 Maret 1946. [21]
 
 
'''D. Jalannya Aksi Pembantaian'''
 
Pada tanggal 3 Februari 1946 raja-raja, sibayak dan sultan seluruh Sumatera Timur sudah menyatakan tekad mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia di hadapan wakil pemerintah Gubernur Mohammad Hasan, termasuk dr. Moh. Amir, Tengku Hafaz, Abdul Xarim MS dan pejabat Republik lainnya. Sedangkan seluruh penguasa swapraja Sumatera Timur hadir termasuk sultan Siak Sri Indrapura dari Riau. Dari Simalungun hadirRaja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya diwakili Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) itu dipimpin oleh Ketua KNI Sumatera Timur Mr. Luat Siregar.[22] Sultan Langkat pada waktu itu mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur menugucapkan pidato yang salah satunya berbunyi: “kami sultan-sultan dan raja-raja telah mengambil keputusan bersama untuk melahirkan sekali lagi itikad kami bersama untuk berdiri teguh di belakang Presiden dan Pemerintah Republik Indonesia dan turut menegakkan dan memperkokoh Republik kita”.[23] Meskipun demikian tegas pernyataan para penguasa tradisional tersebut, aksi pembantaian tetap berlangsung yang diiringi tindakan perampokan harta benda para kaum bangsawan, pembakaran dan perusakan istana kerajaan bahkan pemerkosaan puteri-puteri bangsawan seperti terjadi di kesultanan Langkat. Peristiwa sadis ini berlangsung di istana Tanjungpura kesultanan Langkat. Puteri Langkat itu demi menyelamatkan nyawa ayahnya Sultan Langkat terpaksa bersedia melayani nafsu binatang Marwan dan Usman Parinduri pelaku pembantaian itu. Kesadisan mereka dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “... kedua puteri itu menjerit-jerit kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengar itu dari kamar sebelah”.[24]
Baris 82:
 
 
'''1. Kerajaan Panei.'''
 
Pada masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba Dasuha, anak tertua Tuan Marjandi adik kandung raja Panei (Tuan Anggi Panei) menginformasikan kepada keluarga raja Panei di Pamatang Panei bahwa akan ada malam itu gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan sultan-sultan, supaya raja dan keluarga menyelamatkan diri ke rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman) Pematangsiantar.
 
Pada hari itu juga Tuan Nagapanei (berdasarakan informasi dari Richard Nainggolan) melaporkan kepada raja Panei bahwa A. E. Saragihras dan laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan menjarah ke istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri. Anehnya, meskipun raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan BHL pimpinan laweinya sendiri A. E. Saragihras itu, dia bergeming tidak menyelamatkan diri ke Pematangsiantar.Pihak istana hanya melakukan tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari laksar Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa. Menurut Tuan Kamen Purba, abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di sekitar istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Tuan Aliamta Purba yang masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi oleh kelurga besar raja. Di tengah malam tiba-tiba listrik padam, rupanya pasukan BHL sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak berdaya menghadapinya, ada yang tewas dan sebagian diikat. Pasukan BHL berjumlah lebih kurang 50 orang itu naik ke istana, mereka tidak berbicara dan memakai penutup wajah. Serempak mereka masuk dan menjarah seluruh istana raja membawa karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan raja, mengambil emas banyak sekali dari peti, uang perak gulden dan uang kertas Jepang. Pokoknya semua disikat tidak ada yang ketinggalan. Raja, raja muda dan Tuan Djautih dan seluruh perempuan dewasa diikat tangannya. Senjata revolver rajamuda turut dirampas. Seluruh isi istana dijarah dan raja, dua puteranya dan 28 rakyat yang tidak rela meninggalkan rajanya turut diikat dan dinaikkan ke dalam 2 buah truk. Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan raja Panei disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori, dekat Tiga Sibuntuon. Beruntung Tuan Marga Idup Purba dan Tuan Iden, Tuan Abraham dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana berlari ke Nagahuta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang yang pada Minggu siang masih sempat berkunjung ke istana. Dari sana berangkat ke Pagarjawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di Pematangsiantar (rumah Tuan Madja Purba Bupati Simalungun). Tuan Kamen sendiri pada malam itu bersama denggan Inang Bona (Puang Bona), isteri raja Panei/puteri dari Siantar di ladang raja Panei di Nagahuta. Abangnya Tuan Nalim sedang bersekolah di Pematangsiantar. Rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl. Sudirman) sudah dikuasai BHL dan dijadikan markas mereka. Mobil pribadi raja Panei dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang sudah mengkudeta Tuan Madja Purba sebagai Bupati. Harta raja Panei habis disikat dan istana (rumah panggung berasiterktur semi Melayu) kemudian dibakar atas pimpinan seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang merupakan istana lama utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh dimakan usia, karena ketiadaan perawatan.
 
Sesudah berita penculikan raja Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun mengejar jejak BHL ke arah Saribudolok dan Tigaras. Akhirnya mereka menemukan mayat keluarga aristokrat Panei berikut rakyat yang telah tewas mengenaskan itu. Menurut berita, mayat raja Panei, kepalanya dipenggal, tombak menembus duburnya sampai ke leher dengan lidah dicabut paksa. Mayat raja kemudian dimakamkan di dekat istananya yang sudah rata dengan tanah di Pamatang Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat kerajaan yang tewas itu. Sampai raja Panei meninggal, dia masih bertahan dengan agama suku dan tidak pernah menjadi Islam atau Kristen (tetapi lebih condong ke Islam). Anakboru Panei Tuan Djademan Saragih Garingging tuan Dologsaribu (ayah Prof. Dr. Boas Saragih) tewas dibantai dengan kejam. Tuan Nagapanei Tuan Djamonang Purba Sidadolog juga tewas dibunuh. Pembantaian terhadap keluarga raja Panei masih berlanjut sampai bulan April 1947, putera-putera raja Panei yang sudah aktif di perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba tewas dibunuh BHL, menyusul Tuan Kortas tuan Marjandi dan Tuan Mintari Purba kerani Kerajaan Panei. Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah bila tidak diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan.[30]
 
 
'''2. Tanoh Jawa.'''
 
Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya raja Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL dan mereka tinggal di Pematangsiantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya rajamuda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL.[31] Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.[32]
 
 
'''3. Kerajaan Siantar.'''
 
Pemangku raja Siantar Tuan Sawadim Damanik pada waktu itu luput dari pembunuhan oleh BHL, karena pada waktu itu, beliau berada di rumahnya di Pamatang Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang menggarap sawah di sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas dibunuh, termasuk tuan Sipolha Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah Tuan Djabanten Damanik). Bangsawan di Sipolha yang paling banyak mengalami pembantaian oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif lebih terisolir di pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak keluarga tuan Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan mengungsi sampai ke luar negeri. diperkirakan ada ratusan korban mati dibantai oleh BHL di Sipolha. Tuan Sidamanik sendiri Tuan Ramahadim Damanik bersama rajamuda Sidamanik Tuan Mr. Djariaman Damanik (lahir 1920) sudah mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke Pematangsiantar. Mr. Djariaman bertolak belakang dengan tuduhan Markas Agung adalah seorang republikein sejati yang turut melatih pasukan TKR di Tapanuli dengan pangkat Letnan Satu. Setelah bermufakat di rumah pesanggerahan Tuan Sidamanik, Tuan Bisara Sinaga tuan Djorlang Hataran, Tuan Baja Purba tuan Dolog Batunanggar, Tuan Djansen Saragih tuan Raya Kahean (anak Tuan J. Kaduk Saragih) berlindung di Kantor Polisi RI.[33] Beberapa hari kemudian Tuan Djariaman Damanik menemukan buku kecil berwarna merah darah beredar di kota Pematangsiantar yang judulnya “Revolusi Perancis dan Revolusi Soviet Rusia” di sampul terdapat lukisan palu arit, simbol partai komunis. Penulis buku itu menginformasikan bahwa tindakan “revolusi sosial di Suamatera Timur” pada 3-4 Maret 1946 adalah gerakan yang sama. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan Djariaman Damanik memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR RI atas saran Komandan TKR Pematangsiantar Rikardo Siahaan. Dikawatirkan bergabungnya Rajamuda Sidamanik ke dalam TKR menimbulkan kesan TKR = Tentara Keamnana Raja.[34]
 
 
'''4. Kerajaan Purba.'''
 
Meskipun raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas Langit bersama anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara misterius. Tuan Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras. Semuanya berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947 (agresi kedua). Pantai Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat manusia yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau memakan ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam perut ikan itu. Pada tahun 1947 pemangku raja Purba Tuan Karel Tanjung gelar Parajabayak tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan Madja Purba pejabat pemerintah RI yang pernah menjadi Bupati Simalungun (dan dikudeta tokoh PKI Urbanus Pardede pasca revolusi) dan pejabat Gubernur Sumatera Utara. Keturunan raja Purba yang lain Mr. Tuan Djaidin Purba pernah menjabat sebagai walikota Medan. Tuan Djomat Purba (Tuan Anggi) terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper NST (untuk mempertahankan diri dari pelaku revolusi). Baik Tuan Mogang dan Tuan Djomat adalah putera Simalungun yang pantas dibanggakan, keduanya adalah anak yang dilahirkan Puangbolon Kerajaan Purba dari Siantar.[35]
 
 
'''5. Kerajaan Silimakuta.'''
 
Raja Silimakuta yang saudah aktif di Markas Agung juga tewas dan tidak diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo. Bersama beliau turut tewas dibunuh dokter pertama orang Simalungun dr. Djasamen Saragih (anak Pangulubalei Djaudin Saragih). Keluarga raja Silimakuta kemudian mendirikan tugu baginya di Tigaraja Kec. Silimakuta Barat. Konon mayat Raja Silimakuta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat Kabanjahe. Turut juga ditangkap Pangulubalei Djaudin Saragih abang Pdt. J. Wismar Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur masih hidup diselamatkan TRI.
 
 
'''6. Kerajaan Dolog Silou.'''
 
Raja Dologsilou terakhir Tuan Bandar Alam Purba Tambak berhasil diselamatkan rakyatnya sendiri dari keganasan pasukan BHL dan berdiam di Pematangsiantar.
 
 
'''7. Kerajaan Raya.'''
 
Nasib naas menimpa pemangku raja Raya Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging gelar Tuan Raya Kahean. Beliau seorang maestro seni Simalungun yang tidak ada tandingannya sampai hari ini dan perintis pembangunan jalan penghubung Sondiraya-Sindarraya. Semasa dia menjabat sebagai penguasa swapraja di Raya, sungguh banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat seperti pengadaan listrik dan air minum serta transportasi bus yang diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute Pematangsiantar-Pematang Raya. Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu menghadiri acara keluarga saudaranya Tuan Manakraya, bersama Opas Radan Sitopu dan Penilik Sekolah (Schoolopziner) Saulus Siregar. Ketiganya ditangkap dan dibawa ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang Sigodang). Opas Radan Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan Kaduk tewas dipenggal lehernya dan dihanyutkan di sungai Bah Hutailing tersebut. Mayatnya kemudian ditemukan TRI dan dibawa ke Pematangsiantar dan dimakamkan secara agama Kristen di belakang Gereja HKBP Kampung Kristen Pematangsiantar oleh pendeta HKBP. Pada waktu dia meninggal baru dua orang anaknya yang sudah berumahtangga dari 12 orang putera-puterinya. Salah seorang yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah Rondahaim Saragih yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama berdiam di Australia dan Aberson Marle Sihaloho yang dikenal selaku politisi. Tuan Anggi Raya yang dikenal dengan gelar Tuan Pamah (Tuan Pusia Saragih Garingging) memilih harakiri (gantung diri) di kampung Hutadolog Merekraya ketimbang ditangkap BHL. Keluarga bangsawan Raya lainnya melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman.[36] Menurut Dja Sarlim Sinaga, turut dibunuh Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim Damanik, Parudo Girsang dari Saribudolok. Mereka-mereka ini adalah orang yang sebenarnya tidak ada hubungan darah dengan raja Raya, tetapi dibantai juga.[37] Sasaran BHL bukan lagi kaum bangsawan, tetapi juga mereka yang kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis (dokter, mantri, bidan), guru bahkan mereka yang kesan hidupnya terlihat kebarat-baratan.[38] Revolusi sosial dilihat sebagai sebagian orang sebagai ajang balas dendam dengan motif-motif pribadi yang berdampak sampai sekarang ini.
 
 
'''E. Penutup'''
 
Tidak cukup rasanya hanya dengan sekian lembar halaman uraian tentang sejarah pembantaian kaum bangsawan Simalungun ini. Topik ini sangat menarik untuk dikaij oleh sejarawan yang berminat pada masalah perubahan sosial. Kita melihat bahwa revolusi sosial yang dikatakan dr. Amir (otak pembantaian) bukanlah revolusi dalam arti yang sesungguhnya yang mendatangkan kesejahteraan, tetapi justru sejarah kelam. Masyarakat Simalungun menjadi terkotak-kotak dan mengalami beban sejarah. Orang Simalungun terpaksa harus menjalani hidupnya dengan segala ketertekanan akibat pengaruh revolusi ini. Identitas selaku orang Simalungun apalagi yang kebetulan marganya dekat atau masih ada keturunan dengan marga kerajaan sudah cukup untuk alasan pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan kekerasan, sehingga keturunan raja-raja Simalungun menjadi risau dan kuatir akan keselamatannya, banyak yang akhirnya menutupi identitasnya dan memakai identitas yang dirasakannya aman. Menanggalkan identitas kebangsawanannya dengan identitas yang aman di daerah pengungsian atau bahkan di kampungya sendiri.
Baris 190:
 
* '''Makalah disampaikan pada Harungguan Bolon DPP Partuha Maujana Simalungun di Auditorim Radjamin Purba USI Pematangsiantar tanggal 22-23 Oktober 2010.'''
* '''Penulis adalah Pendeta GKPS, suku Simalungun tinggal diJl Pdt. J.Wismar Saragih, Pematangsiantar, bekerja di Kantor Pusat GKPS Pematangsiantar.'''
 
 
Baris 261:
[34] Ibid., hlm. 30-40. Sewaktu di Dolok Sanggul Tapanuli, T. Djariaman Damanik bertemu dengan A. E. Saragihras yang pasukan BHL-nya mundur ke Tapanuli. Ketika ditanyakan seputar revolusi itu, Saragihras tidak ingin membicarakannya lebih dalam. Dia hanya bertanya tentang keadaan keluarga T. Djariaman.
 
[35] T. B. A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun (Pematangsiantar: Percetakan HKBP, 1982), hlm.112.
 
[36] Sinopsis Pemakaman Kembali Tuan J. Kaduk Saragih Garingging, Pamatangraya, 1995, hlm. 1-4.