Pancaran Sinar Petromak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks''' (disingkat '''PSP''') adalah grup musik [[dangdut]] humor asal [[Indonesia]] yang popular pada paruh akhir dekade [[1970-an]], terutama di kalangan [[mahasiswa]]. Grup musik ini seringkali tampil bersama-sama dengan [[Warkop]] pada masa jayanya. Selain sering memainkan dan memelesetkan lagu-lagu dangdut popular tahun 1960-an dan 1970-an (misalnya ''Siksa Kubur'' atau ''Seia Sekata''), mereka juga dikenal dari lagu-lagu yang diciptakan sendiri, seperti ''Fatime'' dan ''Drakula''. OM PSP dapat dianggap pelopor dangdut humor, [[genre|subgenre]] yang masih disukai hingga sekarang.
 
Para personil OM PSP di antaranya adalah mahasiswa [[Universitas Indonesia]] yang berkampus di Rawamangun, Jakarta. Mereka adalah Rojali, Monos, James, Dindin, Aditya, Ade dan beberapa orang lagi. Debut mereka pertamakali tampil di [[TVRI]] pada peringatan ulang-tahun TVRI di tahun 1978. Setelah itu, mereka tampil dalam beberapa film yang juga lumayan sukses di pasaran. Hanya saja, kekuatan mereka adalah pada aransemen musik yang khas dan celotehan lirik lagu yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat. Ketika mereka memplesetkan lagu ''My Bonnie'' dengan irama Melayu, sangat jelas kelihatan proses kreatifnya yang amat tinggi, begitu pula saat mereka menyanyikan salah-satu lagu hits kelompok musik [[The Beatles]] (''Can't Buy MyMe Love''). Proses kreatif itu yang menjadikan karya-karya mereka sulit ditandingi oleh grup-grup serupa yang muncul pada kurun tahun belakangan.
 
Dalam penampilannya di layar kaca TVRI pada tahun 1978 itu, PSP manggung bersama Dono, Kasino, Indro (Warkop) dan Nanu. Nanu inilah yang dikenal karena lagu 'Cubit-Cubitan'-nya yang berlogat Batak, padahal Nanu berasal dari [[Jawa Tengah]]. Munculnya, grup OM PSP ini akan sangat bagus kalau dikontekstualisasikan pada zaman ketika pergerakan mahasiswa 77/78 memperoleh momentumnya. Pada saat itu, gerakan mahasiswa sedang gencar mengkritik berbagai ketimpangan sosial. Rojali, salah-satu personil grup PSP berhasil dengan bagus memotret ketimpangan itu dalam lagu 'Duta Merlin'. Lagu yang ringan, yang menunjukkan kesenjangan sosial dan dimulainya era kapitalisasi spasio-stemporal di Jakarta pada lokasi-lokasi tertentu.