Filsafat linguistik: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-standarisasi +standardisasi)
Botrie (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 36:
 
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat, kurang sesuai untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu samar, tidak eksplisit (tidak lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks (''context dependent'') dan sering menimbulkan salah paham.
Di dalam kelompok ini terdapatlah orang-orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya suatu bahasa buatan manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu perlu diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat dikoreksi.
 
== Aturan-aturan terpokok suatu bahasa ==
Baris 43:
Perangkat aturan pertama bersifat ''semantik''. Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat dibagi lebih lanjut sebagai berikut :
* Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu kata sifat, maka hasilnya akan berupa suatu pernyataan.”
* Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu. Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
* Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung ‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin. <br />
 
Baris 59:
'''2. Fungsi standardisasi'''<br />
 
''Pertama-tama'', bahasa baku berfungsi sebagai semacam ''lingua franca'' di dalam masyarakat yang menggunakan bermacam-macam dialek. Dengan bahasa standar ini, orang dari berbagai daerah dapat saling berhubungan dengan baik. Sebagai misal, orang dari Temburung dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang dari Seria. Orang dari Aceh dapat saling berhubungan dengan orang dari Bali, Manado, atau dari Irian Jaya.<br />
 
Karena orang dari masyarakat lain itu biasanya belum dikenal secara akrab, maka sebaiknyalah bahasa yang dipakai itu bersifat sopan. Jadi, kalau dialek memancarkan nuansa arti akrab, maka bahasa baku memancarkan nuansa arti sopan santun. Jadi, di samping berfungsi sebagai ''lingua franca'' di dalam masyarakat dari berbagai macam dialek, bahasa baku juga berfungsi sebagai pengantar kesopan-santunan. Bahasa baku harus dapat dipakai untuk menyampaikan hal-hal dalam suasana yang santun.<br />
Baris 105:
 
Kalau hal ini dibalik, dapatlah dikatakan bahwa idiolek yang berlain-lainan itu sebetulnya dimiliki oleh pribadi yang berlain-lainan pula. Dengan kata lain, idiolek yang berlain-lainan itu dapatlah dipakai untuk mengidentifikasi pribadi orang yang berlain-lainan pula.
Dengan kata lain, sesuatu variasi bahasa itu dapat dipakai untuk menjadi tandanya seseorang individu. Kalau individu itu sabar, maka akan tercerminlah kesabaran itu di dalam idioleknya. Kalau individu itu peramah, maka akan tercerminlah keramahan itu di dalam idioleknya. Kalau individu seorang yang pemberani, maka akan tercermin di dalam cara bicaranyalah sifat keberanian itu, dst.<br />
 
'''5. Dialek dan Rasa Solidaritas'''<br />
Baris 120:
Berhubungan erat dengan fungsinya sebagai pemupuk rasa solidaritas, bahasa juga dapat dipakai sebagai alat penunjang rasa kemandirian bangsa. Suatu bangsa biasanya mempunyai bahasa sendiri untuk mengekspresikan dirinya tanpa didikte oleh bangsa lain. Bahasa yang tersendiri ini diperlakukan, karena bangsa itu biasanya memiliki segi-segi kehidupan yang khusus, yang tak dimiliki oleh bangsa lain. Bangsa itu mungkin mempunyai sistem pemerintahannya sendiri; mungkin mempunyai adat-istiadat yang berbeda dengan bangsa lain yang mana pun; mungkin mempunyai agama dan kehidupan kesenian yang khas; mungkin mempunyai cara-cara menyelesaikan perkara secara lain, dst. Kesemuanya itu ada lambang-lambangnya sendiri. Karena inilah, maka biasanya bahasa yang dimilikinya lain dari bahasa yang lainnya. <br />
 
Rasa kemandirian ini biasanya ditentukan oleh pemilikan bahasa yang mempunyai standarnya sendiri. Kalau si bangsa itu mempunyai bahasa yang bermartabat tinggi di negerinya sendiri, maka bangsa itu biasanya juga merasa menjadi tuan di negerinya sendiri. Tetapi, kalau bahasa yang dipakainya itu hanyalah dialek dari bahasa lain, maka bangsa itu sering merasa tergantung pada bangsa yang memiliki bahasa yang ada standarnya itu. Bangsa itu kurang berdikari dalam berbagai segi kehidupannya. Bangsa itu kurang dapat membanggakan pencapaiannya sendiri. <br />
 
Sebetulnya, yang terpenting di dalam rasa kemandirian ini ialah adanya kebebasan bangsa itu di dalam menentukan standar bahasa itu, sistem tulisnya, tata kalimatnya, idiom-idiomnya, nilai-nilai kesopanan serta keindahan di dalam bahasa itu, dan selanjutnya dapat memakai bahasa itu secara natural untuk mengekspresikan diri dan menciptakan apa saja yang ingin mereka ciptakan tanpa berkiblat pada bangsa yang mana pun.<br />
Baris 145:
== Referensi ==
* Harimurti Kridalaksana (2008). '''Kamus Linguistik''' (edisi ke-Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-3570-8.
* Alih bahasa : Soejono Soemargono,Louis O. Kattsoff,. (2004). '''Pengantar filsafat'''. Tiara Wacana. Yogya. ISBN 979-8120-01-9.
* Poedjosoedarmo, S. (2001). '''Filsafat bahasa'''. Muhammadiyah University Press. Surakarta. ISBN : 979-636-024-1.