Atheis (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Naval Scene (bicara | kontrib)
marxis, tidak pernah ditulis marksis
Botrie (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 29:
Terjadi pembahasan yang cukup panas saat ''Atheis'' terbit. Tokoh-tokoh agama, Marxis-Leninis, dan anarkis menolak novel ini karena kurang menjelaskan ideologi mereka masing-masing, sementara tokoh-tokoh sastra dan masyarakat banyak memuji roman ini. Penerimaan baik ini mungkin disebabkan diperlukannya penyatuan nasional oleh [[Pemerintah Indonesia]]. Sebelum tahun 1970, ''Atheis'' sudah diterjemahkan ke dalam [[bahasa Melayu]], dan pada tahun 1972 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; pada tahun 1974 novel ini [[Atheis (film)|diadaptasikan menjadi film]]. Selain menerima penghargaan dari pemerintah pada tahun 1969, ''Atheis'' sudah termasuk dalam [[UNESCO Collection of Representative Works]].
 
== Alur ==
 
Alur ''Atheis'' bersifat tidak linier. Menurut ahli sastra Indonesia asal [[Belanda]] [[A. Teeuw]], plot novel ini menggunakan urutan sebagaimana dirumuskan di bawah. Huruf A mewakili masa yang dibahas dalam tulisan tokoh Hasan (dari masa kecil sampai bercerai dengan Kartini), huruf B mewakili masa yang diceritakan narator, dan huruf C mewakili waktu Hasan terbunuh.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}}
Baris 45:
Dalam keadaan sakit-sakitan, Hasan mendekati seorang jurnalis dan menyerahkan suatu tulisan berisi riwayat hidupnya; jurnalis ini bersedia menerbitkan karya Hasan itu bilamana terjadi sesuatu kepada Hasan. Tak lama kemudian, Hasan keluar rumah setelah [[jam malam]] dan tertembak oleh patroli Jepang. Dia lalu meninggal setelah disiksa, dengan kata terakhirnya "[[Allahu Akbar]]". Hari berikutnya, Rusli dan Kartini menjemput mayatnya.
 
== Tokoh dan penokohan ==
{{anchor|Hasan}}
;Hasan
Baris 60:
:Kartini adalah seorang perempuan Marxis-Leninis yang diperkenalkan Rusli kepada Hasan. Karena Kartini mirip dengan cinta Hasan yang pertama, Hasan jatuh cinta padanya. Namun, setelah mereka menikah Hasan menjadi semakin cemburu dan mempertanyakan hubungan Kartini dengan Anwar, yang suka main mata dengannya. Ketika Anwar menjemput dia dari stasiun kereta api sehabis Kartini menjenguk tantenya, Anwar berusaha untuk memaksakan Kartini berhubungan mesra. Kartini menolak dan meninggalkan hotel, diikuti oleh Anwar. Setelah Hasan mencerainya karena interpretasinya atas kejadian ini, Kartini tinggal sendirian. Akhirnya Kartini menangis keras ketika mengetahui Hasan telah meninggal.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=78–79}}
 
[[FileBerkas:Chairil Anwar.jpg|thumb|Penyair [[Chairil Anwar]] mungkin menjadi inspirasi tokoh Anwar.]]
{{anchor|Anwar}}
;Anwar
Baris 70:
:Narator, yang hanya muncul di bagian novel yang dia menarasi, hanya disebut "saya" dalam novel. Tidak banyak yang diketahui tentang dia, selain bahwa dia seorang jurnalis.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}} Menurut penulis dan kritikus sastra Indonesia [[Subagio Sastrowardoyo]], narator ini tampaknya mewakili Achdiat dan digunakan untuk menyampaikan ajaran moral kepada pembaca melalui sarannya kepada Hasan.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=159}}
 
== Gaya penulisan ==
''Atheis'' adalah novel Indonesia pertama yang menggunakan tiga gaya naratif.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}}{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=159}} Awal roman dimulai dengan penjelasan kunjungan Rusli dan Kartini ke markas polisi Jepang setelah mendengarkan berita Hasan telah mati; ini ditulis dengan teknik "dia"-an mahatahu. Kemudian, narator yang hanya diberi julukan "saya" menjelaskan dari sudut pandang orang pertama bagaimana dia berkenalan dengan Hasan dan bagaimana Hasan sampai menyerahkan tulisan riwayat hidupnya. Ini diikuti oleh sebuah manuskrip yang dikatakan merupakan karya Hasan sendiri. Manuskrip ini menceritakan kehidupan Hasan dari sudut pandangnya dengan menggunakan istilah "aku". Setelah sebuah napak tilas di mana narator menceritakan pertemuan terakhirnya dengan Hasan dengan menggunakan kata "saya", bagian terakhir ''Atheis'' menceritakan kematian Hasan dengan menggunakan "dia"-an mahatahu.{{sfn|Teeuw|1980|p=273}}{{sfn|Maier|1996|p=138}} Menurut Teeuw, ini berfungsi untuk menghindari [[karikatur]]isasi tokoh utama sebelum menggunakan sudut pandangnya.{{sfn|Teeuw|1980|p=274}} Namun, Achdiat menyatakan bahwa itu hanya agar cerita berjalan dengan lancar.{{sfn|Mihardja|2009|p=195}}
 
Baris 77:
[[Diksi]] dalam ''Atheis'' menunjukkan pengaruh [[bahasa Sunda]] yang besar. Menurut Teeuw, [[bahasa Indonesia]] yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis [[Orang Minang|Minang]] yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu. Menurut Teeuw, ini karena Achdiat dibesarkan dengan bahasa Sunda dan [[bahasa Belanda|Belanda]]; dengan demikian, bahasa Indonesianya kurang lancar dibanding penulis Minang atau yang lebih muda.{{sfn|Teeuw|1980|p=275}} Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti ''[[Salah Asuhan]]'' (1928) karya [[Abdul Muis]], ''[[Layar Terkembang]]'' (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan ''[[Belenggu]]'' (1940) karya [[Armijn Pane]].{{sfn|Maier|1996|p=131}} Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita,{{sfn|Balfas|1976|p=91}} sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa ''Belenggu'' malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum ''Atheis''.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=162}}
 
== Tema ==
Pada tahun 1986, Achdiat Karta Mihardja menulis bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk mempertimbangkan [[Filsafat ketuhanan|ada-tidaknya Tuhan]].{{sfn|Mihardja|2009|p=180}} Menurut Mahayana dkk., tema utama ini terdapat di seluruh novel; mereka juga mencatat bahwa saat ''Atheis'' diterbitkan pertanyaan tersebut belum pernah dibahas dalam karya sastra Indonesia modern.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=80}} Maier berpendapat bahwa rasa bersalah, ketakutan, dan penyesalan menjadi dorongan kuat untuk novel ini.{{sfn|Maier|1996|p=142}}
 
Teeuw menjelaskan bahwa novel ini mengangkat tema klasik hubungan dunia modern dan tradisi dengan cara duniawi, yang beda dari karya-karya sebelumnya.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Balfas menulis bahwa pendekatan tema serupa ini di kemudian hari digunakan oleh penulis lain.{{sfn|Balfas|1976|p=91}}
 
== Simbolisme ==
Biarpun Achdiat menegaskan bahwa ''Atheis'' dimaksud untuk bersifat realistis dan bukan simbolis, ada sejumlah pembacaan simbolik yang pernah diusulkan. Menurut Achdiat, yang paling umum ialah bahwa kematian Hasan dimaksud untuk menggambarkan kemenangan atheisme atas agama, dengan kematian Hasan menjadi kematian [[theisme]].{{sfn|Mihardja|2009|p=188}}
 
Menurut Maier, ''Atheis'' menjadi suatu [[alegori]] untuk perkembangan negara Indonesia. Hasan, yang mewakili tradisionalisme, dibunuh oleh orang Jepang, yang telah mengubah keadaan di [[Hindia Belanda]] saat menduduki Nusantara pada tahun 1942. Sementara, Anwar yang cenderung [[anarki]]s tidak mempunyai tempat di dunia modern. Hanya tokoh modern yang bertanggung jawab, yaitu Rusli, mampu menguatkan negara Indonesia, sebagaimana diwakili Kartini, untuk menghadapi dunia baru.{{sfn|Maier|1996|p=147}}
 
== Penulisan dan ilham ==
Achdiat Karta Mihardja, yang lahir dan dibesarkan di [[Garut]], [[Jawa Barat]], dididik sebagai jurnalis{{sfn|Maier|1996|p=130}} sebelum berpindah ke Batavia pada tahun 1941 untuk bekerja pada penerbit resmi [[Hindia Belanda]], [[Balai Pustaka]]. Saat di Batavia, pada tahun 1945 dia mulai bergabung dengan kelompok sastranya [[Chairil Anwar]], Republika. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] dan mulainya [[Sejarah Indonesia (1945–1949)|Perang Kemerdekaan]], Achdiat melarikan diri ke Jawa Barat dan bergabung dengan [[Partai Sosialis Indonesia]] yang dipimpin [[Sutan Sjahrir]]. Latar belakang ini digunakan untuk menulis ''Atheis'' dari bulan Mei 1948 sampai Februari 1949.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}}
 
Menurut Achdiat, beberapa ideologi yang paling umum di Indonesia pada saat itu ialah Marxisme–Leninisme, nihilisme, dan anarkisme; ini mempengaruhi pilihannya untuk menggambarkan Rusli dan Anwar sebagai penganut ideologi tersebut.{{sfn|Mihardja|2009|p=192}} Pada saat itu, penulis baru seperti [[Idrus]], [[Asrul Sani]], dan Chairil Anwar menjadi semakin kritikal terhadap generasi penulis Indonesia sebelumnya, yang mereka anggap berpikiran sempit dan kurang nasionalis.{{sfn|Maier|1996|p=130}} Achdiat, yang lebih tua daripada kebanyakan penulis kontemporer dan mempunyai gaya yang mirip seperti mereka, tidak suka akan hal tersebut; menurut Maier, ini mungkin membuat dia menggambarkan Chairil Anwar sebagai tokoh Anwar yang banyak kekurangannya.{{sfn|Maier|1996|p=130}}
 
== Penerbitan ==
''Atheis'' diterbikan pada tahun 1949 oleh Balai Pustaka, yang menjadi penerbit nasional Indonesia merdeka;{{sfn|Maier|1996|p=129}} ''Atheis'' merupakan novel Achdiat yang pertama.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=79}} Menurut Teeuw, dengan diterbitkannya ''Atheis'' Achdiat langsung menjadi terkenal.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}} Maier mencatat bahwa sambutan baik ini mungkin tidak hanya karena kekuatan roman, melainkan juga karena kepribadian dan kedudukan Achdiat, yang sejalan dengan perlunya negara untuk menggunakan sastra, sebagai kebudayaan nasional yang paling berkembang, untuk membangun negara.{{sfn|Maier|1996|p=134}}
 
Baris 99:
Achdiat sendiri menghasilkan dua novel lain: ''Debu Cinta Bertebaran'' (1973), yang diterbitkan di [[Singapura]]; dan ''Manifesto Khalifatullah'' (2005), yang diterbitkan di Jakarta.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|p=79}}{{sfn|The Jakarta Post 2010, Obituary: 'Atheist' writer}} Pada peluncuran ''Manifesto Khalifatullah'', sebuah novel bertema agama, Achdiat menyatakan bahwa itu merupakan "balasan atas ''Atheis''", setelah dia menyadari bahwa "Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi wakil-Nya di Bumi, bukan Setan.".{{sfn|The Jakarta Post 2010, Obituary: 'Atheist' writer}}
 
== Penerimaan terhadap novel ==
Menurut Achdiat, tokoh agama menolak keras novel ini karena menggambarkan Hasan, yang mereka menganggap sebagai wakil agama dan orang beriman, sebagai orang yang tidak dapat mengatasi godaan; mereka juga tidak setuju dengan kurangnya pembahasan doktrin agama.{{sfn|Mihardja|2009|p=183}} Tokoh-tokoh Marxis dan anarkis juga merasa bahwa ideologi mereka kurang dijelaskan, dan menganggap bahwa tokoh Rusli dan Anwar tidak benar-benar mencerminkan pemikiran para filsuf seperti [[Karl Marx]] dan [[Friedrich Nietzsche]].{{sfn|Mihardja|2009|p=184}} Sebagai tanggapan, Achdiat menulis bahwa tokoh-tokoh tersebut dimaksud untuk realistis, dan jarang ada orang di kehidupan nyata yang mempunyai pengetahuan tentang suatu ideologi yang sangat mendalam seperti yang diinginkan para kritikus.{{sfn|Mihardja|2009|p=185}}
 
Namun, pembaca lain – terutama dari dunia sastra – memuji ''Atheis'', termasuk [[Pramoedya Ananta Toer]] dan [[Hamka|Haji Abdul Malik Karim Amrullah]].{{sfn|Maier|1996|p=129}} Sastrowardoyo menyebutnya suatu "well made novel", dengan kisah diakhiri dengan baik ketika Hasan meninggal.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=158}} Teeuw menulis bahwa ''Atheis'' adalah roman pertama yang benar-benar menarik setelah perang kemerdekaan.{{sfn|Teeuw|1980|p=272}}
 
== Rujukan ==
;Catatan kaki
{{reflist|colwidth=30em}}
Baris 262:
}}
{{refend}}
{{featured article}}
 
[[Kategori:Buku tahun 1949]]
[[Kategori:Sastra Indonesia]]
 
{{featured article}}
[[en:Atheis]]