Surat Berharga Syariah Negara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nashrul Hakiem (bicara | kontrib)
Baris 18:
Rancangan Undang-undang (RUU) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) disahkan menjadi Undang-Undang pada rapat paripurna [[Dewan Perwakilan Rakyat]] Republik Indonesia di Gedung DPR Jakarta pada tanggal 9 April 2008. Pembahasan RUU SBSN ini telah berlangsung sejak tahun 2005.
 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
== Catatan kaki ==
NOMOR.19 TAHUN 2008
 
TENTANG
{{reflist}}
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa strategi dan kebijakan pembangunan nasional
untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera serta untuk memulihkan sektor ekonomi, perlu
disertai dengan upaya pengelolaan keuangan negara
secara optimal melalui peningkatan efisiensi dalam
pengelolaan barang milik negara dan sumber pembiayaan
anggaran negara;
b. bahwa dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk
meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dalam menggerakkan perekonomian
nasional secara berkesinambungan, diperlukan
pengembangan berbagai instrumen keuangan yang
mampu memobilisasi dana publik secara luas dengan
memperhatikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya
yang berkembang dalam masyarakat;
c. bahwa potensi sumber pembiayaan pembangunan
nasional yang menggunakan instrumen keuangan
berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum
dimanfaatkan secara optimal;
d. bahwa sektor ekonomi dan keuangan syariah perlu
ditumbuhkembangkan melalui pengembangan instrumen
keuangan syariah sebagai bagian dari sistem
perekonomian nasional dalam rangka peningkatan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
e. bahwa instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen
keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan
pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut
instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan;
f. bahwa …- 2 -
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Surat
Berharga Syariah Negara;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20A ayat
(1), Pasal 23, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT BERHARGA
SYARIAH NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat
berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap
Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta
asing.
2. Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini
untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
3. Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau
Barang Milik Negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa
tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau
bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan
sebagai dasar penerbitan SBSN.
4. Barang …- 3 -
4. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
5. Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Ijarah adalah Akad yang satu pihak bertindak sendiri atau
melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu aset kepada
pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang
disepakati.
7. Mudarabah adalah Akad kerja sama antara dua pihak atau
lebih, yaitu satu pihak sebagai penyedia modal dan pihak
lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan
dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah
yang telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang
terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia
modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian
penyedia tenaga dan keahlian.
8. Musyarakah adalah Akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk menggabungkan modal, baik dalam
bentuk uang maupun bentuk lainnya, dengan tujuan
memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan sesuai
dengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya,
sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung bersama
sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing
pihak.
9. Istishna’ adalah Akad jual beli aset berupa obyek
pembiayaan antara para pihak dimana spesifikasi, cara
dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
10. Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi
hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai
dengan Akad penerbitan SBSN, yang diberikan kepada
pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode SBSN.
11. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
12. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
13. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan
SBSN baik di dalam maupun di luar negeri untuk pertama
kalinya.
14. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang
telah dijual di Pasar Perdana baik di dalam maupun di luar
negeri.
15. Nilai …- 4 -
15. Nilai Nominal adalah nilai SBSN yang tercantum dalam
sertifikat SBSN.
16. Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan mendapatkan
hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu
dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut.
17. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan.
18. Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara adalah
tambahan atas jumlah Surat Berharga Negara yang telah
beredar dalam satu tahun anggaran, yang merupakan
selisih antara jumlah Surat Berharga Negara yang akan
diterbitkan dengan jumlah Surat Berharga Negara yang
jatuh tempo dan/atau yang dibeli kembali oleh Pemerintah.
19. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa
surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan
masa berlakunya.
20. Surat Berharga Negara adalah Surat Utang Negara dan
SBSN.
21. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.
BAB II
BENTUK DAN JENIS
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 2
(1) SBSN diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa warkat.
(2) SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di Pasar
Sekunder.
Pasal 3 …- 5 -
Pasal 3
SBSN dapat berupa:
a. SBSN Ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad Ijarah;
b. SBSN Mudarabah, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Mudarabah;
c. SBSN Musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Musyarakah;
d. SBSN Istishna’, yang diterbitkan berdasarkan Akad Istishna’;
e. SBSN yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
f. SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau
lebih dari Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf e.
BAB III
TUJUAN PENERBITAN
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 4
SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai
pembangunan proyek.
BAB IV
KEWENANGAN DAN PELAKSANAAN PENERBITAN
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 5
(1) Kewenangan menerbitkan SBSN untuk tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berada pada
Pemerintah.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri.
Pasal 6 …- 6 -
Pasal 6
(1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh
Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah
maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan
Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 7
(1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih
dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan
proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang
bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan
nasional.
Pasal 8
(1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat
pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih
Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan
oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran.
(2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga
Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta
menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam
bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain
yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat
Berharga Negara secara hati-hati.
(3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi
Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan
dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang
bersangkutan.
Pasal 9 …- 7 -
Pasal 9
(1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran
semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul
sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang
Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN.
(2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal
setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh
Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai
dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN.
(3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun
sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai
Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan
pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran
tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam
pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
(5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan.
BAB V
PENGGUNAAN BARANG MILIK NEGARA
DALAM RANGKA PENERBITAN
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 10
(1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar
penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya Barang Milik
Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN.
(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. tanah …- 8 -
a. tanah dan/atau bangunan; dan
b. selain tanah dan/atau bangunan.
(3) Jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik Negara yang akan
digunakan sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan
Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak
Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang
sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka
penerbitan SBSN.
(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disewa kembali oleh Menteri berdasarkan suatu Akad.
(3) Dalam hal Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) sedang digunakan oleh instansi
Pemerintah dan akan digunakan sebagai Aset SBSN,
Menteri terlebih dahulu memberitahukan kepada instansi
Pemerintah pengguna Barang Milik Negara.
(4) Jangka waktu penyewaan Aset SBSN oleh Pemerintah
kepada Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan paling lama 60 (enam puluh)
tahun.
Pasal 12
(1) Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan
Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya
pada saat SBSN jatuh tempo.
(2) Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan
Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar
nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai
Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN.
BAB VI …- 9 -
BAB VI
PERUSAHAAN PENERBIT
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
DAN WALI AMANAT
Pasal 13
(1) Dalam rangka penerbitan SBSN, Pemerintah dapat
mendirikan Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(2) Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan badan hukum yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah badan hukum yang berkedudukan di dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(4) Perusahaan Penerbit SBSN bertanggung jawab kepada
Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, organ,
permodalan, fungsi, dan pertanggungjawaban Perusahaan
Penerbit SBSN diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Menteri menunjuk langsung pihak lain sebagai Wali
Amanat, dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh
Pemerintah.
(2) Perusahaan Penerbit SBSN bertindak sebagai Wali Amanat
bagi pemegang SBSN, dalam hal SBSN diterbitkan oleh
Perusahaan Penerbit SBSN.
(3) Perusahaan Penerbit SBSN dapat menunjuk pihak lain
dengan persetujuan Menteri untuk membantu
melaksanakan fungsi Wali Amanat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
Pasal 15
Wali Amanat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memiliki
tugas, antara lain:
a. melakukan …- 10 -
a. melakukan perikatan dengan pihak lain untuk kepentingan
pemegang SBSN;
b. mengawasi aset SBSN untuk kepentingan pemegang SBSN;
dan
c. mewakili kepentingan lain pemegang SBSN, terkait dengan
perikatan dalam rangka penerbitan SBSN.
Pasal 16
Perusahaan Penerbit SBSN dan pihak lain yang ditunjuk
sebagai Wali Amanat wajib memisahkan Aset SBSN dari
kekayaan perusahaan untuk kepentingan pemegang SBSN.
Pasal 17
Dalam melaksanakan fungsi sebagai Wali Amanat, Perusahaan
Penerbit SBSN harus menjaga kepentingan pemegang SBSN.
BAB VII
PENGELOLAAN
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal 18
(1) Pengelolaan SBSN baik yang diterbitkan secara langsung
oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit
SBSN diselenggarakan oleh Menteri.
(2) Pengelolaan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
antara lain, meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan SBSN
termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio SBSN;
c. penerbitan SBSN;
d. penjualan SBSN melalui lelang dan/atau tanpa lelang;
e. pembelian kembali SBSN sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan …- 11 -
f. pelunasan SBSN; dan
g. aktivitas lain dalam rangka pengembangan Pasar
Perdana dan Pasar Sekunder SBSN.
(3) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari pengelolaan Surat Berharga Negara
secara keseluruhan.
Pasal 19
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pengelolaan
SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Menteri
membuka rekening yang merupakan bagian dari Rekening
Kas Umum Negara.
(2) Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 20
SBSN wajib mencantumkan ketentuan dan syarat yang
mengatur, antara lain, mengenai:
a. penerbit;
b. Nilai Nominal;
c. tanggal penerbitan;
d. tanggal jatuh tempo;
e. tanggal pembayaran Imbalan;
f. besaran atau nisbah Imbalan;
g. frekuensi pembayaran Imbalan;
h. cara perhitungan pembayaran Imbalan;
i. jenis mata uang atau denominasi;
j. jenis Barang Milik Negara yang dijadikan Aset SBSN;
k. penggunaan ketentuan hukum yang berlaku;
l. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali SBSN
sebelum jatuh tempo; dan
m. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pasal 21 …- 12 -
Pasal 21
(1) Dalam hal SBSN diterbitkan di dalam negeri, Menteri
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen penata usaha
untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan yang
mencakup antara lain kegiatan pencatatan kepemilikan,
kliring, dan setelmen SBSN, baik dalam hal SBSN
diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun yang
diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2) Menteri dapat meminta Bank Indonesia untuk menunjuk
pihak lain sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan
kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal SBSN diterbitkan di luar negeri, Menteri
menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai agen
penata usaha untuk melaksanakan kegiatan
penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam menyelenggarakan kegiatan penatausahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia atau
pihak lain yang ditunjuk wajib membuat laporan
pertanggungjawaban kepada Pemerintah.
Pasal 22
(1) Menteri menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai
agen pembayar, baik dalam hal SBSN diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun yang diterbitkan
melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai agen pembayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan terlebih
dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(3) Kegiatan agen pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), antara lain, meliputi:
a. menerima Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN dari
pemerintah; dan
b. membayarkan Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN
sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada
pemegang SBSN.
Pasal 23 …- 13 -
Pasal 23
Menteri dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen lelang
SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah
maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
Pasal 24
Menteri menetapkan ketentuan mengenai penerbitan dan
penjualan SBSN dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa atau
pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah
dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.
Pasal 26
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan
SBSN dilakukan oleh otoritas yang melakukan pengaturan dan
pengawasan di bidang pasar modal.
BAB VIII
AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI
Pasal 27
(1) Menteri wajib menyelenggarakan penatausahaan dan
membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan SBSN.
(2) Pertanggungjawaban …- 14 -
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tahun yang bersangkutan.
Pasal 28
Menteri wajib secara berkala memublikasikan informasi
tentang:
a. kebijakan pengelolaan SBSN dan rencana penerbitan SBSN
yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu
penerbitan; dan
b. jumlah SBSN yang beredar beserta komposisinya,
termasuk jenis valuta, struktur jatuh tempo, dan besaran
Imbalan.
Pasal 29
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya, otoritas yang
melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berwenang memperoleh
data dan informasi mengenai SBSN secara langsung dari Bank
Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk sebagai agen penata
usaha SBSN.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
(1) Setiap Orang yang meniru, membuat palsu, atau
memalsukan SBSN dengan maksud memperdagangkan
SBSN tiruan, palsu, atau dipalsukan dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(2) Setiap …- 15 -
(2) Setiap Orang dengan sengaja tanpa wewenang menerbitkan
SBSN berdasarkan Undang-Undang ini, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah).
Pasal 31
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dilakukan oleh Korporasi maka tuntutan pidana
ditujukan kepada:
a. Korporasi; dan/atau
b. orang yang melakukan atau memberikan perintah baik
sendiri atau bersama-sama untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan
atau melalaikan pencegahannya.
(2) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi,
pidana pokok yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda
yang besarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) atau ayat (2) ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana
denda dimaksud.
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan izin usahanya.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar …- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 70 PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2008
TENTANG
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
I. UMUM
Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan nasional dalam
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu disertai dengan, antara lain, upaya pengelolaan keuangan
negara secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan
efisiensi dalam pengelolaan aset negara dan pengembangan sumber
pembiayaan anggaran negara, guna meningkatkan daya dukung Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dalam menggerakkan pembangunan sektor
ekonomi secara berkesinambungan.
Pengembangan berbagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara,
khususnya instrumen pembiayaan yang berdasarkan prinsip syariah guna
memobilisasi dana publik secara luas perlu segera dilaksanakan. Instrumen
keuangan yang akan diterbitkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah, memberikan kepastian hukum, transparan, dan akuntabel. Upaya
pengembangan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
tersebut, antara lain, bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan
peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas
basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan benchmark instrumen
keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun
internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5)
mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam
negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis
syariah; dan (6) mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di
Indonesia.
Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan.
Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam
yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen
pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu
antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil,
halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam
sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba,
yaitu …- 2 -
yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk
mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi,
judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur
ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas,
kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen
keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung
(underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus
dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Oleh karena itu,
mengingat instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah sangat
berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, untuk keperluan
penerbitan instrumen pembiayaan syariah tersebut perlu adanya
pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun
perangkat yang diperlukan.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak
diterbitkan baik oleh Korporasi maupun negara adalah surat berharga
berdasarkan prinsip syariah, atau secara internasional dikenal dengan
istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat
berharga konvensional. Perbedaan yang prinsip antara lain surat berharga
berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsep Imbalan bukan bunga
sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional dan
diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk
melakukan transaksi dengan menggunakan Akad berdasarkan prinsip
syariah.
Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pada
dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi.
Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan surat
berharga syariah, antara lain, meliputi Ijarah, Mudarabah, Musyarakah,
Istishna’, dan Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah,
serta kombinasi dari dua atau lebih dari Akad tersebut.
Sejalan dengan semakin meluasnya penggunaan prinsip syariah di pasar
keuangan dalam dan luar negeri, yang ditandai dengan semakin banyaknya
negara yang menerbitkan instrumen pembiayaan berbasis syariah dan
semakin meningkatnya jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah,
Indonesia perlu memanfaatkan momentum melalui penerbitan SBSN baik di
pasar domestik maupun di pasar internasional sebagai alternatif sumber
pembiayaan. Hal tersebut sejalan dengan semakin terbatasnya daya dukung
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk menggerakkan
pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan dan belum
optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan lainnya. Dengan
bertambahnya instrumen Surat Berharga Negara yang terdiri dari Surat
Utang Negara dan SBSN, diharapkan kemampuan Pemerintah dalam
pengelolaan anggaran negara terutama dari sisi pembiayaan akan semakin
meningkat. Selain itu, adanya SBSN akan dapat memenuhi kebutuhan
portofolio investasi lembaga keuangan syariah antara lain perbankan
syariah, reksadana syariah, dan asuransi syariah. Dengan bertambahnya
jumlah …- 3 -
jumlah instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah, diharapkan akan
mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah di dalam negeri.
Sejalan dengan itu, dalam rangka memberikan dasar hukum penerbitan
instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah dan untuk mendukung
perkembangan pasar keuangan syariah khususnya di dalam negeri, perlu
dilakukan penyusunan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah
Negara, yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan
pengelolaan SBSN.
SBSN ini merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah maupun
valuta asing berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Negara
Republik Indonesia, baik dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah
atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti atas bagian
penyertaan terhadap Aset SBSN, serta wajib dibayar atau dijamin
pembayaran Imbalan dan Nilai Nominalnya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan ketentuan perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN
tersebut.
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara ini secara garis
besar mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. transparansi pengelolaan SBSN dalam kerangka kebijakan fiskal dan
kebijakan pengembangan pasar SBSN dengan mengatur lebih lanjut
tujuan penerbitannya dan jenis Akad yang digunakan;
b. kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan SBSN, baik dilakukan
secara langsung oleh Pemerintah yang didelegasikan kepada Menteri,
ataupun dilaksanakan melalui Perusahaan Penerbit SBSN;
c. kewenangan Pemerintah untuk menggunakan Barang Milik Negara
sebagai dasar penerbitan SBSN (underlying asset);
d. kewenangan Pemerintah untuk mendirikan dan menetapkan tugas
badan hukum yang akan melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan
Penerbit SBSN;
e. kewenangan Wali Amanat untuk bertindak mewakili kepentingan
Pemegang SBSN;
f. kewenangan Pemerintah untuk membayar semua kewajiban yang
timbul dari penerbitan SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung
oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, secara
penuh dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut; dan
g. landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas tata cara dan
mekanisme penerbitan SBSN di Pasar Perdana maupun perdagangan
SBSN di Pasar Sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk
memiliki dan memperdagangkan SBSN secara mudah dan aman.
II. PASAL …- 4 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
SBSN dengan warkat adalah surat berharga berdasarkan prinsip
syariah yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama
maupun atas unjuk. Sertifikat atas nama adalah sertifikat yang
nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas unjuk
adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik
sehingga Setiap Orang yang menguasainya adalah pemilik yang
sah. SBSN tanpa warkat atau scripless adalah surat berharga
berdasarkan prinsip syariah yang kepemilikannya dicatat secara
elektronik (book-entry system). Dalam hal SBSN tanpa warkat,
bukti kepemilikan yang otentik dan sah adalah pencatatan
kepemilikan secara elektronis. Cara pencatatan secara elektronis
dimaksudkan agar pengadministrasian data kepemilikan
(registry) dan penyelesaian transaksi perdagangan SBSN di Pasar
Sekunder dapat diselenggarakan secara efisien, cepat, aman,
transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ayat (2)
SBSN yang diperdagangkan adalah SBSN yang diperjualbelikan
di Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri.
Perdagangan dapat dilakukan melalui bursa dan/atau di luar
bursa yang biasa disebut over the counter (OTC). SBSN yang tidak
diperdagangkan adalah (1) SBSN yang tidak dapat
diperjualbelikan di Pasar Sekunder dan biasanya diterbitkan
secara khusus untuk pemodal institusi tertentu, baik domestik
maupun asing, yang berminat untuk memiliki SBSN sesuai
dengan kebutuhan spesifik dari portofolio investasinya dan (2)
SBSN yang karena sifat Akad penerbitannya tidak dapat
diperdagangkan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b …- 5 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kombinasi Akad SBSN antara lain dapat dilakukan antara
Mudarabah dengan Ijarah, Musyarakah dengan Ijarah, dan
Istishna’ dengan Ijarah.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “membiayai pembangunan proyek” adalah
membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan
alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk
proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi,
perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan
rakyat.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Penerbitan SBSN baik secara langsung oleh Pemerintah maupun
melalui Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud dilakukan untuk
kepentingan Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya,
penerbitan SBSN tersebut dapat dilakukan di dalam negeri
maupun luar negeri. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit
SBSN dilakukan hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan
adanya Special Purpose Vehicle (SPV).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …- 6 -
Ayat (3)
Menteri menetapkan segala hal yang berkaitan dengan kebijakan
penerbitan SBSN, antara lain jumlah target indikatif penerbitan,
tanggal penerbitan, metode penerbitan, denominasi, struktur
Akad, pricing, dan hal-hal lain yang termuat dalam ketentuan dan
syarat (terms and conditions) SBSN. Dengan demikian, kewenangan
Perusahaan Penerbit SBSN hanya terbatas untuk menerbitkan
SBSN.
Pasal 7
Ayat (1)
Pemerintah mengadakan koordinasi dengan Bank Indonesia pada
awal tahun saat merencanakan penerbitan SBSN, sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari rencana penerbitan Surat Berharga
Negara untuk satu tahun anggaran. Koordinasi ini dimaksudkan
untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat
Berharga Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal,
termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat
tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di
dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan
Surat Berharga Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu
dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta
memberikan manfaat bagi Pemerintah dan masyarakat.
Ayat (2)
Koordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang
perencanaan pembangunan nasional antara lain meliputi jenis,
nilai, dan waktu pelaksanaan proyek. Proyek yang akan dibiayai
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 8
Ayat (1)
Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana
penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang
disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kepada
Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam hal ini adalah alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi
keuangan, untuk mendapatkan persetujuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …- 7 -
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hal-hal tertentu”, antara lain, adalah
penerbitan SBSN dalam rangka menutup kekurangan pembiayaan
anggaran, pembangunan proyek, dan/atau pengelolaan portofolio
Surat Berharga Negara menjelang akhir tahun anggaran karena
pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar keuangan yang
tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah Nilai Bersih
Maksimal Surat Berharga Negara yang telah disetujui terlampaui.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat
penerbitan SBSN dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya
kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk
pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang
bersangkutan.
Ayat (4)
Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai
Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh,
antara lain, perbedaan perkiraan kurs, dan/atau tingkat Imbalan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …- 8 -
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan” termasuk
proyek yang akan atau sedang dibangun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “selain tanah dan/atau bangunan”
dapat berupa barang berwujud maupun barang tidak
berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki
aliran penerimaan kas.
Ayat (3)
Menteri selaku Pengelola Barang Milik Negara menetapkan secara
rinci jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik Negara yang akan
dijadikan sebagai Aset SBSN. Menteri dapat menerbitkan
pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan
penguasaan Barang Milik Negara yang telah tercantum dalam
Daftar Barang Milik Negara, dalam hal belum tersedia Sertifikat
Hak Pakai atau bukti kepemilikan lain atas Barang Milik Negara
yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN.
Pasal 11
Ayat (1)
Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan
berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan
dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan
dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak
terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik
Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik
Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas
Pemerintahan.
Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang Milik Negara
dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah. Cara lain yang sesuai
dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN
antara lain, penggunaan Barang Milik Negara sebagai bagian
penyertaan dalam rangka kerja sama usaha dalam struktur
SBSN Musyarakah (partnership).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) …- 9 -
Ayat (3)
Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak
mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara
untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai
dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk
pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi
pengguna Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pemberitahuan tersebut bukan
merupakan permintaan persetujuan atau pertimbangan.
Ayat (4)
Berdasarkan struktur SBSN Akad Ijarah-Head Lease and Sub
Lease, jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Pemerintah
kepada Perusahaan Penerbit SBSN lebih panjang dari jangka
waktu penyewaan Aset SBSN dari Perusahaan Penerbit SBSN
kepada Pemerintah.
Pasal 12
Ayat (1)
Akad penerbitan SBSN lainnya adalah Akad selain SBSN yang
menggunakan Akad Ijarah antara lain SBSN yang menggunakan
Akad Musyarakah, Mudarabah, dan Istishna’.
Ayat (2)
Kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN antara
lain berupa sisa Nilai Nominal SBSN yang pelunasannya
dilakukan dengan cara amortisasi dan Imbalan yang belum
dibayarkan.
Pasal 13
Ayat (1)
Pemerintah dapat mendirikan lebih dari 1 (satu) Perusahaan
Penerbit SBSN sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (2)
Mengingat Perusahaan Penerbit SBSN memiliki karakteristik
khusus yang berbeda dengan badan hukum Perseroan Terbatas,
Yayasan ataupun bentuk badan hukum lain yang dikenal di
Indonesia selama ini, maka perlu dibentuk badan hukum khusus
sesuai Undang-Undang ini untuk dapat mengakomodasi
karakteristik dan tujuan pembentukan Perusahaan Penerbit
SBSN dimaksud.
Ayat (3) …- 10 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pertanggungjawaban dimaksud hanya terkait dengan operasional
Perusahaan Penerbit SBSN dan pelaksanaan penerbitan SBSN.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai Wali Amanat, antara lain,
adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas
yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi
sebagai Wali Amanat.
Ayat (2)
Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat pada dasarnya
melaksanakan suatu kewajiban hukum yang timbul akibat
adanya pengalihan kepemilikan Hak Manfaat atas suatu aset dari
Pemerintah kepada pihak lain yang bertindak sebagai Wali
Amanat untuk kepentingan pemegang SBSN selaku penerima
manfaat.
Ayat (3)
Pihak lain yang dapat ditunjuk untuk membantu pelaksanaan
fungsi sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga
keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang
dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali
Amanat.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 …- 11 -
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Apabila diatur di dalam Akad, Menteri dapat melakukan
pembelian kembali SBSN, baik yang diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan
Penerbit SBSN, sebelum jatuh tempo. Pembelian kembali
atas sebagian dari Nilai Nominal SBSN tidak disertai dengan
pembatalan Akad penerbitan SBSN.
Huruf f
Pelunasan sebagian atau seluruh Nilai Nominal SBSN, baik
yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun
melalui Perusahaan Penerbit SBSN sebelum jatuh tempo,
hanya dapat dilakukan apabila diatur di dalam Akad.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19 …- 12 -
Pasal 19
Ayat (1)
Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk
menampung hasil penjualan SBSN maupun untuk menyediakan
dana bagi pembayaran Imbalan dan Nilai Nominal SBSN.
Ayat (2)
Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang dimaksud
dalam ayat ini mengikuti ketentuan perundang-undangan di
bidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan
rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penunjukan pihak lain oleh Bank Indonesia sebagai agen penata
usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan, harus
terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri dengan
memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang pasar
modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat ini disampaikan kepada Menteri.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Lelang SBSN dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat
Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk
melaksanakan lelang secara sendiri atau bersama Bank Indonesia.
Pasal 24 …- 13 -
Pasal 24
Dalam ketentuan penerbitan dan penjualan SBSN, antara lain, diatur
ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penerbitan dan penjualan,
termasuk kriteria peserta lelang SBSN baik yang diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit
SBSN.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam
menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia
atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah.
Pasal 26
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan SBSN
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan
pemodal dan para pelaku pasar. Kedua hal tersebut diperlukan agar
kegiatan perdagangan SBSN dapat dilaksanakan secara efisien dan
sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai
ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi
penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan SBSN. Pengaturan
dan pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan
akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku.
Pasal 27
Ayat (1)
Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan akuntansi
semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan SBSN.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Permintaan data dan informasi mengenai SBSN kepada Bank
Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk sebagai agen penata usaha
SBSN dilakukan secara tertulis.
Pasal 30 …- 14 -
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “SBSN tiruan atau SBSN palsu” adalah
surat berharga yang sengaja diterbitkan dengan bentuk yang mirip
atau sama dengan SBSN yang sah, dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang
lain. Pemalsuan data dalam perdagangan SBSN tanpa warkat,
termasuk tindakan pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4852
 
== Lihat pula ==