Atheis (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
disetujui sebagai AP
Baris 74:
Teeuw menulis bahwa gaya penceritaan dalam roman ini bersifat [[:wikt:didaktis|didaktis]], yang dia menganggap sebagai suatu kekurangan. Namun, dia juga mencatat bahwa Karta adalah anggota aliran sastra yang dipimpin oleh [[Sutan Takdir Alisjahbana]] yang beranggapan bahwa sastra bertujuan untuk mendidik; Teeuw juga menulis bahwa gaya penceritaan serupa sudah umum di sastra Indonesia pada saat itu.{{sfn|Teeuw|1980|p=275}}
 
[[Diksi]] dalam ''Atheis'' menunjukkan pengaruh [[bahasa Sunda]] yang besar. Menurut Teeuw, [[bahasa Indonesia]] yang digunakan kadang-kadang seakan dipaksakan, dengan bentuk kalimat menyimpang dari kebiasaan penulis-penulis [[Orang MinangkabauMinang|Minang]] yang mendominasi dunia sastra Indonesia pada saat itu. Menurut Teeuw, ini karena Karta dibesarkan dengan bahasa Sunda dan [[bahasa Belanda|Belanda]]; dengan demikian, bahasa Indonesianya kurang lancar dibanding penulis Minang atau yang lebih muda.{{sfn|Teeuw|1980|p=275}} Maier menulis bahwa roman ini menggunakan "simile dan metafor yang aneh tetapi cocok", dengan gaya yang mirip karya-karya yang sudah ada seperti ''[[Salah Asuhan]]'' (1928) karya [[Abdul Muis]], ''[[Layar Terkembang]]'' (1936) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan ''[[Belenggu]]'' (1940) karya [[Armijn Pane]].{{sfn|Maier|1996|p=131}} Balfas mencatat bahwa ada kemiripan lain dengan karya sebelumnya, termasuk kematian protagonis di puncak cerita,{{sfn|Balfas|1976|p=91}} sementara Sastrowardoyo berpendapat bahwa ''Belenggu'' malah lebih modern biarpun diterbitkan sembilan tahun sebelum ''Atheis''.{{sfn|Sastrowardoyo|1983|p=162}}
 
==Tema==