Keraton Sumenep: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nurfikr08 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Nurfikr08 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:.jpg]][[Berkas:LabhangSymbol Keraton MesemSumenep.jpg|thumb|300px|Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menujuLambang kompleksKadipaten Karaton,Sumenep terletakPada ditahun sebelah1811 timur- Gedhongtahun Negeri1965]]Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (bawahan) kala itu sebab sebelum wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar(Singhasari, Majapahit, dan Kasultanan Mataram).
 
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat yang masuk wilayah kalurahan Pajagalan, Kecamatan Kota. untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri, Karaton Tumenggung Kanduruan, Pangeran Lor dan Pangeran Wetan hanya tinggal sisa puing bangunannya saja.
 
== Pendiri ==
Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun diatas tanah pribadi milik Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Karaton oleh Law Pia Ngho salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua beliau.Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.
[[Berkas:Mandiyoso.jpg|thumb|300px|''Mandiyoso'', salah satu ruang didalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan Karaton Dhalem dan Pendopo Agung]]
Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.
 
== Kompleks Bangunan Karaton ==
 
[[Berkas:Labhang Mesem.jpg|thumb|300px|Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak di sebelah timur Gedhong Negeri]][[Keraton]] Sumenep berdiri diatas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma alias Panembahan Somala (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Pembangunan Gedong Negeri itu untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep. Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati). Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Tetapi di jaman pemerintahan Sultan Abdurahman pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disitu didirikan Kantor Koneng. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Mesjid Jamik (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
 
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman ( Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2003 : 171-172).
 
[[Berkas:Mandiyoso.jpg|thumb|300px|''Mandiyoso'', salah satu ruang didalam kompleks Karaton Sumenep yang menghubungkan Karaton Dhalem dan Pendopo Agung]]Konsep dasar perencanaan site kompleks keraton Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam : hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timut, arah tempat matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.
 
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan.