Buddhisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
perbaikan kecil
Baris 6:
[[Agama Buddha]] merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha berasal dari [[India]], tepatnya [[Nepal]] sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah [[Asia]] dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara, seperti [[Taiwan]], [[Thailand]], [[Myanmar]] dan lainnya. Agama Buddha kemudian juga masuk ke [[nusantara]] (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada di [[Indonesia]] saat ini.
 
Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan [[intelektual]], dan hanya sedikit berkaitan dengan [[supranatural]]. Namun dalam prosesnya, kebutuhan [[politik]], dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk diri[[spiritual]]itas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; [[candi]] tidak diperlukan, dan tidak ada [[pendeta]] yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan [[pagoda]] dan [[kuil]]-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan [[kesadaran diri]] mereka .
 
Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "[[Empat Kebenaran Mulia]]" dan "[[Jalan Utama Berunsur Delapan]]". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua [[keberadaan]] dipenuhi [[penderitaan]]; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk obyek [[duniawi]]; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.
 
== Masa Kerajaan Hindu-Buddha ==
{{utama|Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha}}
Agama Buddha pertama kali masuk ke [[Nusantara]] (sekarang [[Indonesia]]) sekitar pada [[abad ke-5]] sesudah masehi[[Masehi]] jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari [[China]] bernama [[Fa Hsien]]<ref>[http://bhagavant.com/home.php?link=sejarah&tipe=sejarah_buddhisme_Indonesia_1 Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia], diakses 18 Maret 2011 - 22.10 WIB</ref>. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di IndonesiaNusantara adalah [[Kerajaan Sriwijaya]] yang berdiri pada [[abad ke-7]] sampai ke tahun [[1377]]. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di [[Asia Tenggara]]. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama [[I-Tsing]] yang melakukan perjalanan ke India dan IndonesiaNusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah [[Atisa]], [[Dharmapala]], seorang profesor dari [[Nalanda]], dan [[Vajrabodhi]], seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
 
Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu [[Syailendra|Kerajaan Syailendra]], tepatnya di [[Jawa Tengah]] sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum [[775]]-[[850]], dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain [[Candi Borobudur]], [[Candi Mendut]] dan [[Candi Pawon]]. Setelah itu pada tahun [[1292]] hingga [[1478]], berdiri [[Kerajaan Majapahit]] yang merupakan kerajaan BuddhisHindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh [[Hayam Wuruk]] dan [[Maha PatihnyaPatih]]nya, [[Gajah Mada]]. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan BuddhisHindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.
 
Dari mula masuknya agama Buddha di IndonesiaNusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah IndonesiaNusantara bagian Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang barudibawa masuk ke IndonesiaNusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat BuddhisBuddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa [[penjajahan Belanda]] maupun [[penjajahan Jepang]]. Bahkan pada masa [[Sejarah Nusantara (1509-1602)|penjajahan Portugis]], umat BuddhisBuddha di Indonesia semakin berkurang karena parabangsa penjajahEropa juga membawa [[misionaris]] untuk menyebarkan agama [[Kristen]] di IndonesiaNusantara.
 
Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah [[Atisa]], [[Dharmapala]], seorang profesor dari [[Nalanda]], dan [[Vajrabodhi]], seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.
 
=== Kerajaan Sriwijaya ===
{{utama|Kerajaan Sriwijaya}}
[[Berkas:Srivijaya Empire id.svg|thumb|250px|Wilayah kekuasaan [[Kerajaan Sriwijaya]] sekitar abad ke-8.]]
[[Berkas:Stupa Borobudur.jpg|thumb|250px|[[Stupa]] Buddha di [[Candi Borobudur]] yang dibangun [[Dinasti Syailendra]].]]
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di [[Sumatera]], namun kekuasaannya mencapai [[Jawa]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], [[Semenanjung Malaya]], [[Thailand]], [[Kamboja]] dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa [[Sansekerta]], ''sri'' adalah "bercahaya" dan ''vijaya'' adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun [[600]] dan bertahan hingga tahun [[1377]].
Baris 32:
Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya yaitu perang dengan kerajaan lain seperti [[Singosari]], [[Majapahit]] serta [[Dharmasraya]]. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama beberapa abad.
 
Perkembangan agama BuddhisBuddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke [[Nalanda|Universitas Nalanda]] di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha, dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha [[Theravada]] (kadang disebut [[Hinayana]]) dan [[Mahayana]]. Dan kemudian semakin lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran [[Vajrayana]] dari India.<ref>[http://bhagavant.com/home.php?link=sejarah&tipe=sejarah_buddhisme_Indonesia_2 Sejarah Perkembangan Agama Buddhis di Indonesia], diakses 8 April 2011 - 21.00 WIB</ref> Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu [[Sakyakirti]], nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di sriwijaya.<ref>[http://viharakhantibhumi.blogspot.com/2010/01/tokoh-tokoh-sejarah-pada-masa-buddha.html Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha], diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB</ref> Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan buddhis yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini.<ref>[http://viharakhantibhumi.blogspot.com/2010/01/tokoh-tokoh-sejarah-pada-masa-buddha.html Tokoh-tokoh Sejarah pada Masa Buddha], diakses 8 April 2011 - 21.25 WIB</ref> Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1000 pendeta yang belajar buddhis di Sriwijaya.
 
=== Kerajaan Majapahit ===
Baris 41:
Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama [[candi]], pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama [[Siwa]], dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain [[Candi Jago]], [[Bhayalangu]], [[Sanggrahan]], dan [[Jabung]] yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya [[Kakawin Nagarakretagama]], [[Kakawin Arjunawiwaha|Arjunawijaya]], [[Kakawin Sutasoma|Sutasoma]], dan sedikit berita prasasti.
 
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran [[Siwasiddhanta]] kecuali [[Tribuwanattungadewi]] (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun [[1447]]. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan [[Raden Wijaya]](Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu ''[[Dharmadyaksa ring KasaiwanKasiwan]]'' dan ''[[Dharmadyaksa ring Kasogatan]]'', kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut [[Dharmapapati]] atau [[Dharmadihikarana]].
 
Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu ''[[Sanghyang Kamahayanan Mantrayana]]'' yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan ''[[Sanghyang Kamahayanikan]]'' yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam ''Sanghyang Kamahayanikan'' adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis ''Sanghyang Kamahayanikan'' tercermin dari pengidentifikasian [[ShivaSiwa]] dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Shiva'''[[Siwa-Buddha]]'''", bukan lagi ShivaSiwa atau Buddha, tetapi ShivaSiwa-Buddha sebagai satu Tuhankesadaran tertinggi.
 
Pada zaman Majapahit ([[1292]]-[[1478]]), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran [[Hindu-ShivaSiwa]] , [[Hindu-VishnuWisnu]] dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. ShivaSiwa dan [[VishnuWisnu]] dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "[[Harihara]]" yaitu [[rupang]] ([[arca]]) setengah ShivaSiwa setengah VishnuWisnu. ShivaSiwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab [[kakawin Arjunawijaya]] karya [[Mpu Tantular]] misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para panditapandhita menerangkan bahwa para [[Jina]] dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan ShivaSiwa. [[Vairocana]] sama dengan SadashivaSadasiwa yang menduduki posisi tengah. [[Aksobya]] sama dengan [[Rudra]] yang menduduki posisi timur. [[Ratnasambhava]] sama dengan [[Brahma]] yang menduduki posisi selatan, [[Amitabha]] sama dengan MahadevaMahadewa yang menduduki posisi barat dan [[Amogasiddhi]] sama dengan VishnuWisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan ShivaSiwa . Dalam kitab [[Kunjarakarna]] disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut ShivaSiwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu ShivaSiwa-Buddha.
 
Pembaruan [[agama Siwa-Buddha]] pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu [[Kertarajasa]], yang didharmakan di [[Candi Sumberjati]] (Simping) sebagai wujud siwaSiwa (Siwawimbha) dan di [[Antahpura]] sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu [[Raja Jayabaya]] yang didharmakan di [[Shila Ptak]] (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di [[Sukhalila]] sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
 
Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu [[megalit]], yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.
Baris 53:
Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan [[Brawijaya|Raja Brawijaya V]] ([[1468]]-[[1478]]) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
 
== Masa Indonesia modern ==
=== Masa pasca kemerdekaan Indonesia ===
Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia. Dimulai dengan seorang [[bhikkhu]] bernama [[Narada Thera]] datang ke Indonesia dan mengembangkan agama Buddha kembali setelah zaman Kerajaan Majapahit [[1934]] yang akhirnya menumbuhkan minat Buddhisme di Indonesia, lalu dilengkapi oleh seorang bhikku dari Indonesia yang [[Penahbisan|ditahbiskan]] di [[Birma]] (sekarang [[Myanmar]]) yang bernama bhikkhu [[Ashin Jinarakkhita]], dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.
 
== Masa Indonesia modern ==
Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat [[etnis Tionghoa]], dan kebijakan politik. Secara tradisional, [[Taoisme]] Cina, [[Konfusianisme]] ("''[[Konghucu]]''" dalam Bahasa Indonesia) dan [[Buddhisme]], serta agama Buddha yang lebih kepribumian [[Perbuddhi]], semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
 
=== Pasca Gerakan 30 September ===
Baris 64 ⟶ 62:
Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari agama [[Konfusianisme]] atau [[Konghucu]]. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi [[Orde Baru]], namun karena agama Konghucu dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili dalam [[Departemen Agama]].
 
Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat [[etnis Tionghoa]], dan kebijakan politik. Secara tradisional, [[Taoisme]] Cina, [[Konfusianisme]] ("''[[Konghucu]]''" dalam Bahasa Indonesia) dan [[Buddhisme]], serta agama Buddha yang lebih kepribumian [[Perbuddhi]], semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "[[Empat Kebenaran Mulia]]" dan "[[Jalan Utama Berunsur Delapan]]". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua [[keberadaan]] dipenuhi [[penderitaan]]; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk obyek [[duniawi]]; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.
 
=== Masa dimulainya Sensus Penduduk ===
Baris 94 ⟶ 92:
Pada tahun [[1978]], Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu [[Dharmasagaro]]. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
 
===Perkembangan TantrayanaVajrayana===
Aliran [[Buddha Vajrayana]] atau juga disebut [[Tantrayana]] di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo [[Giriputre Soemarsono]] dan Romo [[Dharmesvara Oke Diputhera]] pada tahun [[1953]] – [[1956]] dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut [[Kasogatan]]. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman [[kerajaan Majapahit]].
Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "''sugata''", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci ''[[Sanghyang Kamahayanikan]]'' yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.