Buddhisme di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
perbaikan
Baris 59:
Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat [[etnis Tionghoa]], dan kebijakan politik. Secara tradisional, [[Taoisme]] Cina, [[Konfusianisme]] ("''[[Konghucu]]''" dalam Bahasa Indonesia) dan [[Buddhisme]], serta agama Buddha yang lebih kepribumian [[Perbuddhi]], semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
 
=== Pasca Gerakan 30 September ===
Setelah terjadinya usaha [[kudeta]] [[Gerakan 30 September|kudeta]] yang gagal]] di tahun [[1965]], setiap adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran [[monoteisme|monoteistik]] [[Pancasila]] dianggap sebagai pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, [[Bhikkhu]] [[Ashin Jinarakkhita]], mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, yaitu adanya dewa tertinggi tunggal, "'''Sang Hyang Adi Buddha'''". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi [[Jawa Tengah]]. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, ketika semua [[warga negara Indonesia]] diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan [[komunis]], jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh [[biara Buddha]] baru dibangun. Pada tahun [[1987]] ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan [[Perwakilan Umat Buddha Indonesia]] (Walubi), yaitu: [[Theravada]], [[Buddhayana]], [[Mahayana]], [[Tridharma]], [[Kasogatan]], [[Maitreya]], dan [[Nichiren]].
 
Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari agama [[Konfusianisme]] atau [[Konghucu]]. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi [[Orde Baru]], namun karena agama Konghucu dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili dalam [[Departemen Agama]].
Baris 76 ⟶ 77:
 
Agama Buddha di Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat [[Tionghoa Indonesia|Tionghoa]] dan beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah 1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]]) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. <ref> http://www.depag.go.id/index.php?menu=page&pageid=17</ref><ref>http://religiousfreedom.lib.virginia.edu/nationprofiles/Indonesia/rbodies.html</ref>
 
== Perkembangan aliran Buddha di Indonesia==
Berkembangnya lagi agama Buddha setelah [[kerajaan Majapahit]] dimulai pada tahun [[1954]] oleh Bhikkhu [[Ashin Jinarakkhita]]. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit.
 
Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah [[Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia]] (PUUI), dirayakannya hari suci [[Waisak]] di [[Candi Borobudur]] pada tahun [[1956]], lalu pembentukan [[Perbuddhi]] (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun [[1958]].
 
Pada tahun [[1959]], untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.
 
Pada tahun [[1974]], Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin [[Sangha Agung Indonesia]] yang berasal dari [[Maha Sangha Indonesia]] dan [[Sangha Indonesia]] yang digabungkan. [[GUBSI]] (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun [[1976]] sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, [[Buddha Dharma Indonesia]], dan sebagainya.
 
===Perkembangan Mahayana===
Aliran [[Buddha Mahayana]] diduga datang di antara abad [[1 SM]] hingga [[1 M]], istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke [[2 M]], ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.
 
Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte [[Zen]] dan sekte [[Sukhavati]] (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha [[Tridharma]] (Buddha [[Kelenteng]])yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan [[Taoisme]] dan [[Konghucu]] ([[Konfusianisme]]), yaitu budaya Tionghoa tradisi ''[[Dao Jiao]]'', ''[[Run Jiao]]'', dan budaya lokal. Dimana pengembangnya antara lain [[Kwee Tek Hoay]], [[Khoe Soe Khiam]], [[Ong Kie Tjay]], dan [[Aggi Tje Tje]].
 
Pada tahun [[1978]], Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu [[Dharmasagaro]]. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.
 
===Perkembangan Tantrayana===
Aliran [[Buddha Tantrayana]] di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo [[Giriputre Soemarsono]] dan Romo [[Dharmesvara Oke Diputhera]] pada tahun [[1953]] – [[1956]] dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut [[Kasogatan]]. Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman [[kerajaan Majapahit]].
Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. Kasogatan berasal dari kata "''sugata''", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci ''[[Sanghyang Kamahayanikan]]'' yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.
 
Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah [[Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia]] yang didirikan pada tahun [[1987]]. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran [[Zhanfo Zong]], dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama [[Vajracarya Harsono]]). Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah [[vihara]] di daerah [[Muara Karang]] dengan nama [[Vihara Vajra Bumi Jayakarta]] sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia.
Pada bulan [[Oktober 1988]], semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat [[Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia]] bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.
 
Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota [[Perwakilan Umat Buddha Indonesia]], maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi [[Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia]], diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.
 
===Perkembangan Theravada===
Perkembangan aliran [[Buddha Theravada]] dipelopori oleh Bante [[Vidhurdhammabhorn]] (Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di [[Wat Bovoranives]], [[Thailand]], atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan [[Dhammayuttika]], ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.
 
Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari [[1972]], Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN).
Pada tahun [[1976]], Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan [[Sangha Theravada Indonesia]] (STI).
 
==Sastra Buddhisme di nusantara==