Teungku Chik di Tiro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Aldo samulo (bicara | kontrib)
Menolak perubahan terakhir (oleh 110.138.45.176) dan mengembalikan revisi 4413675 oleh Luckas-bot
Baris 19:
Ketika ia menunaikan ibadah haji di [[Mekkah]], ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan [[Islam]] yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan [[kolonialisme]]. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan [[Perang Sabil]].
 
Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng [[Belanda]] dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai [["siasat]] [[curang]] liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi [[racun]]. Tanpa curiga sedikitpun ia memakannya, dan akhirnya Muhammad Saman meninggal pada bulan Januari [[1891]] di benteng Aneuk Galong.
 
Salah satu cucunya adalah [[Hasan di Tiro]], pendiri dan pemimpin [[Gerakan Aceh Merdeka]].<ref>[[Kyodo]], ''[http://www.findarticles.com/p/articles/mi_m0WDQ/is_2006_Jan_2/ai_n15991099 Indonesia to reopen ties with Sweden following Aceh peace deal]'', 2 Januari 2006</ref>