Suku Rejang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menolak 3 perubahan terakhir (oleh 202.65.117.77) dan mengembalikan revisi 4196294 oleh Aldo samulo
Baris 14:
 
== Budaya ==
ASAL-USUL UNGKAPAN EMPAT PETULAI
Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, namun secara sumber daya manusia, agaknya suku ini kurang begitu adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan [[kultur]] masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan masih rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sifat dan watak dari suku Rejang masih primitif. Karena mayoritas suku Rejang masih primitif, potensi SDM mereka relatif lamban dalam berkembang. Apalagi sifat iri dan dengki yang menjadi tradisi dan ciri khas dari sifat primitif itu sendiri. Oleh karena itu, proses kemajuan semakin terhambat. Pada zaman sekarang, beberapa putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai [[pegawai negeri]], pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang lebih tinggi statusnya ketimbang [[petani]] ataupun sekadar tukang [[ojek]].
DAN HURUF KA GA NGA PADA SUKU BANGSA REJANG
PROPINSI BENGKULU
 
 
 
Suku bangsa Rejang adalah suku bangsa yang ada di wilayah Kabupaten Rejang Lebong yang terletak dibagian timur Propinsi Bengkulu. Wilayah tersebut mencakup sebagian pegunungan bukit barisan. Pusat kebudayaan Rejang berada di Lebong yaitu + 100 km dari Propinsi Bengkulu. Masyarakat suku Rejang mempunyai kebudayaan maupun folklore sendiri, salah satu bentuk folklore yang ada yaitu “Asal-Usul Empat Petulai dan Huruf Ka Ga Nga”.
Kata Rejang berasal dari kata Marejang yang artinya menyusuri sungai. Suku Rejang sendiri disebut “Kaweak” karena pada mulanya hidup dalam kelompok kecil yang mengembara di tanah Lebong. Sedngkan masyarakat Rejang menyebut diri mereka “Tun Jang atau Rejang Empat Petulai” dan orang Lebong berasal dari kata “Telebong”.
“Empat Petulai” bermula dari kedatangan para biku ke daerah ranah sekelawi. Para biku ini berasal dari kerajaan Pagaruyung yang merupakan daerah bagian dari Kerajaan Majapahit. Kedatangan para biku ini adalah untuk menyebarkan agama budha dan memperkenalkan Kerajaan Majapahit kepada masyarakat tersebut, keempat biku tersebut adalah :
 
1. Biku Sepanjang Jiwa, diangkat menjadi Petulai di daerah Pelabai
2. Biku Bemba, diangkat menjadi Petulai di daerah Suka Negeri dekat Tapus
3. Biku Bejonggo, diangkat menjadi Petulai di daerah Batu Lebar dekat Agung Rejang Kesambe
4. Biku Bermono, diangkat menjadi Petulai di daerah Kuteui dekat Tes.
 
Pada suatu masa didalam pemerintahannya, keempat Biku mendapat malapetaka yang terjadi di ranah Sekawi, dimana rakyat terserang berbagai penyakit dan meninggal dunia. Hal ini disebabkan oleh seekor kera yang berdiam di sebuah pohon yang besar yang bernama “Benuang Sakti”. Keempat Biku berkumpul dan menebang pohon itu, keempat Biku pun menjadi “Empat Petulai” yang masing-masing diberi nama :
 
1. Petulai Sepanjang Jiwa, diberi nama “Tabuei” dari bahasa Rejang “Berubeui-ubeui” yang artinya berduyun-duyun
2. Petulai Bembo, diberi nama “Juru Kalang” dai bahasa Rejang “Kolong” yang artinya golong
3. Petulai Bejonggo, diberi nama “Selupeui” dari bahasa Rejang “Berupeui-upeui” yang artinya bertumpuk-tumpuk
4. Petulai Bermono, diberi nama “Bermani” dari bahasa Rejang “Beram Manis” yang artinya tapai manis.
 
Keempat biku tersebut berhasil menebang pohon “Benuang Sakti”. Mereka pun beristirahat untuk melepas lelah. Pada saat istirahat sambil iseng, cacahan kayu Benuang Sakti yang ada disusun oleh mereka untuk menyimbolkan kata-kata yang mereka ucapkan, akhirnya menjadi bentuk-bentuk yang mereka sebut huruf. Bentuk huruf tersebut akhirnya ditulis oleh mereka dan disebut huruf Ka Ga Nga, yaitu tulisan atau huruf daerah mayarakat Rejang Lebong.
Catatan
Kaweak =
Biku = Kepala Suku
Petulai = Keluarga, silsilah
Ranah Sekelawi = Pinang berlapis
 
ANALISIS
 
Cerita asal-usul “Ranah Empat Petulai beserta Huruf Ka Ga Nga” merupaka suatu bentuk folklore. Karena cerita ini merupakan bagian kebudayaan koletif masyarakat suku Rejang yang diwariskan turun-temurun. Cerita ini pun dapat digolongkan folklore yang berbentuk lisan yaitu dari mulut ke mulut atau dalam masyarakat Rejang disebut “Tembo”. Cerita maupun tulisan Ka Ga Nga ini sekarang mulai dilestarikan melalui lembaga pendidikan yakni sekolah, khususnya tingkat sekolah Dasar melalui mata pelajaran Muatan Lokal.
Selain itu, cerita asal-usul empat petulai dan huruf Ka Ga Nga juga mempunyai sifat, yakni sejarah kepahlawanan, dimana dalam cerita tersebut keempat Biku berusaha menebang pohon Benuang Sakti temapt seekor kera berdiam yang menyebabkan rakyat Rejang sakit dan meninggal dunia. Cerita ini pun menyimpan sifat dedaktis atau mendidik. Satu pelajaran penting yang terkandung dalam cerita ini adalah seberapa pun beratnya suatu pekerjaan jika dilakukan dengan gotong-royong akan terasa ringan. Dengan seperti itu, para masyarakat Rejang berharap agar para penerus suku Rejang nantinya mempunyai sifat dan bertanggung jawab seperti halnya para Biku.
Cerita ini juga melambangkan sejarah terbentuknya silsilah keluarga pada masyararakat Rejang dan huruf tradisonal masyarakat suku Rejang. Petulai atau silsilah pada masyarakat Rejang sendiri sampai sekarang masih digunakan contohnya adalah pada Kabupaten Rejang Lebong sampai saat ini tetap menggunakan istilah “Bumei Pat Petulai” atau “Bumi Empat Petulai”. Hal ini merupakan bukti bahwa para Biku uang membangun silisilah suku Rejang masih dihormati dan ceritanya pun masih dilestarikan.
Begitu juga huruf Ka Ga Nga yang sampai sekarang masih digunakan didaerah Rejang Lebong sebagai tulisan daerah masyarakat Rejang yang digunakan dalam buku-buku adat.
Untuk fungsi sendiri, cerita ini memiliki fungsi sebagai pengesahan pranata. Dimana dalam hukum adat-istiadat Rejang. Petulai atau silsilah seseorang tetap diperhitungkan yaitu untuk menentukan status seseorang didalam masyarakat. Dan begitu pula dengan huruf Ka Ga Nga yang mempunyai nilai budaya sebagai salah satu hasil kesenian masyarakat Rejang yang digunakan oleh para pemimpin atau pemuka adat.
 
 
reference :
http://erikaditiaismaya.blogspot.com/2008/09/cerita-rakyat.htmSuku
 
Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, namun secara sumber daya manusia, agaknya suku ini kurang begitu adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan [[kultur]] masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan masih rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sifat dan watak dari suku Rejang masih primitif. Karena mayoritas suku Rejang masih primitif, potensi SDM mereka relatif lamban dalam berkembang. Apalagi sifat iri dan dengki yang menjadi tradisi dan ciri khas dari sifat primitif itu sendiri. Oleh karena itu, proses kemajuan semakin terhambat. Pada zaman sekarang, beberapa putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai [[pegawai negeri]], pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang lebih tinggi statusnya ketimbang [[petani]] ataupun sekadar tukang [[ojek]].
'''Teks tebal'''
 
== Bahasa ==