Marga Simalungun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Wsaragih (bicara | kontrib)
k →‎Marga Mengikuti Raja: Memotong tulisan yang tidak relevan
Baris 99:
 
Setelah raja-raja dikuasai [[Belanda]] sejak ditandatanganinya ''Korte Verklaring'' (Perjanjian Pendek) tahun [[1907]] dan dihapuskannya kerajaan/[[feodalisme]] dalam aksi [[Revolusi]] Sosial tanggal [[3 Maret]] [[1946]] sampai April [[1947]], peraturan tentang marga itu menghilang dengan sendirinya di Simalungun. Masing-masing marga kembali lagi ke marga aslinya dan ke sukunya semula.
 
 
 
Siantar menjadi Pusat Afdeling
 
Ditengah-tengah suksesnya perkebunan di Sumatra Timur, sejumlah kota-kota dinaikkan statusnya menjadi kota administratif (geemente) dan kabupaten (afdeeling). Wilayah kecamatan (onderafdeling) ditata sedemikian rupa sehingga mencerminkan sebuah kota dengan peradaban modern. Siantar (ibukota kerajaan Siantar) telah dipersiapkan pemerintah kolonial menjadi ibukota afdeling Simalungun yang sebelumnya merupakan onderafdeling Karo-Simalungun. Perlawanan rakyat karo dibawah pimpinan Kiras Bangun telah dilumpuhkan pada tahun 1904 dan menduduki wilayah dingin pegunungan tersebut. Pada saat itu, ahli Batak, Kontrolir Westenberg, diangkat menjadi Assisten Residen urusan Batak Dusun beribu Kota di Saribu Dolok pada tahun 1905.
 
Wilayah-wilayah kekuasaan dinegeri Simalungun yang sudah menandatangani Perjanjian Pendek telah dibangun jalan raya sebagai penghubung antara perkebunan-perkebunan besar yang baru dibuka. Acapkali muncul ketegangan dan perlawanan rakyat yang hak-hak tanahnya diambil alih oleh pengusaha perkebunan seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan tewas akibat siksaan selama hukuman penjara Belanda di Sukamulia Medan. Demikian pula raja Panei yakni Tuan Jontama Dasuha yang melapor kepada Asisten Residen Sumatra Timur di Medan sebagai akibat perbuatan semena-mena pengusaha kolonial. Hingga kini, jasad Raja Panei tersebut belum diketemukan. Perlawanan rakyat Girsang dan Simpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dapat dilumpuhkan pada tahun 1906. Sementara itu, Rev. Simon (kemudian dilanjutkan oleh Muller) dari Misi Sungai Rhein Jerman telah bergerak membuat projek irigasi di negeri Bandar wilayah kekuasaan Kerajaan Siantar. Pemerintah Hindia Belanda mengharapkan agar misi Kristen ini menjadi bahagian dari negeri Batak yang harus dikeluarkan dari pengaruh Islam.
 
Melihat berbagai peristiwa diwilayah kekuasaannya, Sang Na Ualuh memiliki dendam terhadap pemerintah kolonial dan memilih upaya konfrontasi. Sinyal pemberontakan dari raja ini terbaca dan dimakzulkan atas tuduhan intrik dan pemerasan terhadap penduduknya sendiri. Oleh karena itu, atas petunjuk Residen Sumatera Timur yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch–Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan putusan sebagai berikut: “Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diperbuat dengan Raja Siantar seperti yang dijelaskan secara telegrapis sebelumnya, begitu juga Raad van Ned. Indie sejalan dengan pendapatnya. Pendapat diatas dikeluarkan jika seandainya karena sesuatu alasan politik tidak jadi raja dijatuhkan atau karena pemerintah daerah setempat sehubungan dengan itu datang dengan usul agar ianya direhabilitir”.
Sesuai dengan peraturan undang-undang kolonial, maka seandainya raja dijatuhkan maka harus ada persiapan untuk pemerintahan sementara sebagaimana yang diusulkan didalam nota Sekretaris Negara. Mengenai usul Residen supaya Sang Na Ualuh dan Bah Bolak ditahan di Medan hingga suasana dan kondisi akan lebih di kerajaan Siantar, hanya mungkin jika pasal 47 dari R.R. dikenakan kepada mereka. Oleh sebab itu diharapkan agar Residen Sumatera Timur memberikan pendapatnya tentang upaya pemakzulan Sang Na Ualuh. Oleh karena itu, untuk alasan dijatuhkannya Sang Na Ualuh dari tahta kerajaan Siantar, Residen Sumatera Timur mengumpulkan kesalahan-kesalahan Sang Na Ualuh dan menterinya Bah Bolak. Untuk itu dipakai laporan pengaduan yang diperbuat oleh Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 yang berisi ”10 kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang diperbuat oleh Raja Siantar dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan.
Tuduhan-tuduhan Kontrolir Batubara tersebut oleh Residen Sumatera Timur dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25 Agustus 1905 nomor 3775/4 didukung dengan menyatakan bahwa Sang Na Ualuh sudah di interogasinya sendiri dan dinyatakan “sudah mengaku salah”. Lebih lanjut dalam suratnya disebut pula bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Na Ualuh dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar.
 
Residen Sumatera Timur juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Na Ualuh ditunjuk puteranya yaitu Tuan Riah Kadim. Berhubung karena Riah Kadim belum akil baliq, maka sebagai pemangku diserahkan kepada Tuan Sidamanik dan Marihat dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontrolir Simalungun yang bakal diciptakan. Dengan Besluit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat dengan Besluit tanggal 22 Janauari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Na Ualuh dijatuhkan dari tahtanya. Selaku pemegang pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akli balighnya Tuan Riah Kadim maka otoritas kekuasaan dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan yang terdiri dari Tuan Marihat dan Tuan Sidamanik yang diketuai oleh Kontrolir Simalungun.
 
 
D. Meninggal di Pembuangan Bengkalis.
Raja Siantar Sang Na Ualuh dan Perdana Menterinya Bah Bollak di internir (dibuang) oleh pemerintah kolonial ke Bengkalis pada tahun 1906. Upaya tersebut telah memuluskan jalan bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh konsesi tanah dari Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontrolir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29 Juli 1907 nomor 254 yakni dikeluarkannya Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) yang isinya adalah pernyataan takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Seiring dengan itu, nyatalah bahwa penanaman modal Eropa semakin terbuka di wilayah Simalungun. Pada tahun 1906 perkebunan Siantar Estate dibuka dan terus melebar ke berbagai daerah dengan komoditas perkebunan yang beranekaragam seperti karet, teh, kakao dan kelapa sawit.
Tahun 1912 ibu negeri affdeling Simalungun dipindahkan dari Saribu Dolok ke Siantar dan Riah Kadim Damanik dengan nama baptis Waldemar diangkat menjadi Raja Siantar yakni Raja Kristen pertama di wilayah Simelungun/Karo yang menadatangani Pernyataan Pendek pada tanggal 18 Mel 1916. Sesuai tradisi, putra mahkota yang layak menjadi raja adalah Tuan Sarmahata Damanik yang lahir di Bengkalis pada tahun 1911 yakni putra pertama yang dilahirkan oleh puang bolon (permaisuri). Tetapi karena Sarmahata masih sangat belia, maka Tuan Riah Kadim Waldemar Damanik diangkat sebagai penerus tahta kerajaan. Pada saat keluarga Sang Na Ualuh berkunjung ke Bengkalis, Tuan Sang Na Ualuh mengirmkan foto dan menitipkan pesan tertulis dibalik foto dalam aksara Simalungun: ”Selama hidup saya dalam pembuangan, pimpinan rakyat di daerah bersatulah!”. Dua tahun setelah lahirnya putra mahkota Tuan Sarmahata maka pada tahun 1914 Sang Na Ualuh wafat dalam pembuangan di Bengkalis. Pada pusara Sang Na Ualuh di Bengkalis tertulis: “Makam Raja Batak beragama Islam”.(Erond L. Damanik, M.Si)
 
 
 
Residen Sumatera Timur itu juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Naualu ditunjuk puteranya yang masih kanak-kanak yaitu Tuan Kadim, dengan dipangku orang lain dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontelir Simalungun, yang bakal diciptakan.
Dengan Beslit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.
 
Setelah dibuangnya Raja Siantar Sang Naualuh dan Perdana Menterinya Bah Bolak oleh Belanda dalam tahun 1906 ke Bengkalis, maka sudah ratalah kini jalan untuk memaksakan Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontelir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29-7-1907 nomor 254 untuk membuat Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Dari isi surat-surat dokumen Belanda dapatlah direka yang tersirat bahwa dimakzulkannya dari tahta Siantar Tuan Sang Nahualu dan dibuangnya ia bersama perdana menterinya Bah Bollak ke Bengkalis 1906, adalah terutama karena background : Ia bersama hampir seluruh Orang-orang Besar Kerajaan Siantar adalah anti penjajahan Belanda; bahwa merembesnya propaganda Islam ke Simalungun khususnya dan Tanah Batak umumnya tidaklah disenangi oleh penjajah Belanda.
 
Pada 16 Oktober 1907 oleh Tuan Torialam (Tuan Marihat) dan Tuan Riah Hata (Tuan Sidamanik), melalui Verklaring (Surat Ikrar), dinyatakan tunduk kepada Belanda.
 
Dalam butir satu dari Verklaring yang memakai aksara Arab Melayu dengan Bahasa Melayu dan aksara Latin dengan Bahasa Belanda itu, tertulis, “
 
Ten eerste: dat het landschap Siantar een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch Indie en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland..” (Pertama: bahwa wilayah Siantar merupakan bagian dari Hindia Belanda dan karena itu berada di bawah kerajaan Belanda…). Masih ditambahkan bahwa akan setia kepada Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal.
 
Sejak Surat Ikrar Torialam dari Marihat dan Riah Hata dari Sidamanik itu, Kerajaan Siantar akhirnya di bawah pengawasan Belanda. Belanda kemudian menobatkan putra Sang Naualuh bukan dari permaisuri, yang masih teramat muda, Tuan Riah Kadim menjadi raja pengganti. Tuhan Riah Kadim yang masih polos itu kemudian diserahkan Belanda kepada Pendeta Zending Guillaume di Purba. Pada Tahun 1916, Tuhan Riah Kadim diubah namanya menjadi Waldemar Tuan Naga Huta dan diakui Belanda sebagai Raja.
 
Padahal, Riah Kadim bukanlah dari anak Puang Bolon (Permaisuri) yang layak menjadi Raja. Disisi lain, menurut aturan tradisi, Seorang Raja disebut mangkat (marujung goluh, matei) jika sudah dinobatkan Raja pengganti dari dari aturan yang sah, jika tidak Raja belum bisa disebut mangkat tapi masih disebut Modom (secara harfiah, modom berarti tidur). ( Muhar Omtatok )
 
 
 
DENGAN KORT VERKLARING, 16 OKTOBER 1907, BELANDA MEMBAGI KERAJAAN SIANTAR MENJADI 37 PERBAPAAN dan tuan SAUADIM, DAMANIK KE XV, PERBAPAAN DARI BANDAR diangkat BELANDA MENJADI RAJA SIANTAR yang berakhir sampai tahun Revolusi Simalungun 1946.
 
 
3. SURAT IKRAR
 
Bahwa ini ikrar kami :
 
Si Tori Alam , Tuan Marihat dan Si Ria Hata Tuan Sidamanik.
 
Yaitu : bersama masuk komisi pemerintahan jajahan negeri Siantar mengaku tiga perkara yang tersebut di bawah ini , yaitu :
 
Pasal yang pertama.
 
Bermula ikrar kami bahwa sesungguhnya negeri Siantar jadi suatu bahagian daripada Hindia Nederland , maka takluklah negeri Siantar itu kepada kerajaan Belanda , maka wajiblah atas kami selama-lamanya bersetia kepada Baginda Sri Maharaja Belanda dan kepada wakil baginda yaitu Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland , maka oleh Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur dikurniakan kepada kami jabatan pemerintahan di dalam Negeri Siantar.
 
Pasal yang kedua.
 
Maka mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa kami tiada akan membicarakan suatu apa dari pada ikwal kami dengan Raja - raja yang asing , melainkan musuh Baginda Sri Maharaja itu musuh kami , begitu juga sahabat Sri Maharaja Belanda itu Sahabat kami adanya.
 
Pasal yang ketiga.
 
Bahwa mengakulah dan berjanjilah kami , bahwa sesungguhnya segala peraturan hal ikwal Siantar , baik yang telah diaturkan , baik yang akan diikrarkan oleh atau dengan nama Baginda Sri Paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal Hindia Nederland atau wakilnya semua pengaturan itu kami hendak menjalankan akan segala perintah yang diperintahkan kepada kami , baik oleh Sri paduka yang dipertuan besar Gubernur Jenderal baik oleh wakilnya , semua perintah itu kami hendak menurutkan juga adanya.
Demikianlah Ikrar yang telah kami mengaku dengan bersumpah di Pematang Siantar pada enam belas Oktober 1907, dan tersurat tiga helai yang sama bunyinya.
 
Si Tori Alam
 
Si Ria Hata
 
( Anggota dari komisi Kerajaan Siantar )
 
Disaksikan oleh Si Jure Lucan O'Brien , Controleur Simalungun.
Ikrar ini disyahkan dan dikuatkan pada tanggal 22 Januari , 1908.
 
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
 
d.t.o
 
( V.Heutz )
 
 
4. Proces - Verbal / Berita Acara.
 
Pada hari ini tanggal 16 Oktober 1907 hadir di hadapan saya Jure Lucan O'Brien . Controleur Simalungun.
 
Op heden , den Zestienden october negentien honderd en zevend , voor mij , J.L.O'Brien , Controleur van Simeloengoen.
 
1. Si Saoeadim , Toean Van Bandar
2. Si Badjandin , Toean Van Bandar Poelau
3. Si Kani , Toean Van Bandar Bajoe
4. Si Djamin , pemangkoe Van Toean Negeri Bandar
5. Si Mia , Toean Van Si Malangoe
6. Si Kama , Roumah Suah
7. Si Bisara , Nagodang
8. Si Djommaihat , Toean Kahaha
9. Si Djarainta , Toean Boentoe
10. Si Djandioeroeng , Toean Dolok Siantar
11. Si Silim , Toean Van Bandar Sakoeda
12. Si Djontahali , Toean Van Mariah Bandar
13. Si Rimmahala , Toean Van Naga Bandar
14. Si Kadim , Toean Van Bandar Tonga
15. Si Tongma , Bah Bolak Van Pematang Siantar
16. Si Naman , Toean Van Lingga
17. Si Djaha , Toean Van Bangoen
18. Si Djibang , Toean Van Dolok Malela
19. Si Djandiain , Toean Van Silo Bajoe
20. Si Lampot , Toean Van Djorlang Hataran
21. Si Djanji-arim , Toean Van Maligas Bandar
22. Si Djadi , Toean Van Sakuda
23. Si Radjawan , Toean Van Gunung Maligas
24. Si Djaoelak , Toean Van Tamboen
25. Si Tahan Batoe , Toean Van Si Polha
26. Si Ria Kadi , Toean Van Manik Si Polha
27. Si Ganjang , Toean Van Repa
28. Si Djoinghata , Toean Van Pagar Batoe
29. Si Djaingot , Toean Van Si Lampoeyang
30. Si Djaoeroeng , Toean Van Gadjing
31. Si Mahata , Toean anggi Van Sidapmanik
32. Si Bandar , Toean Manik Hataran
33. Si Takkang , Toean Van Tamboen Rea
34. Si Rian , Toean Van Manik Maradja
35. Si Marihat , Toean Van Perbalogan
36. Si Pinggan , Toean Van Hoeta Bajoe
37. Si Djoegmahita , Toean Van Manggoetoer
 
Dimana mereka sebagai para kepala kerajaan / perbapaan , dihadapan saya telah menerangkan dan bersetuju dengan keterangan yang dibuat ini hari oleh komisi kerajaan Siantar dengan kehadirannya atas sumpah dan dikuatkan dalam ikrar ini. Demikian diperbuat ikrar ini berdasarkan berita acara dengan tiga rangkap.
 
Pematang Siantar , 16 Oktober 1907.-
 
Controleur Simalungun.
 
d.t.o
 
( Jure Lucan O'Brien )
 
( dalam Tulisan , Jahutar Damanik , NPV : 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan medio 1981 cetak ulang tahun 1987 )
 
 
 
Runtuhnya Kerajaan Simalungun Sumatera Timur.
 
Kekhasan Sumatera Timur menjelang Indonesia merdeka tahun 1945 adalah adanya perbedaan-perbedaan kelas antara bangsawan dan rakyat jelata. Dalam masyarakat Simalungun, perbedaan kelas tersebut adalah seperti golongan parbapaan (bangsawan), partongah (pedagang), paruma (petani) dan jabolon (budak). Keadaan yang sama ada pada rakyat Melayu Sumatera Timur terutama antara Sulthan dan rakyat.Sebagai negera yang bari terbentuk, nasionalisme rakyat Indonesia masih mengental dan dapat dipahami apabila masih menaruh dendam terhadap feodalisme yang sebelumnya merupakan kaki tangan kolonial. Oleh karena itu, situasi rakyat yang masih baru merdeka, kemudian disulut dengan provokasi orang lain (organisasi) tak pelak lagi apabila kecemburuan sosial dapat berujuk revolusi massa yang menelan ongkos sosial yang tinggi. Termasuk punahnya sebuah peradapan di Sumatera Timur (Simalungun dan Melayu), dimana raja dan kerabatnya beserta istananya musnah selama-lamanya. Keadaan seperti ini berlanjut hingga memasuki tahun 1946 sehingga mendorong kebencian masyarakat terhadap golongan elit. Sejalan dengan itu, berkembangnya pemahaman politik pada waktu itu, turut pula menyulut keprihatinan terhadap perbedaan kelas yang didorong oleh keinginan untuk menghapuskan sistem feodalisme di Sumatera Timur.Demikianlah hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah yang meluluhlantakkan feodalisme di Sumatera Timur terutama pada rakyat Simalungun dan Melayu. Pada peristiwa tersebut empat dari tujuh kerajaan Simalungun yaitu Tanoh Jawa, Panai, Raya dan Silimakuta pada periode ketiga ini musnah dibakar. Sementara Silau, Purba dan Siantar luput dari serangan kebringasan massa. Raja dan kerabatnya banyak dibunuh. Peristiwa ini menelan banyak korban nyawa, harta dan benda. Kejadian yang sama juga menimpa kesultanan Melayu dimana empat kesultanan besarnya Langkat, Deli, Serdang serta Asahan dibakar dan lebih dari 90 sultan dan kerabatnya tewas dibunuh (Reid, 1980)Riwayat swapraja Simalungun telah berlalu setelah terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Revolusi itu tidak saja menamatkan kerajaan tapi juga seluruh kerabat perangkat kerajaan dan keluraga raja yang mendapatkan hak istimewa dari pemerintah kolonial, sehingga telah meningkatkan kecemburuan sosial dari rakyat terhadap raja. Revolusi terjadi setelah rakyat diorganisir dan diagitasi oleh organisasi dan partai revolusioner di Simalungun. Sejak saat itu sistem kerajaan tradisional Simalungun menemui riwayatnya. Dalam arti lain, lenyapnya atau runtuhnya zaman keemasan monarhi itu telah pula menandai berakhirnya peradapan besar rumah bolon. ( Suntingan dari Erond Damanik )
 
== Penambahan Marga ==