Gereja Katolik di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 69:
Banyak korban jiwa pada masa epilog pasca pemberontakan yang gagal dari [[Partai Komunis Indonesia]] pada 1965. Gereja Katolik dengan kerja keras berusaha mengerem kekejaman yang terjadi di mana-mana. Dengan semangat kasih ditegaskan bahwa yang hasrus dimusi adalah ideologi yang jahat, bukan orangnya. Sambil mengobati luka-luka batin umat Katolik didorong untuk ikut aktif dalam proses pembangunan negara dari situasi yang porak poranda. Kegagalan panen di mana-mana menyebabkan wabah kelaparan dan penyakit berjangkit. Gereja mengulurkan tangan dengan membagikan sumbangan pangan dan obat-obatan dari sesama umat Katolik luar negeri. Inflasi yang melejit tinggi nyaris melumpuhkan perekonomian. Gereja ikut serta mengembangkan koperasi dan menggalakkan semangat menabung.
 
Ungkapan kasih dan perhatian umat Katolik itu mendapat tanggapan positif dari rakyat kebanyakan. Banyak orang belajar agama Katolik dan memberikan diri dibaptis. Jumlah umat menjadi berlipat ganda. Gereja Katolik serta agama-agama lain mengalami pertumbuhan yang sangat besar terutama di daerah yang dihuni oleh sejumlah besar suku Tionghoa dan etnis Jawa. Peningkatan dramatis jumlah umat Katolik pada khususnya dan orang Kristen pada umumnya telah menyebabkan permusuhan dan tuduhan '[[Pengkristenan]]'.<ref>Sebagai contoh pada tahun 1989 ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Yogyakarta, ia menerima surat penuh dengan tuduhan tersebut. Surat itu ditulis oleh Moh. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi. Mereka adalah pemimpin Muslim terkemuka pada waktu itu. ''Panji Masyarakat'' 31-10-1989. Informasi ini dikutip dari Adolf Heuken (2005:107)</ref>
 
 
Peningkatan dramatis jumlah umat Katolik pada khususnya dan orang Kristen pada umumnya telah menyebabkan permusuhan dan tuduhan '[[Pengkristenan]]'.<ref>Sebagai contoh pada tahun 1989 ketika Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Yogyakarta, ia menerima surat penuh dengan tuduhan tersebut. Surat itu ditulis oleh Moh. Natsir, K.H. Masykur, K.H. Rusli Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi. Mereka adalah pemimpin Muslim terkemuka pada waktu itu. ''Panji Masyarakat'' 31-10-1989. Informasi ini dikutip dari Adolf Heuken (2005:107)</ref>
Sejak tahun 1970 MAWI yang resmi berganti nama menjadi KWI bersidang setahun sekali. Setiap kali sidang KWI mengangkat satu hal yang menjadi keprihatinan bersama. Dokumen sidang disebarluaskan kepada umat. Selain itu para Uskup Waligereja Indonesia juga aktif mengikuti persidangan umum Federasi Konferensi Uskup Asia (FABC) sejak lembaga itu didirikan pada tahun 1970 di Taipei.
 
==Era Reformasi==
 
Pada tahun 1990-an dan mulai tahun 2000 juga ditandai dengan kekerasan terhadap umat Katolik pada khususnya dan Kristen pada umumnya. Namun mantan presiden [[Abdurrahman Wahid]], yang juga seorang pemimpin [[Nahdlatul Ulama]], salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah memberikan kontribusi oleh beberapa penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari beberapa kalangan.