Gereja Katolik di Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 19:
 
=== Era Hindia-Belanda ===
Perubahan politik di Belanda, khususnya kenaikan tahta Raja LodewijkLouis, seorang Katolik, kerabat Napoleon Bonaparte, membawa pengaruh yang cukup positif. Semangat Revolusi Perancis "liberte, egalite, fraternite" (kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan) merembes ke kalangan pemerintahan Belanda. Kebebasan umat beragama mulai diakui pemerintah. Hal itu terbawa ke bumi nusantara yang kemudian disebut Hindia-Belanda. Pada tanggal [[8 Mei]] [[1807]], Paus Pius VII, pimpinan Gereja Katolik di [[Roma]] mendapat persetujuan Raja Louis Napoleon untuk mengaktifkan kembali karya misi di Hindia Belanda dan mendirikan [[Prefektur apostolik|Prefektur Apostolik]] Hindia Belanda di Batavia pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-18110 (lihat: [[Gereja Katedral Jakarta#Sejarah|Sejarah Gereja Katedral Jakarta]])
 
Pada tanggal 4 April 1808, dua orang Imam dari Negeri Belanda tiba di Jakarta, yaitu Pastor Jacobus Nelissen, Pr dan Pastor Lambertus Prisen, Pr. Yang diangkat menjadi [[Prefektur apostolik|Prefek Apostolik]] pertama adalah Pastor J. Nelissen, Pr.
 
Setelah Gubernur Jendral [[Daendels]] (1808-1811) berkuasa menggantikan VOCwalaupun dengan pemerintah [[Hindia Belanda]]. Kebebasankebebasan beragama kemudian diberlakukan, walaupunnamun agama Katolik saat itu agak dipersukar. Hal itu karena pergantian kekuasaan di Belanda setelah kekalahan Napoleon pada 1815, yang mengangkat Willem I menjadi raja Belanda. Selain itu misi di Hindia-Belanda kekurangan tenaga. Imam saat itu hanya 5 orang untuk memelihara umat sebanyak 9.000 orang yang hidup berjauhan satu sama lainnya. Akan tetapi pada tahun [[1889]], kondisi ini membaik, di manakarena ada 50 orang imam di Indonesia. Di daerah [[Yogyakarta]], misi Katolik dilarang sampai tahun [[1891]].
 
=== Van Lith ===