Kerajaan Larantuka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Athrion (bicara | kontrib)
k ←Membatalkan revisi 3827457 oleh Yoseph Yapi Taum (Bicara)
Baris 1:
{{Infobox Former Country
Pendiri Kerajaan Larantuka
|native_name = Tana Nagi
|conventional_long_name = Ilimandiri Larantuka
|common_name = Larantuka
|continent = [[Asia]]
|region = [[Asia Tenggara]]
|country = [[Indonesia]]
|religion = [[Katholik]]
|image_flag =
|image_coat =
|symbol_type =
|p1 = Portugal
|p2 =
|s1 = Hindia Belanda
|s2 =
|flag_p1 = Flag of Portugal.svg
|flag_p2 =
|flag_s1 = Flag of the Netherlands.svg
|year_start =
|year_end =
|date_start =
|date_end =
|event_start =
|event_end =
|image_map = Lokasi Flores.png
|capital = Larantuka
|common_languages = [[Bahasa Melayu|Melayu]]
|government_type = Monarki
|title_leader = Lorenzo I
|currency =
|footnotes =
}}
 
'''Kerajaan Larantuka''' adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti ''pulau naga'' dalam bahasa lokal,<ref>Sareng Orinbao (1969), ''Nusa Nipa: nama pribumi Nusa Flores (warisan purba)'', percetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah, Ende</ref> sedangkan dalam [[bahasa Portugis]]: ''Cabo de Flores'' <ref>Laan, Petrus. 1962-1968. Larantuka 1860-1918, 9 vols. (deposited in the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Leiden, The Netherlands).</ref> yang sekarang disebut sebagai [[pulau Flores]]<ref>Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis ''Cabo de Flores'' yang berarti ''Tanjung Bunga''. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda [[Hendrik Brouwer]]. </ref> dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao <ref>Barnes, R. H., ''The Majapahit dependency Galiyao'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 138, p. 407-412</ref><ref>Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, ''Java in the 14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD'' (The Hague, Martinus Nijhoff, 1962), vol. 4, p. 29-34</ref> yang disebut sebagai perdagangan monopoli penghasil [[santalum album|kayu cendana]]<ref>Fraassen, Ch. F. van, ''Drie plaatsnamen uit Oost-Indonesië in de Nagara-Kertagama: Galiyao, Muar en Wwanin en de vroegere handelsgeschiedenis van de Ambonse eilanden'', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 132, p. 293-305</ref> dan wilayah kekuasaan kerajaannya meliputi sampai [[Kerajaan Adonara]].<ref>Verbaal. 21 April 1906, no. 55. Nationaal Archief, The Hague, Ministerie van Koloniën, 1900-1963, Openbaar verbaal, 1900-1952.</ref> dengan raja pertama bernama Lorenzo I <ref>Heynen, F. C. 1876a. Het Christendom op het Eiland Flores in Nederlandsch Indië (Studiën op Godsdienstig, Wetenschappelijk en Letterkundig Gebied 8: 8). The Hague: van Gulick.</ref>
 
==Referensi==
{{reflist}}
==Daftar Pustaka==
*Anderson, B.R.O.G. 1972. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Hoit. C., ed. Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
*Barlow, Colin, et.al. 1989. Potensi-potensi Pengembangan Soslal Eko-nomi di Nusa Tenggara Timur. Canberra: Australian National University.
*Fernandez, F.K. 1981. Semana Santa: Upacara Devoci Tradisional di Larantuka. Larantuka: Konfrerta Reinha Rosari.
*Galtung, Johan. 1980. The True Worlds: A Transnational Perspectives. New York: MacMillan Co.
*Graham, Penelope. 1985. Issues in Social Structure in Eastern Indonesia. Oxford University Press.
*Kennedy, R. 1955. A Notes on Indonesia: Flores 1949-1950. Human Relations Area
*Mubyarto, et.al. 1991. Etos Kerfa dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rore, Sabu,Timor di WIT. Yogyakarta: P3PK UGM.
*Petü, Piet. 1967. Nusa Nipo: Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa indah.
* Soewondo, Bambang, et.al. 1987. Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Depdikbud.
*Soemargono, K. et.al. 1992. Profil Propinsi RI: Nusa Tenggara Timur. Jakarta: PT lntermasa.
*Taum, Yoseph Yapi. 1993. Tradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam Cerita Rakyat Flores Timur. Yogyakarta: Tesis Master pada Fakultas Pascasarjana UGM.
*Van Wouden, F.A.E. 1985. Klen, Mitos dan Kekuasaan: Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur. Jakarta: Grafiti Pers.
*Vatter, Ernst. 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Berguolker Im Tropisehen Holland (1932) oleh S.D. Sjah. Ende Nusa lndah.
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Larantuka]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusa Tenggara Timur|Larantuka]]
 
 
 
<!--
1. Pengantar
Tinjauan terhadap struktur birokrasi dan sistem kekuasaan di Flores Timur ini dimaksudkan sebagal studi awal yang mencoba memahami beberapa tradisi pengalaman bermasyarakat, dalam kaitan dengan artinya sebagai pelaku sosial untuk lebih memahami proses kerja sistem sosial. Tradisi di sini dimengerti sebagai suatu pola atau sistem makna dalam bentuk simbol-simbol yang diwariskan secara historis, suatu acuan wawasan turun-temurun yang melaluinya masyarakat berkomunikasi, meneruskan, dan rnengembangkan pengetahuan dan pola sikap mereka tentang dan atas kehidupan. Dalam berbagal tradisi suku-suku bangsa, peranan ritus dan mitos dalam tatanan sosio-kosmik menduduki posisi penting. Posisi itulah yang terutama disoroti dalam uraian ini.
Beberapa masalah teoritis yang muncul dan pembahasan tentang struktur birokrasi dan sistem kekuasaan tradisional di Flores Timur membuka cakrawala budaya yang lain daripada yang telah digariskan oleh paradigma kebudayaan ‘nasional’. Dengan demikian akan tampak, bahwa untuk mencapai suatu sistem pengaturan sosial yang bersifat ‘umum’ (nasional), masih banyak yang perlu dikerjakan. Pandangan yang demikian itu kiranya mengingatkan juga, bahwa dalam sistem pengaturan sosial perlu ditemukan pendekatan-pendekatan yang sesuai dan memadai, antara lain dengan menangkap perspektif yang cukup luas dari kehidupan kebudayaan setempat. Tanpa memanfaatkan kemampuan pribumi dalam sistem pengaturan sosial itu, maka evolusi masyarakat kita akan lebih dibentuk oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang pada gilirannya membentuk makhluk-makhluk yang secara spiritual terasing dari buminya sendiri. Pentingnya memasukkan faktor budaya dalam menganalisis pembangunan berkaitan erat dengan fungsi budaya, yang menurut para ahli kebudayaan (seperti Galtung, 1980), memainkan peranan yang sangat menentukan dalam pergerakan sosial besar yang mengubah masyarakat.
Dalam konteks itulah pembicaraan tentang upaya mengangkat taraf kehidupan warga ke arah kelayakan sebagai human being ditempatkan. Salah satu upaya dalam kerangka itu adalah sedapat mungkin memanfaatkan jiwa, semangat, dan dorongan-dorongan yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dengan memahami tradisi pengalaman bermasyarakat suatu etnik dan mendasarkan kebijaksanaan atas kebudayaan mereka masing-masing, akan bisa dicegah kebijaksanaan yang menimbulkan situasi disintegratif dan mengakibatkan konflik kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Pokok-pokok masalah yang dibicarakan dalam tulisan ini mencakup: latar belakang dan sejarah singkat tentang Kerajaan Larantuka; pembagian wilayah tenitorial Kerajaan Larantuka di Flores Timur sebagai ajang berputarnya roda pemerintahan zaman itu; bentuk-bentuk hirarki jabatan; dan bentuk-bentuk organisasi pemerintahan waktu itu beserta aparatur-aparaturnya. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi.
 
2. Latar Belakang dan Sejarah Kerajaan Larantuka
Sumber-sumber tertulis yang memberi informasi tentang Kerajaan Larantuka sampai dengan kedatangan bangsa Barat, tidak tersedia sehingga sulit dipastikan sejak kapan kerajaan ini muncul. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa pada abad ke-13 dipastikan sudah ada sistem pemerintahan yang teratur di bawah pimpinan seorang raja (Soemargono, ed., 19 92:9).
Sumber-sumber tradisi lisan, yang sebagiannya masih terpelihara melalui tutu maring usu-asa (cerita asal usul) yang dikeramatkan, kiranya .merupakan bahan berharga yang membantu memberikan penjelasan tentang sejarah, kebudayaan, dan pandangan dunia masyarakat Flores Timur. Beberapa peneliti etnografi telah memanfaatkan dengan baik sumber-sumber tradisi lisan ini (lihat, misalnya Vatter, 1984; Graham, 1985; Petu, .1967; Van Wouden, 1985). Dalam tulisan inii dimanfaatkan sumber tradisi lisan dan. beberapa sumber tertulis.
Sejarah kependudukan masyarakat NTT pada umumnya menunjukkan bahwa propinsi ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnik menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989:12; Mubyarto, 1991:5). Kenyataan ini membawa tantangan tersendiri, terutama jika heterogenitas itu menimbulkan konflik kebudayaan. Khusus dalam masyarakat Flores Timur, gejala heterogenitas terlihat dalam sejarah asal usul, suku, bahasa (dialek), filsafat dan pandangan dunia. Pembicaraan mengenai aspek-aspek tersebut acap kali memunculkan perdebatan sengit antara berbagai orang yang memegang ‘otoritas’ (Vatter, 1984:71). Suatu persoalan yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah, bagaimana masyarakat yang pluralistik seperti itu membangun sebuah komunitas hidup bersama dan mengembangkan semacam ‘lembaga peredam konflik’.
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka) (Soewondo, 1981 : 22-24; Fernandez, 1984; Taum, 1993).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitobogis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka). Sekalipun terdapat pola kekerabatan, ternyata hubungan itu banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Permusuhan dan pertentangan antara kedua kelompok itu bahkan menimbulkan peperangan yang berlangsung beratus-ratus tahun lamanya dan sukarI didamaikan sampai dengan abad ke-19 (Vatter, 1984:23-24). Dalam perkembangan selanjutnya, perang yang terkenal dengan nama Perang Paji Demon itu bergeser menjadi perang antara orang-orang Demon (yakni pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka) melawan orang-orang Paji (yakni pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor, tanpa melihat apakah mereka Islam, Kristen atau kafir). Selaras dengan itu dibedakan antara ‘tanah Paji’ dan ‘tanah Demon’; Paji Nara dan Demon Nara (Vatter, 1984:24-25; Graham, 1985:59-60).
Dari perkawinan Pati Gob dan Wato Wele, lahir tiga putra yakni : Kudi Lelen Bala (yang kelak menurunkan orang Waibalun), Padu Ile (yang kelak menurunkan raja-raja Larantuka), dan Lahalapan (yang kelak menurunkan orang-orang Balela). Yang dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka adalah Sira Demon Pagong Molang, karena raja inilah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaannya.
 
3. Pembagian Wilayah Teritorial
Raja Sira Demong Pagong Molang membagi dan menetapkan wilayah Kerajaan Larantuka atas 10 distrik kakang (kakangschap) yang disebut “Demon Lewo Pulo”, yang dikuasai oleh raja Larantuka sebagal “Raja Koten Demon Lewo Pulo” Penetapan kesepuluh wilayah kakang itu dilaksanakan dengan upacara ritual pemotongan kerbau. Kesepuluh wilayah kakang itu adalah: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera (di Lembata), Kakang Boleng dan Kakang Horowura (di Adonara), Kakang Pamakayo dan Kakang Lewolein (di Solor), Kakang Wobo, Mudakaputu, Lewingo, dan Lewotobi (di ujung timur Flores Timur). Dari kesepuluh wilayah itu, kakang Hadung dan Boleng menduduki posisi yang lebih penting, sebagai semacam pusat dari 4 wilayah lainnya, sehingga Graham (1984:125) mengidentifikasi model organisasi politik di Flores Timur adalah ‘2x4’. Model pembagian organisasi wilayah seperti itu terlihat pula dalam pembagian wilayah di pusat Kerajaan Larantuka. Pusat wilayah kerajaan adalah Lokea, yang bersama-sama dengan 8 kampung lainnya (Posto, Pohonsirih, Pohonrau, Gegeb, Renion, Kotta, Kottasau, dan Kottaruido) membentuk ‘rumah raja’. ‘Rumah Raja’ dikelilingi oleh 4 kompleks kampung (yang dikenal dengan istilah po atau pau) yakni Lewonama, Waibalun, Balela, dan Lewerang. Ketika pemerintahan di Lewerang tidak berjalan, raja mengambil alih kampung itu dan memindahkan pusat wilayah dari Lokea ke Larantuka.
Kelompok-kelompok imigran (Sina Jawa dan Kroko Puken) ditempatkan dalam wilayah tertentu. Kelompok Sina Jawa menempati tanah di Tengah dan Lebao. Kelompok Kroko Pukeng (yang terdiri dari dua gelombang kedatangan) ditempatkan di Lewolere (yang dikepalai oleh seorang kepala kampung) dan di Lehayong (yang dikepalai oleh raja dari Kroko Pukeng). Dalam hal struktur administrasinya, masing-masing kelompok imigran itu dipimpin oleh ketuanya sendiri, sedangkan raja dari Kroko Pukeng diangkat mengepalai para ketua itu, sehubungan dengan posisi awal otoritasnya.
Baris 12 ⟶ 77:
Di Lewayong (Solor) terdapat tradisi kerajaan Islam yang mempunyai supremasi yang mantap terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya, terutama sekitar tahun 1680 dalam masa pemerintahan Ratu Nyai Chili Muda.
 
4. Bentuk-bentuk Hierarki Jabatan
Sekalipun dalam kerajaan Larantuka sudah dikenal adanya penguasa ‘ tunggal ’ yakni raja, pola kekuasaannya tidak dapat disamakan dengan pola kekuasaan raja-raja tradisional di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Raja Larantuka tidak memiliki pola kekuasaan ‘permanen dan rutin.’ Kekuasaannya bersifat ‘temporal dan berasal dari berbagai sumber’ serta ‘dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus’ ( Graham, 1985: 130-131 ). Bandingkan dengan pola kekuasaan Jawa yang terletak pada “karisma” yang permanen dan rutin sebagai prinsip dalam organisasi negana (Anderson, 1972:67). Menurut Anderson, di Jawa memang terdapat birokrasi, tetapi mereka hanya mendapatkan legitimasi dan otoritasnya dari ‘pancaran pusat’ yang melingkupi keseluruhan struktur dengan energinya.
Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang disebut ‘Raja Kedua’. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya dan 2 kapitan yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten, dan Kapitan membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar. Dalam mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan saran dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan kepada pimpinan 10 distrik kakang (Graham, 1985:127). Paoe Suku Lerna (dari istilah bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala perang, tentara raja, yang disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Waibalun, Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada kedudukan dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).
Dalam penelitian Kennedy (1955: 155-156), terungkap bahwa kekuasaan dan otoritas raja Larantuka tidak secara langsung berasal dari relasinya dengan tanah, bukan pula karena dukungan dari tuan tanah (tana alant), melainkan lebih ditentukan oleh legitimasi magis dari leluhur pertama yang bermula dari episode-episode mitos asal usul (jadi: intensifikasi mitologis). Kekuatan magis leluhur itu dipercaya dapat diturunkan melalui batu pemujaan (nuba nara) kepada keturunannya. Di samping intensifikasi mitologis dan ritual melalui nuba nara, terdapat dua simbol ritus lainnya yang dianggap penting, yakni: rumah adat (korke) dan tempat menari (namang). Akan tetapi yang paling menentukan (no’o ikeng) di antara keempat sumber legitimasi itu, menurut Kennedy, adalah intensifikasi mitologis yang bermula dari tutu maring usu-asa (kisah mitos asal usul). Dengan demikian, pembagian hierarki jabatan didasarkan atas pemikiran tentang bentuk hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dan imigran, dan antara jabatan duniawi dan jabatan rohani.
 
5. Bentuk-bentuk Organisasi Pemerintahan dan Aparatnya
Upacara ritual pengorbanan hewan menduduki posisi penting dan mernperigaruhi berbagal struktur dan proses sosial pada berbagal lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang, ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar). (Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban. Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan mengatur masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas membacakan doa, menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau tua-tua yang disebut Kelake.
Berfokus pada makna kedudukan dan fungsi di dalam upacara ritual pengorbanan hewan itu, raja mengidentifikasikan dirinya sebagai ‘Tuan Tanah Besar’ dan menjadi bagian dari keseluruhan sistem tuan tanah asli, karena raja adalah Koten Demon Lewo Pulo (koten artinya kepala dari kerajaannya). Akan tetapi, bagaimanapun, raja bukanlah tuan tanah satu-satunya karena di samping dia ada tuan tanah lain yang merupakan pemilik tanah, atau yang disebut raja tanah. Ada pula Koten yang merupakan pembantu utama raja (po suku lema) yang juga sebenarnya tergolong tuan tanah. Dalam studi Graham (1985:130), disebutkan bahwa istilah 'raja tanah' sesungguhnya mengekspresikan derajat penghormatan raja terhadap tuan tanah pribumi, yang akhirnya diabdikan pula kepada raja. Dalam struktur pemerintahan tradisional, tuan tanah pribumi (tana alant) ini juga menjadi kepala kampung. Dalam kompleks perkampungan pusat kerajaan di Lewonama, tuan tanah pribumi itu pun bertindak sebagai kepala kompleks. Jadi tuan tanah itu berperanan baik dalam hal administrasi kerajaan maupun sebagai imam kerajaan. Dalam pola pandangan seperti ini, Graham (1985:130) menyimpulkan bahwa ‘Raja memiliki kekuasaan temporal tertinggi, tuan tanah memiliki kekuasaan spiritual terbesar, dan dengan demikian relasi timbal-balik yang harmonis terjadi antara agama dan politik kerajaan, pusat dan daerah, urusan jasmani dan urusan rohani..
 
6. Penutup
Dari seluruh uraian mengenai struktur birokrasi dan sistem kekuasaan tradisional Flores Timur di atas, tampak bahwa ada hasrat yang kuat dalam masyarakat yang sangat heterogen itu untuk membentuk ‘organisasi bersama’ yang lebih kohesif dan efektif mengatasi berbagai kelemahan struktural dalam masyarakatnya. Selalu ada pemikiran tentang relasi timbal-balik yang harmonis antar berbagai faktor yang saling bertentangan. Yang terjadi dalam kasus pembentukan birokrasi dan pola-pola kekuasaannya tak lain adalah internalisasi dialektis atau dinamis dari unsur-unsur kebudayaan yang heterogenetik dan ortogenetik.
Dari pengalaman dan penghayatan hidup bersama itu, terciptalah sistem nilai dalam bentuk simbol-simbol yang akan menjadi acuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Demikian maka kekuasaan raja hanya bersifat temporal dan berasal dari berbagai sumber (seperti Raja Kedua, Kumpulan Anggota Besar, Koten Larantuka, tuan tanah, dan kepala-kepala distrik kakang). Tuan tanah memiliki kekuasaan dan segi administrasi kerajaan maupun kekuasaan spiritual, sehingga terjadi interaksi timbal-balik yang harmonis antara agama dan politik, pusat dan daerah, penduduk pribumi dan imigran. Legitimasi dan kohesi sosial itu diperkuat lewat intensifikasi mitologis dan ritual yang khas.
Organisasi kekuasaan di desa-desa juga tidak terlepas dari jiwa ‘organisasi bersama’ yang kohesif, sehingga tidak dikenal adanya penguasa tunggal. Masing-masing kepala suku: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Hurint, dan Ama Marang memiliki kedudukan dan fungsi tersendiri dalam pengaturan kekuasaan duniawi dan spiritual. Dengan simbol-simbol kehudayaan seperti itulah masyarakat Flores Timur berkomunikasi, mewariskan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan atas kehidupan di dalam dunia yang penuh makna. Di dalamnya, mereka bisa merasakan kesinambungan dengan masa lalunya sendiri serta merasa bangga dengan identitasnya.
Jika kita menerima pandangan bahwa mengakomodasikan faktor-faktor budaya lewat perangkat dan praktik kebijaksanaan akan mampu membentuk suatu kekuatan pembebas yang tangguh, maka berbagal entitas budaya dan ‘kemampuan pribumi’ perlu mendapat perhatian. Itu berarti, berbagai kebijaksanaan pengaturan sosial perlu dirancang sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi hidup, gerak, dan berkreasinya kekuatan kekuatan ‘internal’. Kita menyaksikan, bahwa kebijaksanaan pembangunan terkadang berakibat fatal terhadap identitas berbagai kelompok etnik yang ‘terpaksa’ masuk ke dalam arus besar sosial-ekonomi dan teknologi modern.
Dari uraian di muka terlihat bahwa ada perbedaan pola organisasi dan pola kepemimpinan masyarakat Flores Timur dan masyarakat Jawa. Kepemimpinan masyarakat pedesaan di Fores Timur sekaligus memiliki fungsi adat (ritual) dan fungsi formal (administrasi). Sedangkan sifat dasar kepemimpinan desa di Jawa hanya menjadi wakil pemerintah di daerah pedesaan. Raja dan pemimpin-pemimpin masyarakat desa Flores Timur tidak memiliki kekuasaan yang mutlak (otonom) dan permanen. Pemimpin pemimpin itu menjalankan fungsinya bersama dengan wakil-wakil dari suku, kakang, po suku lema, dan lain-lain. Keputusan-keputusan yang diambil masih harus disetujui oleh tetua desa (kelake).
 
 
 
Tulisan ini berasal dari artikel Yoseph Yapi Taum, pernah dimuat dalam Majalah Basis, Yogyakarta, 1994.-->