Ateisme: Perbedaan antara revisi

[revisi terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
menghindari penggunaan kata "di mana"
Baris 40:
 
=== Ruang lingkup ===
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ''ateisme'' terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti ''dewa'' dan ''tuhan''. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ''ateisme''. Dalam konteks di mana ''teisme'' didefinisikan sebagai kepercayaan pada [[Tuhan]] monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi [[paganisme]]. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya ''teisme'' meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.<ref name="mmartin">Martin, Michael. ''[http://books.google.com/books?vid=ISBN0521842700 The Cambridge Companion to Atheism]''. Cambridge University
Press. 2006. ISBN 0-521-84270-0.</ref>
 
Baris 96:
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.<ref>Various authors. "Logical Arguments for Atheism". [[Internet Infidels]], ''The Secular Web Library''. Diakses pada [[9 April]] [[2007]].</ref>
 
Ateis [[teodisi]] percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan [[masalah kejahatan|kejahatan]] dan [[penderitaan]], dan di mana welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.<ref>[[Theodore Drange|Drange, Theodore M.]] (1996). "[http://www.infidels.org/library/modern/theodore_drange/aeanb.html The Arguments From Evil and Nonbelief]". [[Internet Infidels]], ''Secular Web Library''. Diakses pada [[18 April]] [[2007]].</ref> Argumen yang sama juga diberikan oleh [[Siddhartha Gautama]], pendiri [[Agama Buddha]].<ref>V.A. Gunasekara, {{cite web |url=http://www.buddhistinformation.com/buddhist_attitude_to_god.htm |title=The Buddhist Attitude to God. |archiveurl=http://web.archive.org/web/20080102053643/http://www.buddhistinformation.com/buddhist_attitude_to_god.htm |archivedate=2008-01-02}} In the Bhuridatta Jataka, "The Buddha argues that the three most commonly given attributes of God, viz. omnipotence, omniscience and benevolence towards humanity cannot all be mutually compatible with the existential fact of dukkha."</ref>
 
==== Argumen antroposentris ====
Baris 177:
Filsuf [[Susan Neiman]]<ref>{{cite video| people =[[Susan Neiman]]| title =Beyond Belief Session 6| medium =Conference| publisher =The Science Network| location =[[Salk Institute]], La Jolla, CA|date= November 6, 2006 }}</ref> dan [[Julian Baggini]]<ref> {{harvnb|Baggini|2003|p=40}}</ref> menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.<ref>{{harvnb|Baggini|2003|p=43}}.</ref> Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.<ref> 101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.) </ref> Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada ''Political Philosophy from Plato to Mao'' dalam kasus kitab [[Al-Quran]] yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.<ref> Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008 </ref>
 
Walaupun demikian, para ateis seperti [[Sam Harris (penulis)|Sam Harris]] berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada [[otoritarianisme]] dan [[dogma]]tisme.<ref>{{cite web |last=Harris |first=Sam | authorlink = Sam Harris (author) |title=The Myth of Secular Moral Chaos |url=http://www.secularhumanism.org/index.php?section=library&page=sharris_26_3 |accessdate=2006-10-29 |publisher=[[Free Inquiry]] |year=2006a}}</ref> Dan sebenarnyaSebenarnya pula, [[fundamentalisme agama]] dan agama ekstrinsik (di mana agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan<ref name=Moreira-almeida2006>{{cite journal |author=Moreira-almeida, A. | coauthors = Lotufo Neto, F.; Koenig, H.G. |year=2006 |title=Religiousness and mental health: a review | journal = Revista Brasileira de Psiquiatria | volume = 28 |pages=242–250 |url=http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S1516-44462006000300018&script=sci_arttext |accessdate=2007-07-12 }}</ref>) berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.<ref>See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "[http://links.jstor.org/sici?sici=0021-8294(197706)16%3A2%3C179%3AIRAAAD%3E2.0.CO%3B2-X Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated Relationship]". ''Journal for the Scientific Study of Religion''. '''16'''(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and Bruce Hunsberger (1992). "[http://www.leaonline.com/doi/abs/10.1207/s15327582ijpr0202_5?journalCode=ijpr Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice]". ''International Journal for the Psychology of Religion''. '''2'''(2). hal. 113-133.</ref> Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti [[Perang Salib]], [[Inkuisisi]], dan penghukuman [[sihir|tukang sihir]], sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.<ref>{{cite web |last=Harris |first=Sam | authorlink = Sam Harris (author) |title=An Atheist Manifesto |url=http://www.truthdig.com/dig/print/200512_an_atheist_manifesto |accessdate=2006-10-29 |publisher=[[Truthdig]] |year=2005 | quote = In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree.}}</ref>
 
== Lihat pula ==