Gereja Puhsarang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alagos (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Ranahilmu (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 72:
 
=== Gereja "Diantara" Dua "Dunia" ===
Dalam inkulturasi dikenal istilah "locus theologicus" atau konteks teologi. Beriman Kristiani mendasarkan diri pada kebenaran-kebenaran Wahyu dan komunikasi dengan bahasa dan nilai-nilai luhur kebudayaan yang menjadi "locus" hidup sehari-hari. Gereja Pohsarang bukan sekedar sebuah bangunan indah, tetapi juga tempat dimana umat Katolik bersimpuh dengan penuh iman, beribadat dengan ketakwaan dan menyembah Allah secara khusuk. Gereja adalah wilayah "perjumpaan" Tuhan dengan umat-Nya. Menarik untuk memperhatikan pilihan Romo Jan Wolters mengenai tempat pembangunan Gereja Kraton Jawa yang megah ini di sebuah desa Pohsarang yang pada waktu itu terbilang wilayah terpencil. Mengapa Pohsarang? Armada Riyanto CM<ref>[http://www.stftws.org Armada CM-STFT Widya Sasana]</ref> dalam ''Membangun Gereja dari Konteks'' (2004) mengatakan bahwa perjumpaan dengan Tuhan akan memiliki makna yang mendalam, indah, dan inkulturatif bila dijalankan di wilayah pergumulan rohani peradaban hidup manusia-manusia setempat.<ref>Armada Riyanto CM, ''Membangun Gereja dari Konteks'', Dioma dan STFT Widya Sasana, Malang, hlm. 37-43.</ref> Pohsarang sebagai sebuah desa memang memiliki keistimewaan tersembunyi, terletak "diantara" kota Kediri dan gunung Wilis. Dahulu Kediri adalah emblem peradaban dunia, sebab pernah mengukir peradaban tinggi kejayaan manusia dalam kerajaan Kediri yang sangat termasyhur itu. Kediri seolah mengukir peradaban keluhuran kebudayaan tinggi manusia. Sementara, "gunung" dalam kitab-kitab kuno dipadang sebagai tempat suci "para dewa" (konon Raja Erlangga wafat dengan bersemedi di gunung Wilis ini). Gunung lantas seolah mengukir peradaban keabadian, wilayah kemuliaan dan tempat tinggal "para dewa." Sementara Pohsarang berada "diantaranya" (bila mengutip istilah postmodern, "in between"). Pohsarang sebagai wilayah seolah memiliki karakter rohani "diantara" dunia manusia ("di bawah") dan dunia "di atas". Maka, Pohsarang sebagai wilayah terpencil memang memiliki "makna rohani" yang dipandang sebagai tempat perjumpaan antara Tuhan dan manusia; dan hal itu ditangkap ''providentially'' oleh Romo Jan Wolters CM dan diwujudkannya dalam sebuah Gereja megah nan indah, sebuah Gereja Keraton Jawa, sebuah Gereja dimana manusia-manusia bersimpuh, bermeditasi, memuji, berjumpa dengan Tuhan, Rajanya.<ref>''St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen'', 15 Juli 1937, hlm. 108-110.</ref> Pohsarang seolah-olah menjadi sebuah tempat dimana manusia "meninggalkan" wilayah kesehariannya untuk menyatukan diri dengan Tuhan dalam sebuah perjumpaan meditatif. Secara simbolik, desa Pohsarang lantas seakan merupakan wilayah yang "menyatukan" manusia dan Tuhan, Sang Rajanya.
 
== Renovasi Gereja ==