Imamat am orang percaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: perubahan kosmetika
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
Imamat am (umum) orang percaya atau imamat am umat beriman adalah sebuah konsep yang diidentikkan dengan [[Martin Luther]] ketika melakukan ia menyerukan [[Reformasi Gereja]] di abad ke-16, serta mempelopori gerakan [[Protestantisme]].<ref name="Wellem">F.D. Wellem.1987. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal.168, 172.</ref> Kata ‘imamat’ ditemukan di dalam dua kitab Perjanjian Baru, yakni di dalam Kitab {{Alkitab|I Petrus 2:5}} dan {{Alkitab|I Petrus 2:9|2:9}}, serta di dalam [[Kitab {{Alkitab|Wahyu]] 1:6, 5:10, 20:6}}. Teks-teks ini merupakan dasar dari konsep imamat am umat beriman menurut pengertian PB, sedangkan Luther mendasarkan pemikirannya dari teks {{Alkitab|I Petrus 2:9}}.<ref name="Wellem"></ref>
 
== Imamat Am di dalam Perjanjian Baru ==
Baris 5:
Di dalam Kitab Ibrani terdapat pemahaman yang khas dalam Perjanjian Baru mengenai Yesus sebagai Imam Besar Agung, yang menjadi dasar dari konsep Imamat Am orang percaya. Di dalam kitab ini, hukum Yahudi digambarkan sebagai hukum yang tidak sempurna, serta gagal untuk menempatkan manusia di hadapan Allah.<ref name="Ehrman">{{en}}Bart D. Ehrman. 2004. The New Testament: A Historical Introduction to the Early Christian Writings. New York, Oxford: Oxford University Press. P. 411.</ref> Ketidakmampuan perjanjian yang lama ini bahkan sudah disadari oleh para nabi PL sehingga mereka memprediksikan bahwa Allah akan menetapkan perjanjian yang baru yang akan berhasil. Perjanjian baru ini digambarkan sebagai bayang-bayang melalui Musa dan menjadi nyata di dalam karya Yesus. Yang lama telah berlalu dan umat percaya harus memegang yang baru.<ref name="Ehrman"></ref>
 
Perlu diperhatikan bahwa Yesus sendiri tidak pernah memakai sebutan imam bagi dirinya sendiri. Dalam pengajaranNya, Yesus tidak pernah memakai gambaran imam dan juga kehidupan peribadahan. Sebaliknya, pengajaranNya malah menggunakan gambaran dunia sekular di sekitarnya dan beberapa kali mengkritik institusi keimaman, misalnya dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang murah hati ({{Alkitab|Lukas 10:25-37}}).<ref name="Küng"></ref> Murid-muridnya juga tidak pernah disebut sebagai imam. Karena itu, teologi dari Kitab Ibrani adalah refleksi iman akan pengalaman pekerjaan dan kematian Yesus yang menunjukkan ketaatan dan pelayanan yang amat mendalam dan unik pada Allah dan sesama, sehingga kematian Yesus dipandang sebagai pengorbanan kultis.<ref name="Küng"></ref> Di sinilah dipadankan antara darah Yesus dengan signifikansi darah anak domba dalam persembahan kurban, dan bahkan Yesus sendiri dipahami sebagai imam besar.<ref name="Küng"></ref>
 
Penulis Ibrani melihat rencana penyelamatan Allah seperti di dalam Perjanjian Lama telah tergenapi dalam Yesus serta hidupNya, dan inti seluruh karya Allah adalah pertemuan Allah dengan manusia berdosa.<ref name="Groenen">C. Groenen. 1984. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 327-328.</ref> Di dalam Perjanjian Lama, pertemuan ini terjadi lewat ibadat kurban yang dipimpin oleh [[Imam Besar]], namun semua itu hanya bayangan dari realita yang tergenapi dalam Yesus Kristus. Dengan demikian ada dua tahap dalam sejarah penyelamatan yaitu kurban dalam Perjanjian Lama dan Yesus dalam Perjanjian Baru, dan kemudian hal itu dipikirkan dengan cara dunia dua tingkat tegak lurus dalam pemikiran [[Plato]], sehingga seolah ada dua dunia: dunia Perjanjian Lama dan dunia Perjanjian Baru.<ref name="Groenen"></ref> Dunia Perjanjian Lama adalah bayangan, cerminan, lambang, dari dunia Perjanjian Baru, dunia yang nyata dan abadi. Yesus, melalui kematian, telah berpindah dari dunia lama ke dunia baru, dan setiap orang yang percaya dan berpegang teguh pada Yesus akan ikut serta asalkan yakin ({{Alkitab|Ibrani 3:6, 3:14}}) dan berpengharapan ({{Alkitab|Ibrani 10:24}}).<ref name="Groenen"></ref> Peralihan dari dunia yang lama ke dunia yang baru itulah yang merupakan ‘ibadat kurban’ yang diselenggarakan oleh Yesus sang Imam Besar Agung.<ref name="Groenen"></ref>
 
Kemudian Yesus juga dipandang lebih besar dari [[keimaman Yahudi]] sebab para imam masih berdosa dan perlu mempersembahkan kurban bagi dirinya sendiri, sedangkan Yesus tidak berdosa dan menjadi kurban yang sekali untuk selamanya pula.<ref name="Ehrman"></ref> Yesus juga lebih tinggi dari imamat Lewi, sebab Yesus hanya sekali untuk selamanya untuk mempersembahkan kurban ({{Alkitab|Ibrani 10:1-18}}).<ref name="Ehrman"></ref> Menurut penulis Ibrani, Yesus menjadi satu-satunya mediator manusia dengan Allah dan tak perlu lagi institusi keimaman yang lama dan hanya merupakan bayangan dari yang sejati dalam Yesus Kristus sang Imam Besar Agung.
 
=== Menurut Kitab I Petrus ===
Teks {{Alkitab|I Petrus 2:9}} dikutip dari Kitab {{Alkitab|Keluaran 19:5-6}} di dalam Perjanjian Lama. Di sini ada keserupaan, yakni kata ‘kamu’ ditujukan kepada orang-orang, meski menggunakan kata ganti personal tunggal.<ref name="Vanhoye">{{en}}Albert Vanhoye. 1986. Old Testament Priests and the New Priest According to New Testaments. Petersham, Massachuchetts: St. Bede’s Publications. P. 251.</ref> Di antara kedua teks tersebut ada perbedaan subyek yang berbicara, di mana di dalam Keluaran 19: 5-6 Allah menjadi subyek yang berbicara, sedangkan dalam I Petrus 2:9 yang berbicara adalah seorang rasul. Akan tetapi, perbedaan ini tidaklah masalah sebab tokoh Petrus tidak berbicara atas namanya sendiri melainkan selaku orang yang menyampaikan perkataan Allah.<ref name="Vanhoye"></ref>
 
Yang perlu dibedakan antara dua teks tersebut adalah perubahan waktu pengucapan, perubahan pembaca, dan perubahan dalam konteks. Frasa dari Keluaran menggambarkan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, dengan kaum Israel yang dikontraskan dengan kaum non-Israel sebagai pembacanya, serta bersifat kondisional. Sedangkan di dalam I Petrus, teks tersebut menunjuk ke masa kini, dialamatkan pada orang-orang yang berasal dari latar belakang non-Yahudi, dan tidak bersifat kondisional.<ref name="Vanhoye"></ref> Di dalam I Petrus, apa yang diharapkan terjadi di masa depan oleh teks Keluaran 19:5-6 dilihat telah tergenapi, di mana orang-orang non-Yahudi yang tadinya bukan umat Allah kini menjadi umat Allah.<ref name="Vanhoye"></ref> Untuk lebih mengeksplisitkan aspek pemenuhan ini, penulis Kitab I Petrus meluaskan teks Keluaran dengan menambahkan dari [[Deutero-Yesaya]] suatu frasa: “Umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemashyuran-Ku” ({{Alkitab|Yesaya 43:21}}). Akan tetapi, kemuliaan tersebut tidak berkaitan dengan kehebatan pribadi, melainkan karena kasih Allah belaka ({{Alkitab|I Pet 2:10}}).<ref name="Vanhoye"></ref>
 
Dengan demikian, di dalam teks {{Alkitab|I Petrus 2:5}} dan {{Alkitab|1 Petrus 2:9|2:9}} telah ditegaskan bagaimana umat yang percaya pada Yesus telah dianugerahi untuk menjadi imam secara komunal, bukan secara individual. Keimaman jemaat bukanlah keimaman pribadi-pribadi. Selain itu, keimaman tidak lagi ditentukan dari garis keturunan darah seperti di dalam Perjanjian Lama, melainkan menurut iman sehingga keimaman tersebut terbuka untuk semua orang dari segala bangsa.
 
=== Menurut Kitab Wahyu ===
Teks-teks {{Alkitab|Wahyu 1:6, 5:10, 20:6}} menyebutkan hal yang serupa dengan I Petrus bahwa orang-orang percaya adalah imam-imam Allah yang diangkat oleh Allah karena Yesus Kristus. Gambaran [[eskatologis]] di dalam Kitab Wahyu dipakai untuk memberi kekuatan pada jemaat yang sedang teraniaya bahwa mereka adalah imam-imam Allah yang memiliki tugas dan panggilan yang khusus pula.
 
Gambaran mengenai keimaman jemaat tidak dapat dilepaskan dari gambaran Kristus sebagai Imam Besar Agung sebagai satu-satunya perantara dengan Allah. Karena Kristus merupakan Imam Besar Agung dan mediator antara manusia dengan Allah, maka semua manusia yang percaya pada Yesus mendapatkan akses kepada Allah melalui Dia.<ref name="Küng">{{en}}Hans Küng. 1968. The Church. London: Burns & Oates. P. 369-370.</ref> Dan melalui Yesus pula semua anggota jemaat memberikan kurban pada Allah, namun makna kurban telah berubah secara radikal, bukan lagi kurban yang diberikan sesuai kekuatan manusia melainkan karena mediasi Kristus.<ref name="Küng"></ref> Yang dituju dari kurban juga bukan lagi pengampunan dosa melainkan kurban syukur dan penyembahan atas apa yang Yesus telah sempurnakan, dan yang dipersembahkan bukan lagi persembahan barang melainkan persembahan diri. Dengan demikian, jika semua orang percaya harus mempersembahkan kurban melalui Kristus, maka ini berarti semua orang percaya memiliki fungsi keimaman.<ref name="Küng"></ref>