Imamah: Perbedaan antara revisi

12.568 bita dihapus ,  17 tahun yang lalu
++
Konten dihapus Konten ditambahkan
Aday (bicara | kontrib)
tambah kategori
Aday (bicara | kontrib)
++
Baris 1:
{{rapikan}}
{{Islam}}
 
:'''Artikel ini merupakan terminologi Imam dalam Syi'ah'''. untuk terminologi yang berjumlahlebih duaumum belaslihat [[Imam]].
'''Imamah''' ([[Bahasa Arab]]:إمام) adalah sebuah terminologi Islam Syi'ah yang berarti Kepemimpinan. Dalam [[Sunni]] dapat disamakan dengan [[Khalifah]].
 
==Pendahuluan==
==Kehidupan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.==
Muslim Syi'ah percaya bahwa dalam setiap zaman, terdapat seorang pemimpin yang disebut dengan [[Imam Zaman]], yang merupakan Wali untuk seluruh Muslim.
 
===Kelahiran dan Masa Kecil===
 
Dalam Syi'ah terdapat beberapa sekte yang berbeda dalam jumlah Imam atau jalur suksesi. Isu tentang siapa Imam sebenarnya menjadi
Amirul Mukminin Ali a.s. adalah anak keempat Abu Thalib. Ia dilahirkan di Makkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab tepatnya di dalam Ka'bah. Kelahirannya terjadi sekitar tiga puluh tahun sebelum peristiwa tahun gajah dan dua puluh tiga tahun sebelum periode hijrah. Ibunya adalah seorang wanita luhur yang berjiwa mulia bernama Fathimah binti Asad bin Hisyam bin Abdi Manaf. Ia tinggal di rumah ayahnya hingga berusia enam tahun.
isu utama yang mengakibatkan pembagian sekte termasuk Imamiah (Dua belas Imam), Ismailiyah (Tujuh Imam), Zaidiyah (Lima Imam), dan lainnya. Tetapi penganut yang terbesar adalah Imamiah.
Pada masa itu ketika Rasulullah SAWW sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, paceklik sedang menimpa kota Makkah dan barang-barang pangan serba mahal. Hal inilah yang menyebabkan Ali kecil hidup bersama Rasulullah SAWW selama tujuh tahun hingga tahun-tahun pertama Bi'tsah dan mendapatkan didikan langsung darinya.
 
==Imam==
Pada khotbah ke 192 Nahjul Balaghah ia bercerita tentang dirinya: "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya".
===Pandangan Imamiah===
{{Main|Imamiah}}
 
Imamiah merupakan kelompok mayoritas dalam Syi'ah, disebut juga Itsna Asyariah, berikut ini merupakan daftar Imam yang merupakan pengganti Nabi Muhammad dalam hal kepemimpinan umat (bukan sebagai Nabi, karena Imamiah berpendapat Nabi terakhir adalah Muhammad). Setiap Imam merupakan anak dari Imam sebelumnya kecuali [[Husain bin Ali]], yang merupakan saudara dari [[Hasan bin Ali]].
===Memeluk Islam===
Setelah Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, Ali adalah orang pertama yang beriman kepadanya.
Abu Thalib untuk pertama kalinya melihat anak dan misanannya mengerjakan shalat bersama. "Anakku, apa yang sedang kau lakukan?", tanyanya heran. Ia menjawab: "Wahai ayah, aku telah memeluk agama Islam dan mengerjakan shalat bersama misananku". "Janganlah kau berpisah darinya, karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan", sang ayah menimpali.
 
# [[Ali bin Abi Thalib]] ([[600]]–[[661]]), juga dikenal dengan ''Amirul Mukminin''
Ibnu Abbas berkata: "Orang pertama yang melaksanakan shalat bersama Rasulullah SAWW adalah Ali a.s.". Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi pada hari Senin dan Ali a.s. mengerjakan shalat pada hari Selasa. Pada tahun ketiga Bi'tsah, setelah ayat "Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu" turun Rasulullah SAWW mengundang seluruh keturunan Abdul Muthalib ke rumahnya. Mereka berjumlah empat puluh orang. Setelah makan siang, Rasulullah SAWW tidak mendapat kesempatan untuk berbicara. Pada hari berikutnya ia mengundang mereka lagi untuk makan siang ke rumahnya. Setelah usai makan, Rasulullah SAWW mencuri kesempatan seraya berbicara di hadapan mereka: "Siapakah di antara kalian yang siap untuk menolongku dan beriman kepadaku sehingga ia akan menjadi saudara dan menggantiku setelah aku?" Ali a.s. berdiri dan berkata: "Aku siap untuk menolongmu dalam menempuh jalan ini!". "Duduklah", jawab Rasulullah SAWW singkat.
# [[Hasan bin Ali]] ([[625]]–[[669]]), juga dikenal dengan ''Hasan al Mujtaba''
# [[Husain bin Ali]] ([[626]]–[[680]]), juga dikenal dengan ''Husain as Syahid''
# [[Ali bin Husain]] ([[658]]–[[713]]), juga dikenal dengan ''Ali Zainal Abidin''
# Muhammad bin Ali ([[676]]–[[743]]), juga dikenal dengan ''[[Muhammad al-Baqir]]''
# Jafar bin Muhammad ([[703]]–[[765]]), juga dikenal dengan ''[[Jafar as-Sadiq]]''
# Musa bin Jafar ([[745]]–[[799]]), juga dikenal dengan ''[[Musa al-Kazim]]''
# Ali bin Musa ([[765]]–[[818]]), juga dikenal dengan ''[[Ali ar-Rida|Ali ar Ridha]]''
# Muhammad bin Ali ([[810]]–[[835]]), juga dikenal dengan ''Muhammad al-Jawad'' ([[Muhammad at Taqi]])
# Ali bin Muhamad ([[827]]–[[868]]), juga dikenal dengan ''[[Ali al-Hadi]]''
# Hasan bin Ali ([[846]]–[[874]]), juga dikenal dengan ''[[Hasan al-Asykari]]''
# Muhammad bin Hasan ([[868]]—), juga dikenal dengan ''[[Muhammad al-Mahdi]]''
 
===Pandangan Ismailiyah===
Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan tidak ada orang yang bangun menyatakan kesiapannya kecuali Ali a.s. Ia pun menyuruhnya duduk.
{{main|Ismailiyah}}
Ismailiyah percaya bahwa lima pertama dari enam Imam di atas adalah Imam sebenarnya pengganti Muhammad, tetapi Ismailiyah berpendapat bahwa [[Ismail bin Jafar]] adalah Imam pengganti ayahnya [[Jafar as-Sadiq]], bukan saudaranya [[Musa al-Kazim]]. Dari Ismail bin Jafar, garis Imam Ismailiyah sampai ke Aga Khan yang mengklaim sebagai keturunannya. Lihat [http://www.amaana.org/history/history1.htm].
 
# [[Ali bin Abi Thalib]] ([[600]]–[[661]])
Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah SAWW mengulangi ucapannya, dan hanya Ali a.s. yang menyatakan kesiapannya. Akhirnya ia bersabda: "Sesungguhnya orang ini (Ali) adalah saudaraku, washiku, wazirku, pewarisku dan khalifahku untuk kalian sepeninggalku".
# [[Husain bin Ali]] ([[626]]–[[680]]), juga dikenal dengan ''Husain as Syahid''
# [[Ali bin Husain]] ([[658]]–[[713]]), juga dikenal dengan ''Ali Zainal Abidin''
# Muhammad bin Ali ([[676]]–[[743]]), juga dikenal dengan ''[[Muhammad al-Baqir]]''
# Jafar bin Muhammad ([[703]]–[[765]]), juga dikenal dengan ''[[Jafar as-Sadiq]]''
# [[Ismail bin Jafar]]
 
Hal penting untuk dicatat adalah [[Hasan bin Ali]] tidak termasuk dalam Imam yang diakui oleh Ismailiyah.
===Sebelum Hijrah===
Setelah tiga belas tahun berdakwah di Makkah, akhirnya segala faktor pendukung dan persiapan untuk hijrah ke Madinah tersedia. Pada malam hijrah, Rasulullah SAWW berkata kepada Ali a.s.: "(Malam ini) engkau harus tidur di atas ranjangku!". Malam itu Ali a.s. tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW. Malam itu yang bertepatan dengan tanggal 1 Rabi'ul Awal tahun keempat Bi'tsah dikenal dengan nama Lailatul Mabit. Berdasarkan beberapa riwayat, pada malam itu satu ayat turun berkenaan dengan keutamaan Imam Ali a.s.
 
===Pandangan Zaidiyah===
Beberapa malam sebelum hijrah, Rasulullah SAWW pergi menuju Ka'bah bersama Ali a.s. Ia berkata kepada Ali a.s.: "Naiklah di pundakku!". Setelah Ali a.s. naik ke atas pundak Rasulullah SAWW, mereka menghancurkan beberapa buah patung yang mengelilingi Ka'bah, setelah itu mereka bersembunyi supaya kaum Quraisy tidak mengetahui siapa yang melakukan itu.
Zaidiyah percaya bahwa empat Imam pertama seperti dalam daftar Imamiah adalah Imam yang sebenarnya, tetapi berbeda dengan yang kelima. Zaidiyah menyatakan bahwa [[Zaid bin Ali]] dan bukan saudaranya [[Muhammad al-Baqir]] sebagai Imam penerus. Untuk Zaidiyah, Keimaman dipindahkan dari [[Zaid bin Ali]] ke Imam yang menjadi pengikutnya; sering mereka menggunakan gelar [[Khalifah]].
 
# [[Ali bin Abi Thalib]] ([[600]]–[[661]])
===Hijrah===
# [[Hasan bin Ali]] ([[625]]–[[669]])
Setelah Rasulullah SAWW hijrah, Imam Ali a.s. baru dapat hijrah tiga hari setelah itu bersama ibunya, Fathimah binti Asad, Fathimah Az-Zahra`, Fathimah binti Zubair dan muslimin lainnya yang belum sempat berhijrah. Faktor keterlambatannya dalam melaksanakan hijrah adalah karena ia harus mengembalikan amanat-amanat Rasulullah SAWW kepada para pemiliknya.
# [[Husain bin Ali]] ([[626]]–[[680]])
# [[Ali bin Husain]] ([[658]]–[[713]]), juga dikenal dengan ''Ali Zainal Abidin''
# [[Zaid bin Ali]] (meninggal 740)
 
== Lihat juga ==
Ketika ia sampai di Madinah, kakinya luka berdarah. Karena kerelaannya dalam berkorban, Rasulullah SAWW sangat berterima kasih kepadanya.
* [[Syi'ah]]
* [[Imamiah]]
* [[Ismailiyah]]
* [[Zaidiyah]]
 
===Perkawinan= Pranala Luar ==
*[http://www.shiacode.com/ The Shia Islamic Guide] (shiacode.com)
Di tahun pertama hijrah, ketika Rasulullah SAWW mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, ia berkata kepada Imam Ali a.s.: "Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat". Pada tahun kedua hijrah, Imam Ali a.s. menikah dengan Fathimah Az-Zahra` a.s.
*[http://philtar.ucsm.ac.uk/encyclopedia/islam/shia/index.html Graphical illustration of the Shia sects]
 
*[http://www.amaana.org/history/history1.htm History of Imams from the "Aga Khani" point of view]
Bulan Ramadhan tahun kedua hijrah adalah bulan kemuliaan dan kebanggaan bagi Imam Ali a.s. Pada tanggal 15 Ramadhan Allah mengaruniai Imam Hasan a.s. kepadanya dan pada tanggal 17 Ramadhan terjadi perang Badar yang telah membuktikannya sebagai pahlawan pemberani, dan hal itu menjadi buah bibir masyarakat Madinah.
*[http://al-islam.org/twelve/7.htm Twelve Successors]
 
*[http://www.ummah.net/Al_adaab/ahlibayt/imamate.html Imamah in Sunni Islam]
===Peperangan yang diikuti===
Syeikh Mufid r.a. berkata: "Pada perang Badar muslimin berhasil membunuh tujuh puluh orang kafir dan Imam Ali a.s. membunuh tiga puluh enam orang dari mereka. Itu pun ia masih membantu yang lain dalam membunuh orang-orang kafir".
 
Pada bulan Syawal tahun ketiga hijrah pecah perang Uhud. Nama Imam Ali a.s. –-sebagaimana di perang Badar-- menjadi buah bibir masyarakat. Di perang Uhud inilah Rasulullah SAWW bersabda: "Ali adalah dariku dan aku darinya". Dan pada perang ini juga suara teriakan di langit menggema: "Tiada pedang kecuali Dzulfiqar dan tiada pemuda kecuali Ali".
 
Pada tahun ketiga atau keempat hijrah, Allah menganugerahkan seorang putra kepada Imam Ali a.s. yang akhirnya dinamai Husein. Sembilan imam ma'shum a.s. berasal dari keturunannya.
 
Pada bulan Syawal tahun kelima hijrah perang Khandaq pecah. Di perang ini Imam Ali a.s. berhadapan langsung dengan 'Amr bin Abdi Wud. Berkenaan dengan hal tersebut Rasulullah SAWW bersabda: "Manifestasi seluruh iman berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran". Pada kesempatan yang lain ia bersabda: "Peperangan Ali dengan 'Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak".
 
Pada tahun ketujuh hijrah, perang Khaibar kembali pecah. Pada suatu hari ketika muslimin sudah putus asa karena tidak dapat menjebol benteng Yahudi Khaibar, Rasulullah SAWW bersabda: "Besok aku akan memberikan bendera komando pasukan ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia juga dicintai oleh mereka. Ia akan menyerang pantang mundur, dan tidak akan pulang kecuali Allah akan menganugerahkan kemenangan kepadanya".
 
Pada tanggal 20 Ramadhan tahun ke-8 hijrah, Rasulullah SAWW berhasil membebaskan kota Makkah yang sebelumnya merupakan pusat dan benteng kokoh bagi penyembahan berhala. Berdasarkan sebagian riwayat, Imam Ali a.s. pada hari itu memperoleh kemuliaan untuk naik di atas pundak Rasulullah SAWW untuk menghancurkan berhala-berhala yang menghuni Ka'bah.
 
Setelah peristiwa pembebasan kota Makkah, perang Hunain dan kemudian perang Tha`if pecah. Pada peristiwa perang Hunain, hanya sembilan orang sahabat yang di antara mereka adalah Imam Ali a.s. yang setia bersama Rasulullah SAWW. Para sahabat yang lain lari tunggang-langgang.
 
Pada tahun ke-9 hijrah, perang Tabuk pecah. Dari dua puluh tujuh peperangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAWW, hanya perang ini yang tidak diikuti oleh Imam Ali a.s. Hal itu dikarenakan
Rasulullah SAWW menyuruhnya untuk menjadi penggantinya di Madinah. Hadis manzilah berhubungan dengan peristiwa ini. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAWW bersabda: "Apakah engkau (Ali) tidak rela jika kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku". Di tahun ini juga Imam Ali a.s. mendapat perintah untuk mengambil ayat-ayat surah al-baraa`ah yang dipegang oleh Khalifah Abu Bakar untuk dibacakannya di hadapan para penyembah berhala.
 
===peristiwa Ghadir Khum===
Pada tanggal 5 Dzul Qa'dah 10 H. Rasulullah SAWW mengutus Imam Ali a.s. ke Yaman untuk bertablig, dan dengan ini banyak masyarakat Yaman yang memeluk agama Islam.
 
Pada tahun itu juga peristiwa Ghadir Khum terjadi. Seraya mengenalkan Imam Ali a.s. sebagai penggantinya Rasulullah SAWW bersabda: "Barang siapa yang aku maula (pemimpin)-nya, maka Ali adalah pemimpinnya". Hadis ini diriwayatkan oleh seratus sepuluh sahabat, delapan puluh empat tabi'in dan tiga ratus enam puluh ulama Ahlussunnah dari sejak abad ke-2 hingga abad ke-13 H.
 
===Meninggalnya Nabi===
Pada tahun kesebelas hijrah Rasulullah SAWW meninggal dunia. Imam Ali a.s. berkata: "Engkau (Muhammad) meninggal dunia dalam pelukanku". Padahal washi Rasulullah SAWW sedang sibuk memandikan, mengafani dan menguburkannya, para sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah dengan tujuan mengadakan sebuah kudeta. Sebuah kudeta yang eksesnya memenuhi sejarah dengan lembaran hitam, menjadikan masa depan umat manusia gelap-gulita dan lebih dari itu, sunnah yang batil terwujud. Dinasti Umaiyah dan Abasiyah telah menduduki tahta kerajaan Islam dan menjadikan kekhilafahan sebagai sebuah permainan.
Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi di Saqifah itu adalah dasar utama munculnya pengkhianatan besar terhadap muslimin. Karena dengan lebih mendahulukan orang yang biasa atau orang yang lebih dari segala segi para sahabat yang berkumpul di Saqifah tersebut telah memenangkan permainan tersebut dengan segala tipu muslihat dan berhasil menon-aktifkan Imam Ali a.s. dari memegang khilafah padahal ia memiliki masa lalu yang cemerlang dalam membela Islam, ilmu dan takwa. Dan selama dua puluh lima tahun tidak hanya hak Imam Ali a.s. yang diinjak-injak melalui iming-iming kekayaan dan pemaksaan, hak umat Islam untuk mendapatkan seorang pemimpin yang adil dan alim juga tidak dihiraukan.
 
Akhirnya, sistem khilafah semacam inilah yang memperlicin jalan bagi berkuasanya Bani Umaiyah dan Bani Abbas dan kebiasaan lebih mendahulukan orang biasa dari orang yang lebih dari segala segi itulah yang memberikan kesempatan bagi orang yang suka mencari kesempatan untuk mengorbankan hakikat demi maslahat individu.
 
===Menjadi Khalifah===
Sepanjang lima tahun pemerintahan Imam Ali a.s., banyak faktor yang selalu menjegalnya dalam usaha mewujudkan sebuah perbaikan universal dan keadilan sosial. Pada masa lima tahun itu mayoritas waktu dan tenaganya digunakan untuk membasmi segala bentuk kudeta dan berperang melawan nakitsin (para pembelot dari bai'at seperti Thalhah dan Zubair), qasithin (para lalim seperti Mu'awiyah dan para pengikutnya) dan mariqin (orang-orang yang enggan menaati segala instruksi Imam Ali a.s. seperti kelompok Khawarij Nahrawan).
 
Selama enam puluh tiga tahun hidup di tengah-tengah masyarakat, Imam Ali a.s. hidup dengan penuh kesucian jiwa, takwa, kejujuran, iman dan ikhlas dengan berpegang teguh pada semboyan "cercaan para pencerca tidak akan melemahkan semangatnya selama ia berada di jalan Allah". Dan ia tidak memiliki tujuan kecuali Allah dan setiap amalan yang dikerjakannya semuanya demi Allah. Jika ia sangat mencintai Rasulullah SAWW, hal itu pun ia lakukan demi Allah. Ia tenggelam dalam iman dan ikhlas untuk Allah. Ia lalui semua kehidupannya dengan kesucian dan ketakwaan, dan ia pun bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan suci. Ia lahir di rumah Allah dan meninggal di rumah Allah juga. Seluruh hidupnya telah menjadi satu dengan kebenaran. Ketika pedang Abdurrahman bin Muljam merobek kepalanya ia hanya berkata: "Aku sekarang menang, demi Tuhan yang memiliki Ka'bah". Ia meneguk cawan syahadah pada malam 21 Ramadhan 40 H.
 
==Poin-poin Penting dari Kehidupan Imam Ali a.s.==
===Poin pertama:===
Pada peristiwa badan syura yang beranggotakan enam orang dan dibentuk atas perintah Umar bin Khattab dengan tujuan untuk memilih khalifah setelah ia meninggal dunia, Abdurrahman bin 'Auf, salah seorang kandidat tidak bersedia untuk dipilih dan akhirnya ia mengundurkan diri dari keanggotaan. Setelah itu ia berpendapat agar kandidat khalifah hanya terdiri dari dua orang, yaitu Imam Ali a.s. dan Utsman bin Affan. Ia ingin membai'at Imam Ali a.s. dengan syarat ia harus menjalankan pemerintahan atas dasar kitab Allah, sunnah Rasul-Nya, metode Abu Bakar dan Umar. Imam Ali a.s. menjawab: "Saya akan berusaha menjalankan pemerintahan atas dasar kitab Allah, sunnah Rasul-Nya dan metode saya sendiri".
Ketika Utsman mendapat tawaran di atas, ia langsung menerima dan dengan mudah menjadi khalifah.
 
===Poin kedua:===
Setelah Utsman bin Affan terbunuh, Imam Ali a.s., berdasarkan desakan mayoritas masyarakat kala itu, dengan terpaksa menerima khilafah. Situasi politik negara saat itu sangat tidak memihak kepadanya. Banyak problema yang muncul di sana-sini. Akan tetapi, dengan segala problema yang ada, ia telah berhasil mengadakan sebuah perombakan besar-besaran dalam bidang hak-hak asasi, ekonomi dan birokrasi. Dalam bidang hak-hak asasi, ia telah menghapus sistem perbedaan dalam memberikan santunan kepada anggota masyarakat dan menyamaratakan mereka dalam hal itu. Ia berkata: "Seorang yang hina adalah mulia dalam pandanganku jika aku harus menegakkan haknya dan orang yang kuat adalah lemah dalam pandanganku jika aku harus mengambil hak orang lain darinya".
 
===Dalam bidang ekonomi===
Ia telah merampas semua tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada golongan jetset dan dibagikan secara merata kepada seluruh masyarakat. Ia berkata: "Wahai manusia, aku adalah dari kalian. Jika aku memiliki suatu harta, kalian juga memiliki harta yang sama, jika kalian memiliki suatu tugas, maka aku juga memiliki tugas yang sama. Aku akan membawa kalian menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan setiap yang diperintahkannya, akan kutanamkan di dalam lubuk hati kalian. Setiap tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada orang lain (dengan tidak benar) harus dikembalikan ke baitul mal. Sesungguhnya tidak ada satu pun (kelakuan) yang dapat membasmi kebenaran. Jika kutemukan harta yang telah dijadikan mahar perkawinan, budak dibeli dengannya atau harta yang (tidak diketahui asal-usulnya karena) telah tersebar di berbagai kota, akan kukembalikan ke tempat asalnya. Dalam keadilan tersembunyi sebuah ketenteraman, dan jika seseorang merasa terikat oleh kebenaran, maka kelaliman akan lebih mencekiknya".
 
===Dalam bidang birokrasi===
Imam Ali a.s. telah melakukan dua hal penting: pertama, memberhentikan para wali kota yang telah ditentukan oleh Utsman, dan kedua, menyerahkan tampuk wali kota kepada orang-orang yang bersih dan bertakwa.
 
Dengan demikian, ia menetapkan Utsman bin Hanif sebagai wali kota Bashrah, Sahl bin Hanif sebagai wali kota Syam, Qais bin Ubadah sebagai wali kota Mesir, dan Abu Musa Al-Asy'ari sebagai wali kota Kufah. Berkenaan dengan Zubair dan Thalhah yang pernah menjabat sebagai wali kota Bashrah dan Kufah, Imam Ali a.s. menyingkirkan mereka dengan lemah-lembut. Imam Ali a.s. juga mencabut Mu'awiyah dari kursinya sebagai wali kota Syam, karena ia tidak ingin seorang yang kotor berkuasa atas masyarakat Syam. Sikap Imam Ali a.s. dalam situasi dan kondisi semacam itu adalah ia harus menyerang Mu'awiyah dan menyingkirkannya dari arena politik. Imam menganggap dirinya bertanggung jawab untuk membasmi segala unsur penentang ilegal dan hal ini diciptakan oleh Mu'awiyah dan kelompoknya. Imam harus membersihkan semua unsur penentang, karena tugasnya adalah membersihkan masyarakat Islam dari segala penyelewengan. Dan hal ini sangatlah berat.
 
Dengan kata lain, faktor utama yang menyebabkan Imam Ali a.s. harus menyingkirkan Mu'awiyah dan berperang melawannya adalah karena aliran pemikiran yang dianutnya (yang dipoles dengan agama).
Dengan demikian, Imam Ali a.s. harus menghadapi dua realita pahit: pertama, ia harus menangani disintegrasi bangsa dan kedua, ia harus membasmi setiap penyelewengan dari dalam negara sebagai warisan yang telah ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
 
Dalam hal ini, usaha dalam meluruskan situasi negara yang sudah terlanjur krisis dan merampas kembali harta-harta yang berada di tangan para pengkhianat bangsa ia lakukan tanpa mengenal toleransi sedikit pun.
 
Imam Ali a.s. berkata: "Mu'awiyah tidak pernah menjalankan Islam sepenuhnya, bahkan ia ingin melestarikan tradisi jahiliah ayahnya, Abu Sufyan. Ia ingin merubah eksistensi Islam dengan sebuah eksistensi yang lain dan masyarakat Islam dengan masyarakat yang lain. Ia ingin membentuk sebuah masyarakat yang tidak meyakini Islam dan Al Quran. Ia menginginkan khilafah diganti dengan sistem pemerintahan kaisar".
 
Dengan adanya segala problema yang merintangi gebrakannya, Imam Ali a.s. tidak pantang menyerah. Ia tetap tegar memegang prinsip dalam membasmi para pemberontak yang menginginkan disintegrasi bangsa. Setelah pedang melukai kepalanya pun tetap menyiapkan pasukan yang siap tempur menuju Syam untuk membasmi golongan pemberontak tersebut.
 
Dengan ini, Imam Ali a.s. –-dalam pandangan muslimin yang sadar-- satu-satunya orang yang mampu memerangi segala penyelewengan dan kezaliman yang telah mengakar di tubuh dunia Islam.
 
[[Kategori:Islam]]
8.676

suntingan