Adinegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k -gambar yang telah dihapus
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Adinegoro''' ({{lahirmati|[[Talawi, Sawahlunto]], [[Sumatera Barat]]|14|8|1904|[[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]|8|1|1967}}) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan [[STOVIA]] ([[1918]]-[[1925]]) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik di [[Jerman]] dan [[Belanda]] ([[1926]]-[[1930]]).
 
Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan '''Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan'''. Ia adalah adik sastrawan [[Muhammad Yamin]]. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama '''Usman gelar Baginda Chatib''' dan ibunya bernama '''Sadarijah''', sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarahberasal dari [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok]], Sumatera Barat.
 
== Masa muda ==
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA ia tidak diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.
 
Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di [[Berlin]], [[Jerman]]. Ia mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga mempelajari masalah [[kartografi]], [[geografi]], [[politik]], dan [[geopolitik]]. Tentu saja, pengalaman belajar di Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.
 
Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap. Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika belajar di luar negeri ([[1926]]—[[1930]]), ia nyambi menjadi [[wartawan bebas (''freelance journalist'')]] pada [[surat kabar]] ''[[Pewarta Deli]]'' ([[Kota Medan|Medan]]), [[Bintang Timur]], dan [[Panji Pustaka]] ([[JakartaBatavia]]).
 
Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka pada tahun [[1931]]. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan ([[1932]]—[[1942]]). Ia juga pernah memimpin Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama [[Supomo|Prof. Dr. Supomo]], ia memimpin majalah [[Mimbar Indonesia]] (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Pers Biro Indonesia ([[1951]]). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi [[LKBN Antara]]). Sampai akhir hayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.
Baris 15:
 
== Karya-karyanya ==
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun [[1928]]), yang membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah ''Asmara Jaya'' dan ''Darah Muda''. [[Ajip Rosidi]] dalam buku ''Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia'' ([[1982]]), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang [[Indonesia]] yang berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
 
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu ''Melawat ke Barat'', yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun [[1930]].
Baris 21:
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik" terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh [[Achdiat K. Mihardja]] ([[1977]]). Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.
 
Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari [[Amsterdam]], [[Belanda]] bersama Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada tahun [[1952]]. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.<ref>[http://100th.ppibelanda.org/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=28]</ref>
=== Buku ===
Baris 46:
{{reflist}}
 
[[Kategori:Tokoh Sumateradari BaratSawahlunto]]
{{DEFAULTSORT:Adinegoro}}
 
[[Kategori:Tokoh Sumatera Barat]]
[[Kategori:Perintis Pers]]
[[Kategori:Sastrawan Indonesia]]