Dijual
BAB I
Sepasang Senjata : Pistol VOC (Original)
PENDAHULUAN
Bagi Peminat untuk Koleksi ( Serius )
Hubungi : 088210949588
A. Latarbelakang
Permasalahan fungsi hukum dalam kontrak Built Operate Transfer (BOT) dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan di Lombok Barat merupakan permasalahan yang menarik diteliti. Terutama hal ini berkaitan dengan tahapan pembuatan, pelaksanaan maupun berkenaan dengan perlindungan hak para pihak dalam kontrak tersebut. Secara umum dapat diketahui dari berbagai kasus pertanahan belum memperlihatkan upaya juridik penyelesaiannya. Konflik yang berkepanjangan di Gili Indah (kasus pertanahan Gili Trawangan antara PT Gili Trawangan Indah, Pemerintah Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat, dengan warga masyarakat) merupakan cermin permasalahan fungsi Hukum dalam penanaman modal (investasi) dan pemenfaatan lahan. Demikian pula panjangnya prosedur yang harus ditempuh oleh investor dalam penanaman modal, seperti PT Anastasia di Gili Tangkong.
Atau dengan kata lain, permasalahannya fungsi hukum kian meluas meliputi tiga aspek, yakni: pencarian pola pendekatan kebijakan khusunya berkenaan dengan pola hubungan hukum antar para pihak (pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat) yang terkait pada pemanfaatan lahan dalam usaha kepariwisataan; mekanisme penanaman modal atau pola pencapaian kesepakatan para pihak, serta respon warga masyarakat terhadap penerapan kebijakan dan kesepakatan penanaman modal.
Permasalahan yang hampir terlupakan dalam agenda kebijakan pertanahan secara Nasional adalah memanfaatkan lahan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat . Permasalahan ini sesungguhnya meningkat tajam menilik pada berbagai tempat di tanah air telah terjadi komersialisasi tanah yang cenderung bermakna individualistik dan terkonsentrasi pada segelintir pemilik atau yang menguasai lahan strategis dan subur.
Lebih jauh, kenyataan ini menyebabkan perubahan pandangan terhadap makna dan fungsi tanah. Pemanfaatan tanah bergerak jelas meninggalkan fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Tanah kian terasa menjadi salah satu objek perniagaan, spekulasi para pemilik modal. Akibatnya, penguasaan dan pemanfaatan tanah membawa kecenderungan mengalir kepada kelompok atau golongan tertentu yang memiliki akses pertanahan yang memadai.
Dengan demikian, yang penting memperoleh perhatian tidak hanya permasalahan distribusi penguasaan tanah, melainkan peningkatan kualitas penguasaan dan pemanfaatan lahan. Permasalahan distribusi penguasaan tanah mendapat perhatian, karena berkait erat dengan proses pelaksanaan atau penetapan hak atas tanah atau pemanfaatannya; hal ini seharusnya merupakan cermin pemerataan dan keadilan penguasaan atas tanah serta pemanfaatan lahan. Distribusi tanah di negeri ini (juga di daeah Nusa Tenggara Barat) kini terus bergerak membentuk stratifikasi yang semakin mengkerucut. Dari tahun ke tahun, tanah-tanah masyarakat lepas ke tangan pemodal kuat, baik melalui proses institusional-kelembagaan maupun secara individual.
Sejalan dengan itu, proses pengadaan tanah (bagi investasi) yang ada hanya untuk kepentingan pemerintah sebagai pelaksana pembangunan, seringkali ditafsirkan secara keliru, sehingga hal pengadaan tanah (bagi investasi) selalu menghadapi persoalan pertikaian yang serius. Meski diketahui kerangka pengaturannya telah disempurnakan namun selalu meninggalkan pertentangan atau perlawanan warga masyarakat terhadap proses pengadaan tanah (bagi investasi); penyebabnya, antra lain: tak ditemukan suatu standarisasi dalam penafsiran, sehingga penafsiran ketentuan pengadaan tanah (bagi investasi) sering menguatkan kepentingan segelintir kelompok; demikian juga tak ditemukan ketentuan cara penegakan serta prosedur pembuktian ketika terjadi pelanggaran hak atas tanah. Pola pengaturannya kurang sistematis , sehingga penyelesaian atau penanganan permasalahan hak atas tanah atau perselisihan pemanfaatan lahan seringkali didasarkan pada kebijakan pemerintah daerah. Di samping itu, kurang konsistennya pelaksanaan pengadaan tanah (bagi investasi) dalam melaksanakan peraturan yang “umum” itu.
Kenyataan sepintas ini, memperlihatkan kondisi realistik mengenai pengaturan Hukum dan pelaksanaan hukum dalam bidang penanaman modal dan pemanfaatan lahan di Indonesia, yakni belum dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjawab secara memadai semua permasalahan penanaman modal dalam bentuk BOT yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, terutama peraturan yang melindungi masyarakat, seperti peraturan perlindungan atas pemanfaatan lahan oleh pemodal, peraturan mengenai hak milik, peratutan penelantaran tanah, peraturan penetapan hak kolektif dan lain-lainnya.
Uraian di atas mengisyaratkan, bahwa pengembangan hukum dalam dinamika sosial ekonomi khususnya investasi dan teknologi semakin menarik diperhatikan. Hal ini tak dapat dielakkan mengingat Indonesia sebagai negara sedang berkembang membutuhkan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk membiayai pembangunan sektor ekonomi produktif. Demikian juga dengan kecenderungan pembangunan yang makin meluas ke berbagai sektor, jumlah dana yang diperlukan untuk membiayainya semakin besar pula. Guna membiayai atau memenuhi jumlah tersebut, maka pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan model-model pembiayaan yang dapat menunjang pembangunan nasional. Ini berarti bahwa pemerintah harus memperluas sarana dan sumber pembiayaan/dana, termasuk memaksimalkan peranan lembaga pembiayaan. Melalui pranata normative , pemerintah telah mengintrodusir berbagai model lembaga pembiayaan pembangunan, antara lain melalui mekanisme modal ventura, leasing, factoring, built operate transfer, sebagai alternatif lembaga pembiayaan usaha.
Salah satu model usaha lembaga pembiayaan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kegiatan di bidang built operate transfer (BOT). BOT adalah suatu mekanisme pelaksanaan pembangunan usaha tertentu antara pemerintah atau pengusaha (biasanya pemilik lahan) dengan jalan melibatkan pemodal dalam memfasilitasi kegiatan pembangunan proyek tersebut hingga selesai dan selanjutnya kepada pemodal yang mebangun fasilitas tersebut diberikan hak untuk mengelola fasilitas tersebut hingga kurun waktu tertentu seperti yang diperjanjikan antara pemilik lahan dan pemodal. Mekanisme pembiayaan melalui built operate transfer (BOT) ini memainkan peran penting dalam pembangunan nasional .
Berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengembangan dunia usaha terutama pengembangan pengusaha kecil menengah, peranan masyarakat luas harus ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan dan pembinaan pada bidang-bidang tertentu seperti permodalan, teknologi, pemasaran, organisasi dan management serta kemitraan usaha.
Perkembangan perekonomian di Indonesia yang dirasakan semakin menunjukkan kemajuan . Dengan kemajuan perekonomian dan berkembangan usaha di Indonesia, menyebabkan banyak tempat-tempat usaha atau bidang-bidang yang strategis beserta prasarananya perlu dibangun guna menunjang kemajuan perekonomian tersebut.
Tempat beserta sarana dan prasarananya sangat diperlukan guna mejalankan dan mengembangkan perekonomian Indonesia. Faktor yang sangat menentukan lancarnya usaha ini, biasanya dibangun atau terletak didaerah-daerah strategis. Bagi sektor pariwisata dibangun fasilitas akomudasi atau perhotelan yang dilengkapi dengan taman rekreasi dan olah raga.
Tidak mengherankan apabila lahan didaerah-daerah strategis tersebut menjadi semakin terbatas, langka dan akibatnya meningkat harganya, jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan lahan-lahan di lain tempat, sehingga apabila membangunnya diperlukan dana yang tidak sedkit jumlahnya.
Dalam membangun sarana dan prasarana seperti misalnya jalan tol, jaringan telekomonikasi atau yang diperlukan dalam rangka ekploitasi merupakan kendala tersendiri bagi pemerintah daerah, mengingat sangat terbatasnya dana yang tersedia. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut adalah menjalin kerjasama dengan pihak swasta nasional, BUMN, ataupun dengan pihak swasta asing dengan sistem pembiayaan Build Operate and Transfer (BOT). Pola BOT ini juga sekarang telah dikembangkan di kalangan swasta sendiri, khususnya di bidang pariwisata. Hal ini merupakan langkah strategis bagi para pelaku ekonomi yang memiliki potensi besar untuk berkembang, tetapi menghadapi kesulitan dana .
Dengan menggunakan sistem BOT, pemerintah sebagai pemilik proyek menyerahkan pelaksanaan dan pembiayaan pembangunannya kepada pihak swasta (misalnya swasta naional, BUMN ataupun swasta asing) kemudian dalam jangka waktu tertentu kepada pihak ketiga ini akan diberi hak (konsensi) untuk mengambil manfaat ekonominya (dengan sutau prosentasi pembagian keuntungan tertentu), dan setelah lewat jangka waktu konsesi bangunan yang bersangkutan hak dan pengelolaanya akan diserahkan kepada pemerintah daerah secara penuh. Sebagai contoh nyata, rencana pembangunan hotel di kawasan Gili Tangkong. Pembangunan diserahkan kepada dan dilakukan pihak swasta asing PT Anastasia Gili Tangkong yang akan memperoleh hak untuk mempergunakan dan mengoperasikannya selama suatu jangka waktu tertentu (jangka waktu konsesi) sekaligus hak untuk memperoleh pendapatan dari pengoperasiaan tersebut, yang kemudian (kecuali apabila disetujui secara lain oleh kedua belah pihak), pada saat berakhirnya jangka waktu konsesi hak dan kepemilikannya diserahkan kembali kepada pemeritah daerah.
Kondisi seperti itu tentu searah dengan strategi pembangunan nasional, terutama pemerataan kesempatan berusaha. Untuk itu maka arah kebijakan ekonomi nasional untuk mengembangkan hubungan kemitraan yang saling menunjang dan menguntungkan diantara para pelaku bisnis, yaitu Koperasi, swasta perorangan, maupun perusahaan, BUMN, pengusaha-pengusaha swasta besar–menengah–kecil harus diwujudkan .
Umumnya, pengembangan perusahaan sangat ditentukan oleh tersedianya dana dan sumber pembiayaan. Permasalahannya, darimana sumber dana dan siapa yang bersedia menyediakan dana tersebut? Di dalam kegiatan perekonomian khususnya kegiatan dunia usaha, dikenal berbagai institusi dan lembaga yang mempunyai fungsi sebagai penyedia dan sumber dana yang handal, baik sebagai sumber dana untuk jangka panjang atau jangka pendek.
Perusahaan-perusahaan sebagai pelaku ekonomi di Indonesia relatif menunjukkan keadaan yang sangat beragam dengan berbagai variasi, mulai dari jenis usaha, kemampuan keuangan, teknologi dan ketangguhan untuk tumbuh dan berkembang. Lebih jauh, disadari pula bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan tersedianya sumber dana, dengan demikian, maka keberadaan lembaga pembiayaan termasuk mekanisme built operate transfer (BOT) merupakan suatu keniscayaan.
Selanjutnya, dari aspek pengkajian dan pengembangan keilmuan, sesungguhnya sudah ada beberapa pakar yang menelusuri dan mengulas perihal built operate transfer (BOT) ini khususnya dari aspek hukum . Namun dari berbagai penelitian dan ulasan tersebut, masih belum banyak para pemerhati hukum bisnis yang mengkaji masalah built operate transfer (BOT) ini terutama yang berkaitan dengan aspek hukum dan pelaksanaannya, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan perhotelan melalui perjanjian BOT dan ditujukan untuk pengoptimasian kepentingan daerah . Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam tesis ini, relevan dan menarik untuk melakukan pengkajian tentang built operate transfer(BOT), khususnya tentang pembuatan dan kekuatan pelaksanaan perjanjian BOT dalam pengembangan bisnis di sektor pariwisata.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka kiranya dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah dasar hukum (secara teoritik) pembentukan perjanjian Built Operate Transfer ini?
2. Bagaimanakah mekanisme pembentukan hubungan hukum para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT)?
3. Bagaimana pola penyelesaian sengketa yang ditempuh–terutama, jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT).
C. Tujuan, dan Manfaat Penelitian
Berkenaan dengan permasalahan tersebut dapat diketengahkan tujuan penelitian, sebagai berikut:
1. untuk memberikan pemahaman teoritik mengenai dasar hukum pembentukan atau pembuatan perjanjian Built Operate Transfer, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk melakukan penguatan pembangunan, pengembangan dan pembentukan hukum nasional;
2. Mengidentifikasi permasalahan hukum yang berkaitan dengan mekanisme pembentukan hubungan hukum para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT); kegiatan pengoperasionalisasian model perjanjian Built Operate Transfer (BOT). Guna mewujudkan tujuan tersebut, tulisan ini akan membahas aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan : a. praktek badan pemerintah (penanaman modal) yang tampa pada mekanisme Built Operate Transfer (BOT);
3. untuk lebih memahami pola penyelesaian sengketa yang ditempuh–terutama, jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT). pola penyelesaian sengketa yang ditempuh–terutama, jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT). Maksudnya pemahaman mengenai perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT).
Sedangkan maksud penelitian ini diarahkan guna menghimpun informasi yang memberikan kontribusi kepada
1. bagi peningkatan pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Bisnis yang berkaitan dengan model pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT);
2. bagi kalangan pelaku bisnis terutama para pemilik Modal (investor) dan para pengusaha kecil-menengah (investee company), sekaligus informasi yuridis normatif sebagai landasan hukum dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka;
3. bagi pemerintah daerah, merupakan rekomendasi (masukan) dalam pengelolaan dan pengembangan pemenfaatan lahan dalam bentuk kerjasama Built Operate Transfer (BOT).
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Penelitian dalam rangka menyusun tesis ini dititikberatkan untuk menganalisis berbagai masalah yang diuraikan diatas. Secara rinci pembahasannya melingkupi tidak hanya segi makna dan pengertian Built Operate Transfer (BOT) melainkan juga segi pelaksanaan Built Operate Transfer (BOT), mekanisme terjadinya hubungan hukum para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT), serta manfaatnya bagi pembangunan daerah khususnya dalam sektor kepariwisataan.
Seperti telah diketahui, bahwa permasalahan Built Operate Transfer (BOT) melibatkan berbagai pihak yakni: pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Berkenaan dengan itu penelitian ini membatasi diri pada usaha menemukan dan memahami makna hubungan hukum yang terdapat dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT). Pemahaman saat terjadinya hubungan hukum serata azas hukum dan peraturan hukum yang melandasinya, di samping hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT).
Pada uraian selanjutnya, penelitian ini akan membahas beberapa permasalahan yang melekat pada penerapan perjanjian BOT dan pengembangannya di pulau Lombok. Beberapa topik kajian yang relevan untuk dikemukakan dalam tulisan ini antara lain:
a. Pengertian Built Operate Transfer (BOT);
b. Dasar hukum perjanjian Built Operate Transfer (BOT);
c. Hak dan kewajiaban para pihak antara pemilik proyek dengan penyandang dana;
d. Izin pengoperasian atau pengelolaan bangunan;
e. Jaminan;
f. Penyelesaian sengketa
Selanjutnya, sebelum kesimpulan dan saran/rekomendasi, akan dibahas tentang bagaimana kekuatan eksekusi dari perjanjian-perjanjian Built Operate Transfer (BOT) yang telah disepakati, bila terjadi wanprestasi. Hal ini penting untuk memberikan gambaran yang kuat dan pasti tentang kekuatan hukum dan jaminan pelaksanaannya. Berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian Built Operate Transfer (BOT), tentu dikaji juga beberapa azas hukum perjanjian yang digunakan sebagai landasan pelaksanaannya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa penelitian ini menitik-beratkan pada penelitian normatif mengenai hubungan hukum para pihak dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT); di samping segi pelaksanaan perjanjian, khususnya menyangkut kebijakan pemanfaatan tanah dalam proses perijinan melalui prosedur penanaman modal daerah. Sehubungan dengan hal terakhir ini, tak dapat dielakkan penelaahannya memasuki segi kebijakan hukum pemerintah daerah berkenaan dengan penanaman modal dan pemanfaatan lahan masyarakat; namun tetap berpedoman pada lingkup kepentingan pembahasan hukum bisnis.
E. Landasan Teoritik
Penelitian ini melakukan analisis yuiridis tentang fungsi hukum berupa kerjasama para pihak yang terkait dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT). berkenaan dengan itu dibahas beberapa azas hukum sebagai landasan dalam mengenali permasalahan normatif yang diungkapkan bersama dengan pandangan para ahli yang terangkum dalam teori hukum yang melandasi kontrak, maksudnya hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT). Hal ini secara relatif penting diungkapkan dalam penelitian Built Operate Transfer (BOT), karena dalam suatu penelitian, teori berfungsi untuk memberikan pengarahan kepada peneliti perihal upaya penelitian yang dilakukannya. Aspek permasalahan yang ditemukan dalam Built Operate Transfer (BOT) sangat luas, tidak hanya menyangkut segi Hukum Privat melainkan berkaitan erat dengan kebijakan publik dalam Hukum Pemerintahan; inilah menjadikan penelaahannya tidak hanya secara normatif juridik melainkan penelaahan empirik.
Secara rinci, kerangka teoritis dalam penelitian ini didasarkan pada landasan acuan hukum yang secara juridik normatif dan empirik, berupa:
1. Penelitian mengenai fungsi hukum merupakan penelitian empirik yang memerlukan bantuan kerangka teoritik Sosiologi Hukum dalam menjelaskan permasalahan hukum. Berkenaan dengan ini digunakan Teori Fungsionalisme Imperativ , Talcott Parsons yang berpandangan bahwa dalam rangka perkembangan dunia bisnis dan perekonomian hukum berfungsi sebagai kekuatan untuk membina warga masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung (Fungsi Adaptiv). Berkenaan dengan itu, diperlukan informasi dan pemahaman mengenai tujuan pemerinatah, berbagai peraturan hukum, serta nilai budaya masyarakat dalam rangka perwujudan fungsi hukum tersebut.
2. Penelaahan dan pengkajian tentang konsep Built Operate Transfer (BOT) sebagai salah bentuk perjanjian yang dapat berfungsi untuk membiayai kegiatan pembangunan; Berkenaan dengan ini dipelajari berbagai azas hukum yang ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, seperti Azas Kebebasan Berkontrak sebagai salah satu azas perjanjian dalam hubungan hukum perikatan yang lahir dari perjanjian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, Azas Konsensual yang mendasari lahirnya hubungan hukum para pihak; Azas Etikad Baik melandasi pelaksanaan perjanjian;
3. mempelajari dan menjelaskan tempat lembaga Built Operate Transfer (BOT) di dalam Hukum Perikatan, dan
4. kekuatan eksekusi bila dalam suatu perjanjian terjadi wanprestasi.
Landasan teori yang akan diuraikan, sekaligus dirangkaikan dengan konsepsi sebagai bagian penting dari teori. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa suatu konsep atau suatu kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pedoman yang lebih konkrit dari pada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian suatu kerangka konsepsional belaka, kadang-kala dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian .
Dalam penelitian ini kerangka konsepsional dan defenisi operasional dari variabel utama secara normatif adalah Built Operate Transfer (BOT). Sekalipun pengertian umum tentang Built Operate Transfer (BOT) hingga saat ini belum dijumpai, namun sebagai salah satu sistem pembiayaan Built Operate Transfer (BOT) dapat diperoleh gambaran tentang pengertian Built Operate Transfer (BOT) ini jika dicermati konsep dan pengertian ruislag (tukar guling) sebagai bahan perbandingan. Misalnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Subagyo dan kawan kawan , dikatakan bahwa ruilslag merupakan suatu cara lain yang biasanya digunakan oleh pemerintah dalam membiayai proyek-proyeknya. Kedua pengertian tersebut (Built Operate Transfer (BOT) dan ruislag) mengandung persamaan-persamaan dan perbedaaan-perbedaaan. Beberapa kesamaan tersebut antara lain:
1. Pemilik proyek biasanya pemerintah;
2. Study kelayakan, pengadaan barang beserta peralatannya, pembiayaan dan pembangunan proyeknya dapat dilakukan oleh pihak lain selain pemerintah, yaitu swasta nasional, atau gabungan anatara para pengusaha swasta nasional, atau konsorsium yang melibatkan penyandang dana dari dalam dan luar negeri;
Sedangkan perbedaan antara Built Operate Transfer (BOT) dan Ruilslag antara lain: dengan cara Built Operate Transfer (BOT) tidak dimaksudkan untuk melakukan penukaran tanah dan bangunan, jadi pada Built Operate Transfer (BOT) tidak ada tanah atau bangunan yang ditukarkan oleh pemerintah kepada pihak penyandang dana. Sebaliknya pihak penyandang dana akan menyediakan barang pengganti untuk diserahkan kepada pemerintah (pemilik tanah atau bangunan yang akan diserahkan). Dalam perjanjian Built Operate Transfer (BOT) pemerintah memberi hak kepada investor, untuk selama jangka waktu tertentu, konsesi, mengelola atau mengambil manfaat ekonomi dari areal lahan tertentu dalam rancang proyek pembangunan yang bersangkutan, dan pada akhir waktu konsesi akan menyerahkan hak dan kepemilikan proyek kepada pemerintah. Apabila ingin diadakan perbandingan antara keduanya maka: Built Operate Transfer (BOT) adalah suatu sistem pembiayaan — biasanya diterapkan pada proyek pemerintah — berskala besar yang dalam studi kelayakan pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan dan pembangunan serta pengoperasiannya, sekaligus juga penerimaan/pendapatan yang timbul darinya diserahkan kepada pihak lain; dan pihak lain ini dalam jangka waktu tertentu (jangka waktu konsesi) diberi hak mengoperasikan, memeliharanya serta untuk mengambil manfaat ekonominya guna menutup sebagai ganti beaya pembangunan proyek yang bersangkutan dan memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Sedangkan Ruislag (tukar guling) adalah suatu perbuatan, hukum (perjanjian atau transaksi) tukar-menukar tanah dengan atau tanpa bangunan gedung (Negara) yang akan dilepas disebut “Barang Yang Diserahkan” dengan pengganti berupa tanah saja atau bangunan baru saja atau tanah beserta bangunan baru pengganti (biasanya disebut “Barang Pengganti” di tempat lain yang ditaksir senilai dengan harga barang yang diserahkan yang akan diterima dengan tidak merugikan Negara dan tidak ada pengganti dalam bentuk uang .
Seperti halnya negara-negara lain yang sedang berkembang, tak memiliki cukup dana untuk melakukan pembangunan proyek fisik yang sangat besar dan penting sekali diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat (proyek infrastrktur). Sehingga dalam pelaksanaan pembangunannya selain dilakukan dengan suatu skala prioritas ketat, juga kemungkinan tersedianya dana dari pihak ketiga sangat diharapkan.
Pengkajian tulisan ini akan lebih ditekankan pada kasus-kasus yang terjadi di Lombok Barat, khususnya strategi pemerintah dan masyarakat dalam membiayai pembangunan pisik pembangunan perhotelan yang diperlukan dalam program pengembangan kepariwisataan. Perlu dikemukakan bahwa kajian ini tidak hanya menitikberatkan pada strategi pemerintah dalam membiayaai proyek-proyek pembangunannya, tetapi juga strategi masyarakat (pihak swasta) dalam membiayai kegiatan usahanya yang juga menerapkan konsep perjanjian BOT . Proyek-proyek tersebut lebih ditekankan pada proyek-proyek Dinas Pariwisata.
Dalam hal pemerintah c.q. Departemen yang bersangkutan memiliki asset, misalnya tanah beserta bangunannnya ataupun tanahnya saja, yang bisa ditukar dengan biaya pembangunan proyek pengganti, maka cara tukar-guling (Ruilslag) dapat dipertimbangkan. Tetapi apabila pemerintah c.q. Departemen yang bersangkutan tidak memiliki asset sama sekali, maka alternatif pembiayaan yang biasa ditempuh adalah sistem Built Operate Transfer (BOT) sangat menarik untuk dikaji.
Secara keseluruhan, kontrak Built Operate Transfer (BOT) yang ditandatangani oleh para pihak harus mempertimbangkan azas-azas umum dalam hukum perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Pada dasarnya setiap perjanjian haruslah mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dapat diketahui dari ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, yang isinya menetapkan setiap perjajian yang dibuat oleh para pihak berlaku mengikat seakan undang-undang bagi yang membuatnya. Azas ini merupakan aspek esensial dari kebebasan individu — dalam membuat suatu perjanjian. Kebebasan itu mengenai bentuk dan isinya selama tak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum serta — harus serasi atau tidak boleh bertentangan dengan azaz-azaz umum perjanjian, yaitu:
1. Azaz Konsensualisme: asaz ini diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman, dalam hukum Germani di kenal sebagai azas konsensualisme, azas ini memuat dasar norma yang manyatakan bahwa setiap perjanjian (hubungan hukum) terjadi sejak adanya kata sepakat; sehingga tidak dipersyaratkan bentuk formal atau perbuatan lainnya untuk terjadinya suatu perjanjian. Hubungan hukum yang lahir berdasarkan azas konsensual barulah merupakan hubungan hukum yang bersifat subjektif (hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antar mereka yang menyatakan kehendaknya) hal ini terwujud dalam bentuk kesepakatan, untuk melahirkan hak kebendaan yang mengikat para pihak diperlukan persyaratan obligatoir yakni suatu perbuatan yang dimaksudkan untuk mewujudkan hak kebendaan yang telah disepakati dalam perjanjian menurut azas konsensual.hal ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 ayat 1.
2. Azaz kepastian dan Kekuatan Mengikat suatu perjanjian. azas ini tercermin dari pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang menentukan setiap perjanjian mengikat bagi para pihak yang membuatnya seakan undang-undang; sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka isi perjanjian yang disepakati para pihak haruslah dihormati melebihi ketentuan kitab undang-undang hukum perdata (ketentuan umum perjanjian) sedang isi kesepakatan adalah ketentuan khususnya. Sejalan dengan itu azas ini menentukan bahwa pihak ketiga termasuk hakim secara yuridis normatif demi kapastian hukum harus menghormati kehendak para pihak yang disepakatinya.
3. Azaz Persamaan Hak: adalah azas yang memandang subjek hukum yang membuat suatu perjanjian mempunyai kedudukan, hak, kewajiban yang sama dihadapan hukum.
4. Azaz Keseimbangan:adalah azas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian.
5. Azaz Kepercayaan:
6. Azaz Etikad-baik (Moral);
7. Azaz Kebiasaan;
8. Azaz Kepatutan;
Dalam kaitan dengan azaz kebebasan berkontrak ini, maka dalam praktek, perjanjian antara kelompok ekonomi kuat dan kelompok ekonomi lemah, biasanya terjadi suatu perjanjian yang disebut perjanjian baku. Perjanjian mana terjadi apabila pihak yang merasa kuat menentukan syarat-syarat secara sepihak, dan pihak lawannya yang pada umumnya dari kalangan ekonomi lemah (berkedudukan lemah) baik karena kedudukannya yang lemah atau karena ketidak tahuannya, hanya menyetujui apa yang disodorkan oleh lawan kontraknya. Artinya pihak yang kuat lebih memperoleh efisiensi dalam pengeluaran biaya, tenaga dan waktu.
Dalam perkembangan hubungan-hubungan perdagangan, dikenal pula lembaga Arbitrase dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis yang timbul; sebagaimana diatur didalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum.
Uraian tentang landasan teori diatas akan digunakan untuk menganalisa data-data yang diperoleh dalam penelitian ini, sehingga diperoleh jawaban atas masalah-masalah yang dikemukakan diatas.
F. Metode Penelitian
Penelitian dalam rangka penyusunan tulisan ini menggunakan penelitian yuridis normative di samping empirik. Guna memudahkan pembahasan dan penulisannya, penulis membedakan beberapa tahapan dan kegiatan dalam penelitian normative yang terdiri dari:
a. Pendekatan yang Digunakan
Studi ini menggunakan dua pendekatan, yakni: pendekatan yuridis-normatif dan empirik; pendekatan yuridik-nprmatif menitikberatkan kajian pada permasalahan hukum secara normatif. Pengkajian berbagai azas hukum dan peraturan hukum sebagai dasar pembuatan serta pelaksanaan perjanjian Built Operate Transfer (BOT) merupakan kajian substantif.
Pendekatan kedua adalah pendekatan empirik, ini diarahkan hanya pada penelitian yang bersifat preskriptif. Aktifitas utamanya dititikberatkan pada penelaahan atau penganalisaan materi-materi hukum berhubungan dengan kenyataan hukum khususnya pelaksanaan perjanjian Built Operate Transfer (BOT). Dalam hal ini, tidaklah lepas kajiannya diarahkan pada norma-norma, kontrak-kontrak, dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam dunia perniagaan (hukum bisnis) .
b. Jenis dan sumber bahan hukum serta data
Dalam penelitian ini yang dijadikan objek kajian adalah informasi berupa:
1. bahan hukum merupakan informasi yuridik-normatif yang dikenal digunakan sebagai informasi yang dihimpun dan dipelajari dalam penelitian yuridik-normatif. bahan-bahan hukum yang dihimpun dan digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian ini, adalah:
Bahan Hukum Primer
Adapun bahan hukum primer yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bahan-bahan hukum yang bersumber dari undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, jurisprudensi-jurisprudensi, dan kontrak-kontrak ataupun memorandum of understanding dari suatu kontrak, khususnya yang berkaitan dengan Built Operate Transfer (BOT).
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang difungsikan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder ini dapat berupa pendapat atau komentar-komentar ilmiah para sarjana, yang dimuat dalam artikel-artikel, jurnal-jurnal hukum, dan media ulasan ilmiah lainnya, dan
Bahan Hukum Tersier
Bahan – bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang dimaksudkan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, indeks, bibliografi, dan lain-lain.
2. di samping itu dikumpulkan pula berupa data dalam penelitian empirik di lapangan. Data yang dikumpulkan tidak hanya data primer yang diperoleh secara langsung melalui wawancara terstruktur tanpa menggunakan daftar pertanyaan, yakni terhadap pelaku bisnis, dan aparat pejabat pemerintah.
Seluruh data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelusuran pustaka, (literature review). Kegiatan studi pustaka ini diarahkan pada upaya pengumpulan data-dan informasi yang berkaitan dengan kontrak BOT. Bentuk aktifitasnya terfokus pada penelaahan pustaka di perpustakaan, dan internet.
c. Metode Kajian dan Analisis
Selanjutnya, seluruh data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan berpikir deduktif dan induktif.
|