Muhammad Saleh Werdisastro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Leri kepra (bicara | kontrib)
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
Baris 8:
 
===Perjalanan Karir===
Setelah menamatkan sekolahnya di [[HagereHogere Kweek SchoolKweekschool (HKS)]] di [[Purworejo]] dan [[Magelang]] 15 Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru [[GouvernemensGouvernements HIS]] (Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di [[Rembang]], [[Jawa Tengah]]. Didorong rasa nasionalismenya yang tinggi, selama bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda membuat dirinya tidak bahagia, karena sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya. Ia tidak ingin mengabdi kepada Pemerintah Kolonial. Setelah bertahan setahun, ia berhenti menjadi guru di HIS dan kembali ke kampung halamannya, Sumenep pada 1931.
 
Di Sumenep, hanya ada satu sekolah HIS milik pemerintah kolonial Belanda, khusus anak-anak Belanda, Bangsawan, kaum Ningrat, anak Priyayi atau anak-anak orang kaya. Ada keinginan yang luhur dalam jiwa Muhammad Saleh ingin mengadakan suatu perubahan serta inovasi dalam sistem pendidikan yang selalu mengutamakan anak-anak orang tertentu. Ia menginginkan dunia pendidikan dalam ruang lingkup dan intensitas yang yang sama, tidak ada diskriminasi bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu. Ia melihat pendidikan sebagai komponen dasar dalam membangun kekuatan suatu bangsa.
Baris 20:
Setelah 10 tahun menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya di PHIS Sumekar Pangrabu, pada 1 September 1941, M. Saleh menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada Meneer Badrul Kamar, seorang pendidik yang dianggap cakap dan mumpuni untuk memimpin sekolah PHIS. Beliau sendiri hijrah ke Jogyakarta dan tetap menjadi guru di [[Gesubsidicerde Inheemse Mulo Muhammadiyah]], yang berlangsung sampai datangnya bala tentara Dai Nippon yang menduduki Indonesia.
 
Ketika terjadi pembentukan [[PETA]] (Pembela Tanah Air) suatu bagian dari kesatuan tentara Jepang, para prajurit sampai komandan, semuanya terdiri dari orang Indonesia. Pihak Jepang mengangkat tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dijadikan Komandan PETA. Muh. Saleh terpilih menjadi komandan, bersama tokoh Muhammadiyah lainnya seperti [[Sudirman]] (kemudian menjadi Panglima Besar TNI setelah Indonesia merdeka), [[Muljadi Djojomartono]] (mantankelak menkomenjadi Menko Kesra), serta tokoh-tokoh lainnya.
 
Muh. Saleh berhenti menjadi guru, setelah menempuh pendidikan Perwira Militer. Kemudian bertugas sebagai [[Dai Dancho]] (Komandan Daidan Batalyon Dai Ni Daidan di JogyakartaYogyakarta bermarkas di Bantul dan bertanggung jawab atas pertahanan wilayah JogyakartaYogyakarta bagian tengah (mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke pantai laut selatan). Pada saat itu, Muh. Saleh mendapat berita duka bahwa PHIS Sumekar Pangrabu Sumenep diambil alih oleh Jepang. Dengan derai air mata kesedihan beliau hanya bisa berdoa agar penjajahan Jepang cepat berakhir dari bumi Indonesia. Doa beliau terkabul, pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara Jepang dibawah kekuasaan tentara Inggris. PETA dibubarkan dan Muh. Saleh pulang kembali ke Madura. Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamirkanmemproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
 
Pemerintah RI membentuk [[Komite Nasional Indonesia]] baik di pusat maupun di daerah. [[Sultan JogyaYogyakarta [[Hamengkubuwono IX]] dan para pemuka masyarakat JogyaYogyakarta mencari calon yang tepat dan mampu untuk menjadi [[Ketua KNI Jogya]]Yogyakarta. Untuk daerah JogyakartaYogyakarta, dipimpin langsung oleh Sultan sendiri didampingi Ketua KNI. Secara bulat pilihan jatuh kepada Muhammad Saleh Werdisastro guna memegang tampuk kepemimpinan KNI di JogyaYogyakarta. Sultan langsung mengirim telegram memanggil beliau sebagai anggota KNI Pusat.
 
Selanjutnya KNI Pusat pada akhirnya dilebur menjadi menjadi DPR dan KNI Daerah menjadi DPRD. Bekas prajurit PETA menjadi perintis perjuangan melucuti senjata tentara Jepang dan merupakan cikal bakal TNI. Pada masa itu tentara Jepang yang berada di JogyakartaYogyakarta belum mau menyerahkan senjatanya. Muhammad Saleh berusaha mengadakan perundingan dengan tentara Jepang bertempat di Gedung Negara.
 
Ada kisah yang patut diketahui dalam perundingan ini, yang cukup alot dan berlarut-larut. Rakyat merasa tidak sabar menunggu. Mereka berbondong-bondong mendatangi Gedung Negara dengan semangat perjuangan sambil berteriak ''”Pak Saleh Keluarkeluar!”''. Tanpa gentar sedikitpun karena dirinya merasa benar dan merasa berpihak kepada rakyat, dengan sikap kesatria beliau memilih keluar menghadapi rakyat yang sedang emosi seraya berkata ''”Ketahuailah saudaraSaudara-saudara, saya sedang berunding dengan Jepang, percayalah kalian kepada saya”''. Kemudian menghunus keris miliknya dengan suara lantang berteriak di depan massa ''”Jika saya menghianatimengkhianati saudara-saudara, bunuh saya dengan keris ini”''. Rakyat mulai tenang dan membubarkan diri.
 
Sebagai seorang muslim yang taat, Muh. Saleh selalu menjauhi syirik. Ia tetap menganggap kerisnya sebagai senjata dan benda biasa yang tidak mungkin dapat merubah nasib seseorang. Segala apa yang terjadi adalah kehendak Allah semata. Namun disisidi sisi lain, banyak orang JogyakartaYogyakarta menganggap keris Pak Saleh tersebut sangat bertuah dan keramat, sehingga beberapa hari kemudian keris yang ditaruh dalam tas kantornya hilang dicuri orang.
 
Jepang ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme, rakyat JogyakartaYogyakarta dipimpin antara lain oleh Muh. Saleh, menyerbu markas Jepang di Kota Baru, yang tercatat dalam sejarah sebagai [[Pertempuran Kota Baru]]. Akhirnya Jepang menyerah.
 
===Walikota Solo===