Muhammad Saleh Werdisastro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Leri kepra (bicara | kontrib) |
|||
Baris 8:
===Perjalanan Karir===
Setelah menamatkan sekolahnya di [[
Di Sumenep, hanya ada satu sekolah HIS milik pemerintah kolonial Belanda, khusus anak-anak Belanda, Bangsawan, kaum Ningrat, anak Priyayi atau anak-anak orang kaya. Ada keinginan yang luhur dalam jiwa Muhammad Saleh ingin mengadakan suatu perubahan serta inovasi dalam sistem pendidikan yang selalu mengutamakan anak-anak orang tertentu. Ia menginginkan dunia pendidikan dalam ruang lingkup dan intensitas yang yang sama, tidak ada diskriminasi bagi siapapun yang ingin menuntut ilmu. Ia melihat pendidikan sebagai komponen dasar dalam membangun kekuatan suatu bangsa.
Baris 20:
Setelah 10 tahun menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya di PHIS Sumekar Pangrabu, pada 1 September 1941, M. Saleh menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada Meneer Badrul Kamar, seorang pendidik yang dianggap cakap dan mumpuni untuk memimpin sekolah PHIS. Beliau sendiri hijrah ke Jogyakarta dan tetap menjadi guru di [[Gesubsidicerde Inheemse Mulo Muhammadiyah]], yang berlangsung sampai datangnya bala tentara Dai Nippon yang menduduki Indonesia.
Ketika terjadi pembentukan [[PETA]] (Pembela Tanah Air) suatu bagian dari kesatuan tentara Jepang, para prajurit sampai komandan, semuanya terdiri dari orang Indonesia. Pihak Jepang mengangkat tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dijadikan Komandan PETA. Muh. Saleh terpilih menjadi komandan, bersama tokoh Muhammadiyah lainnya seperti [[Sudirman]] (kemudian menjadi Panglima Besar TNI setelah Indonesia merdeka), [[Muljadi Djojomartono]] (
Muh. Saleh berhenti menjadi guru, setelah menempuh pendidikan Perwira Militer. Kemudian bertugas sebagai [[Dai Dancho]] (Komandan Daidan Batalyon Dai Ni Daidan di
Pemerintah RI membentuk [[Komite Nasional Indonesia]] baik di pusat maupun di daerah.
Selanjutnya KNI Pusat pada akhirnya dilebur menjadi menjadi DPR dan KNI Daerah menjadi DPRD. Bekas prajurit PETA menjadi perintis perjuangan melucuti senjata tentara Jepang dan merupakan cikal bakal TNI. Pada masa itu tentara Jepang yang berada di
Ada kisah yang patut diketahui dalam perundingan ini, yang cukup alot dan berlarut-larut. Rakyat merasa tidak sabar menunggu. Mereka berbondong-bondong mendatangi Gedung Negara dengan semangat perjuangan sambil berteriak ''”Pak Saleh
Sebagai seorang muslim yang taat, Muh. Saleh selalu menjauhi syirik. Ia tetap menganggap kerisnya sebagai senjata dan benda biasa yang tidak mungkin dapat merubah nasib seseorang. Segala apa yang terjadi adalah kehendak Allah semata. Namun
Jepang ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme, rakyat
===Walikota Solo===
|