Mohammad Amir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Afandri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Afandri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 19:
}}
 
'''Mohammad Amir''' (lahir di Talawi, [[Sawahlunto]], [[Sumatera Barat]], [[27 Januari]] [[1900]] - meninggal di [[Amsterdam]], [[Belanda]], [[1949]]) merupakan politikus dan menjabat sebagai menteri di Indonesia. Amir lahir dari pasangan M. Joenoes Soetan Malako dan Siti Alamah. Dia menjabat sebagi anggota [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] dan menteri negara pada [[Kabinet Presidensial]] pada tahun 1945.
 
== Asal usul ==
{{DEFAULTSORT:Amir, Mohammad}}
Amir lahir dari pasangan M. Joenoes Soetan Malako dan Siti Alamah. Dalam adat [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] yang [[matrilineal]], Amir mengikuti suku ibu yakni suku Mandaliko. Keluarganya merupakan kaum yang terpelajar. Selain Amir, kedua sepupunya yakni [[Mohammad Yamin]] dan [[Adinegoro|Djamaludin Adinegoro]] juga merupakan tokoh pergerakan [[Indonesia]].
 
== Pendidikan ==
Pada waktu belia, Amir dibawa kakak ibunya Mohammad Jaman gelar Radjo Endah ke [[Palembang]]. Di kota ini Amir belajar di [[HIS]], sekolah dasar untuk anak-anak pribumi. Sebelum tamat HIS, Amir pindah ke [[Jakarta|Batavia]] dan melanjutkan pendidikan dasarnya di [[ELS]]. Amir meneruskan studinya ke jenjang pendidikan menengah di [[MULO]]. Disana ia tamat belajar pada tahun 1918 untuk kemudian melanjutkan ke [[STOVIA]]. Setelah tamat STOVIA, antara tahun 1924-1928, Amir mendapat kesempatan untuk meneruskan belajar di Fakultas Kedokteran [[Universitas Utrecht]], [[Belanda]] dengan beasiswa dari perkumpulan Teosofi.
 
== Aktivis ==
Tanggal [[8 Desember]] [[1917]], Amir bersama [[Tengku Mansur]] dan sejumlah siswa Sumatra lainnya mendirikan [[Jong Sumatranen Bond]] (JSB), mengikuti jejak pemuda-pemuda Jawa yang mendirikan [[Jong Java]] dua tahun lalu. Para pemuda inipun bergabung untuk mempersiapkan diri sebagai penggerak dalam upaya memperbaiki taraf kehidupan rakyat Sumatera. Menurut majalah Pemoeda Soematra yang mulai diterbitkan sejak 1918, dalam satu tahun jumlah anggota perhimpunan menjadi sekitar 500 orang dengan cabang di Jakarta dan [[Padang]] yang paling banyak anggotanya. Pada rapat tahunan JSB tanggal 26 Januari 1919, Amir terpilih sebagai wakli pengurus mendampingi Tengku Mansur yang menjabat sebagai ketua. Setahun kemudian Amir terpilih menjadi ketua menggantikan Mansur yang telah lulus dari STOVIA. Tahun 1922, posisi Amir sebagai ketua umum digantikan oleh [[Bahder Djohan]]. Di Belanda, tahun 1925 ia terpilih menjadi komisaris [[Perhimpunan Indonesia]].
 
Tanggal 14 Agustus 1945, bersama [[Teuku Mohammad Hasan]], Amir menghadiri sidang [[PPKI]] mewakili rakyat Sumatera. Pada masa pembentukan [[kabinet Presidensial]], Amir ditunjuk menjadi menteri negara bersama dengan [[Wahid Hasjim]], [[Sartono|R.M Sartono]], [[A. A. Maramis]], dan [[Otto Iskandardinata]]. Pada bulan Desember 1945, Amir diangkat menjadi wakil gubernur Sumatera mendampingi Teuku Moh. Hasan yang telah terlebih dahulu diangkat menjadi gubernur.
 
Pemberontakan sosial yang terjadi di Sumatera Timur menjadi ancaman bagi Amir dan keluarganya. Atas peristiwa ini Amir dipindahkan dari Medan ke [[Sabang]]. Kemudian dari kota itu, Amir diterbangkan ke [[Utrecht]], tempat ia belajar semasa muda. Karena tindakannya itu Amir dituduh sebagai pengkhianat bangsa. Di masa-masa akhir hidupnya, atas bantuan [[D. J. Warouw]] ia tinggal di Sulawesi, berpindah-pindah dari [[Kota Gorontalo|Gorontalo]], [[Palu]], dan akhirnya [[Makassar]].
 
== Karya ==
Mohammad Amir menyukai dan tergerak oleh tulisan-tulisan yang ada di surat kabar dan majalah yang tesedia di STOVIA. Amir memperoleh bimbingan menulis dari Landjoenan gelar Datoek Temenggung, penerbit majalah bulanan Suluh Pelajar, Cahaya Hindia, dan harian [[Neraca {koran)|Neraca]]. Amir sendiri menulis berbagai karangan dalam [[bahasa Belanda]], antara lain tentang karya sastra Belanda rangkaian Mathilde ciptaan Jacques Perk dan tentang [[Multatuli]] sebagai pemikir etika dan pejuang politik. Selain bekerja sebagai psikiater, Amir juga sering terlibat dalam penulisan artikel di majalah [[Pujangga Baru]]. Disini ia menentang gagasan [[Suatan Takdir Alisjahbana]] yang mempropagandakan pembaratan pada masyarakat Indonesia. Tahun 1940 kumpulan tulisan Amir diterbitkan di Medan dengan judul ''Bunga Rampai''.
{{DEFAULTSORT:Amir, Mohammad Amir}}
{{indo-bio-stub}}
[[Kategori:Tokoh Minangkabau]]