Trisno Soemardjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Andri.h (bicara | kontrib)
std
Baris 1:
{{rapikan}}
{{wikify}}
{{peacock}}
 
[[Berkas:Trisno sumardjo.gif|right|thumb|T. Sumardjo]]
'''Trisno Sumardjo''' (lahir: [[1916]] - wafat: [[21 April]] [[1969]]) adalah seorang penerjemah [[Indonesia]] yang antara lain menterjemahkan [[A Midsummer Night's Dream]] karya [[Shakespeare]].
 
Dalam pelataran sejarah seni rupa Indonesia, nama Trisno Sumardjo mungkin tidak selegendaris S Sudjojono yang karismatik dan kontroversial. Dia juga bukan pelukis berhasil jika Affandi dijadikan patokannya.
Baris 13:
Agaknya, dibandingkan dengan S Sudjojono, Trisno Sumardjo adalah salah seorang yang berusaha meneorikan seni lukis modern Indonesia tanpa terburu-buru memberi kesimpulan. Kedua orang yang bersahabat itu pun dikabarkan pernah berseteru di tahun 1950-an ketika S Sudjojono menganjurkan setiap pelukis kembali ke realisme. Trisno membantah bahwa: "Rakyat kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"
 
Perawakan kurus dan berdahi lebar, pada tanggal [[21 April]] [[1969]], di usia 53 tahun dia wafat setelah diberitakan kena serangan jantung. Pelukis Nashar (Horison, No 6, 1969) sempat mengenang sosoknya yang berwatak keras dan kaku. Namun, masih mengikuti Nashar, mengutamakan kebebasan individu adalah teladan dari seorang Trisno Sumardjo. Nashar sempat membayangkan sosoknya yang cepat naik pitam jika ada seniman yang hanyut atau mengarah pada ketidakbebasannya sendiri. Kepada pelukis Nashar dan Zaini, dia pernah berujar: "Kalian sebagai seniman jangan hanya melukis saja, lakukanlah sesuatu yang lebih luas."
 
Publik seni mengenal sosok ini sebagai seorang pelukis, pengarang, penerjemah karya-karya sastra dunia, dan seorang kritikus seni. Rasanya, sepanjang hidupnya hanya mengabdi pada perbaikan kesenian. Nashar pun sempat mencatat ucapannya: "Kesenian, bukanlah alat untuk mengejar materi atau mencari keharuman nama."
Baris 44:
 
Sang pejuang kesenian itu dikabarkan mengalami hidup yang getir, pahit, dan sepi. Dia tetap bersikeras bahwa seniman sepantasnya memiliki posisi yang berharga di tengah masyarakat. Keyakinan itu didasari semangat bahwa tugas seorang seniman bukan hanya melukis. Tidak heran, pada bulan Agustus tahun 1950, kritikus itu menghardik: "Alangkah bodohnya pelukis yang takut pada buku-buku tebal...."
 
{{DEFAULTSORT:Soemardjo, Trisno{{
 
[[Kategori:Kelahiran 1916]]
[[Kategori:Kematian 1969]]
[[Kategori:Tokoh Indonesia]]