Trần Hưng Đạo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Glent (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Glent (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
 
== Kehidupan awal ==
Tran Hung Dao terlahir dengan nama '''Tran Quoc Tuan''' (陈国峻) di [[Nam Dinh]] pada tahun 1228. Ayahnya, [[Tran Lieu]], adalah kakak dari raja [[Tran Thai Tong]]. Tidak lama sebelum kelahiran Tran, tahun [[1225]], terjadi kericuhan politik akibat pergantian dinasti dimana penguasa terakhir [[Dinasti Ly]], Ratu [[Ly Chieu Hoang]] menyerahkan tahta pada suaminya, Tran Thai Tong. Keluarga Dinasti Ly menunding bahwa keluarga Tran menyabot tahta dan dalang di balik semua ini adalah paman raja yang juga walinya, [[Tran Thu Do]]. Tak lama setelah Dinasti Tran berdiri, Tran Thu Do memaksa Tran Lieu membatalkan pernikahannya dengan istrinya, Putri Thuan Thien (ibu Tran Hung Dao) untuk dinikahkan dengan Raja Tran Thai Tong, dengan tujuan mengukuhkan kedudukan keluarga Tran dalam pemerintahan. Ia juga melakukan pembersihan terhadap keluarga kerajaan Dinasti Ly, banyak dari mereka yang dibunuh atau dibuang ke pengasingan. Tran Lieu, yang sakit hati karena dipaksa menceraikan istrinya, sempat melakukan pemberontakan namun gagal. Ia sudah kehilangan kepala kalau saja adiknya, Raja Thai Thong tidak maju membelanya, ketika Tran Thu Do hendak memenggalnya. Tran Lieu maupun raja menyimpan dendam terhadap paman mereka yang gila kuasa itu, namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Tran Lieu memilihkan guru-guru terbaik untuk mendidik Tran Quoc Tuan dengan harapan satu hari nanti putranya itu akan menjadi orang besar dan mengembalikan kehormatan keluarganya. Tran Quoc Tuan tumbuh sesuai harapan ayahnya. Bukan saja berbakat dalam bidang sastra, ia juga menggemari dunia kemiliteran. Sejak usia muda, ia telah tertarik pada karya-karya klasik [[Tiongkok]] dan menguasai Seni Perang [[Sun Tzu]]. Ketika menjelang ajal, Tran Lieu berpesan pada putranya itu agar membalaskan dendamnya terhadap sang wali raja, Tran Thu Do.
 
== Invasi Mongol 1285 ==
Sejak awal abad 13, setelah [[Genghis Khan]] menyatukan suku-suku di padang rumput [[Mongolia]], bangsa pengembara itu mulai menjadi momok mengerikan bagi dunia. Tahun [[1253]], cucu Genghis, [[Kubilai Khan]], yang mendirikan [[Dinasti Yuan]] di Tiongkok, berhasil menaklukkan [[Kerajaan Dali]] (sekarang [[Yunnan]], Tiongkok). Tahun [[1257]] ia pernah mengirim pasukan menyerang Vietnam, namun karena kurang persiapan dan tidak terbiasa dengan iklim daerah tropis, mereka akhirnya mundur. Saat itu Tran Hung Dao juga turut berperang melawan musuh, namun perannya belum terlalu menonjol. Setelah tercapai kesepakatan damai, kedua negara tidak saling serang hingga tahun [[1284]]. Saat itu Kubilai mengutus putranya, Pangeran [[TohghanToghan]] untuk menginvasi [[Champa]]. Juni [[1285]], Toghan dan pasukannya tiba di perbatasan utara Vietnam dan meminta ijin untuk melintas. Permintaan ini ditolak raja Vietnam saat itu, [[Tran Nhan Tong]]. Pangeran [[Toghan]] marah dan menyerang Vietnam. Mereka berhasil merebut ibukota Thang Long (sekarang [[Hanoi]]), namun sebelum kota itu jatuh, pasukan Vietnam telah terlebih dahulu membumihanguskannya sehingga pasukan Mongol tidak mendapat makanan maupun tempat untuk berteduh. Tran Hung Dao bersama beberapa jenderal lainnya mengawal keluarga kerajaan melarikan diri dari pengejaran Mongol. Dalam pelarian yang sulit, mantan raja [[Tran Thanh Tong]] (ayah raja Nhan Tong yang telah mundur dan menyerahkan tahta pada putranya) bertanya padanya, “''Musuh begitu kuatnya, jika kita terus berperang bukankah akan menyengsarakan rakyat? Tidakkah lebih baik kita meletakkan senjata saja demi menyelamatkan rakyat?''” Namun jawab Tran padanya, “''Hamba sangat mengerti rasa kemanusiaan Yang Mulia, tapi akan jadi apa tanah leluhur kita ini nanti, dan juga kuil-kuil leluhur kita? Bila Yang Mulia sungguh ingin menyerah, maka potonglah dulu kepala hamba ini!''” Tergugah oleh tekad Tran, raja pun memutuskan untuk terus berjuang.
 
Dalam pelarian itu, Tran mengumpulkan kembali pasukan Vietnam yang tercerai-berai. Di hadapan para prajurit dan milisi itulah Tran menyampaikan pidatonya yang terkenal untuk membangkitkan kembali semangat mereka agar terus berjuang mempertahankan tanah air dan mengusir musuh. Pidato ini bertajuk ''‘Panggilan Prajurit’''. Semangat tempur pasukan Mongol semakin turun dari hari ke hari. Sepanjang jalan yang mereka lalui mereka hanya mendapati kampung dan sawah yang telah dibakar oleh orang-orang Vietnam sehingga persediaan mereka semakin menipis. Situasi ini bertambah parah dengan iklim wilayah tropis yang menyebabkan penyakit mulai berjangkit di antara mereka. Tran merasa saatnya melakukan serangan balasan telah tiba. Sebagian besar pertempuran terjadi di wilayah perairan sehingga pasukan kavaleri Mongol tidak dapat berfungsi efektif. Kemenangan mulai berpihak pada pasukan Vietnam, mereka memenangkan banyak pertempuran bahkan salah satu komandan Mongol, [[Sogetu]], gugur dalam perang di front selatan. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, Pangeran Toghan terpaksa menarik mundur pasukannya. Dalam perjalanan pulang, pasukan Mongol masih harus menghadapi serangan sporadis dari suku-suku minoritas di utara seperti [[Hmong]] dan [[Yao]].