Sadruddin al-Qunawi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 29:
 
Al-Qunawi tidak hanya dikenal sebagai [[ahli kalam]] dan [[Mazhab Peripatos|filsafat Peripatetik]], tetapi juga sebagai ahli ḥadīth. Tidak diragukan bahwa al-Qunawi mempelajari filsafat dari karya-karya Ibnu Sina, selain mempelajari terjemahan bahasa Arab dari karya-karya Plato dan Aristoteles. Dia merupakan satu dari sedikit kritikus Aristoteles pasca-Avicena yang benar-benar berwawasan.
 
 
 
Pengaruh al-Qūnawi tampak pada beberapa muridnya, di antaranya [[Quthbuddin asy-Syirazi|Quthbuddin al-Shirazi]] yang menulis syarah tentang ''Ḥikmat al-Ishrāq'' karya Suhrawardi. Murid al-Qūnawī lainnya adalah penyair sufi [[Fakhr-al-Din Irak|Fakhruddin al-Iraqi]] yang berperan penting dalam memperkenalkan ajaran Ibnu 'Arabī ke dalam bahasa Persia.<ref>Sayyed Hossein Nasr, "Three Muslim Sages." Harvard University Press, 1964, 118-119.</ref>
Baris 37 ⟶ 35:
Selain sebagai sufi, al-Qūnawī juga seorang filsuf yang matang. Dengan kata lain, dia adalah seorang mistikus yang menguasai ilmu-ilmu formal seperti ilmu ḥadīth, tafsir Al-Quran, ilmu fikih (fiqh) dan ilmu kalām. Dia tidak hanya dikenal di kalangan sufi, namun juga intelektual di jamannya seperti Nāshīruddin al-Ṭūsī, yang penemuan matematika dan astronominya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sains yang kita kenal sekarang.
 
Sebagai murid sekaligus anak angkat Ibnu 'Arabî, Qūnawî diberi izin untuk mengajarkan semua karyanya.<ref>{{Cite journal|last=Chittick|first=William C.|date=2004|title=The Central Point - Qūnawî's Role in the School of Ibn 'Arabî|url=http://www.ibnarabisociety.org/articles/centralpoint.html|journal=Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society|volume=35|access-date=20 Jan 2018}}</ref> Dan tidak lama setelah kematian Ibnu 'Arabī, setelah al-Qunawi berziarah ke makam gurunya dan dalam perjalanan pulang ke Konya, dia mengalami sebuah pengalaman mistik yang kemudian dia tuliskan sebagai berikut:<blockquote>Pada suatu hari di musim panas, aku melintasi bentangan luas pegunungan Taurus, dan menyaksikan angin timur berhembus membuat bunga-bunga yang sedang mekar bergoyang-goyang. Saat aku menatapnya dengan penuh kekaguman dan merenungkan kemahakuasaan Allah Ta'ala, cinta dari Dia yang Maha Pengasih menyeruak memenuhi dadaku begitu kuat sehingga saya terenggut dari semua yang terlihat. Kemudian, Syekh Ibnu 'Arabī muncul di hadapanku dalam bentuk yang paling indah, seolah-olah cahaya yang murni, dan berseru kepadaku, "Hai, engkau yang sedang kebingungan, perhatikan aku! Jika Allah yang Maha Agung dan Maha Gaib menyingkapkan diri-Nya yang mulia dan luhur kepadaku dalam manifestasi (tajali) yang hakiki, engkau seketika tidak akan nampak dalam pandanganku". Aku langsung setuju dengan ucapannya. Dan Syekh al-Akbar [yakni, Ibnu Arabī], yang seolah nyata berada di depan mataku, menyapaku dan memelukku dengan penuh kasih sayang, seraya mengatakan: "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang tabirnya telah diangkat dan yang membawa mereka yang terkasih satu sama lain ke dalam sebuah pertemuan. Tidak ada maksud, upaya, atau hasil yang dapat dicegah".<ref>{{Cite book|last=b. Ismā'īl al-Nabhānī|first=Yūsuf|title=Jāmi' karamāt al-awliyā'|location=Beirut|publisher=Dār al-Fikr|editor-last='Aṭwah'awḍ|editor-first=Ibrāhīm|volume=1|publication-date=1992|page=222}}</ref></blockquote>Pengalaman ini bukan hanya menunjukkan apa yang dia lihat sebagai tujuan praktis dari nalar, yang sifatnya sangat terbatas di alam inderawi; tetapi juga mencerminkan pandangannya tentang ajaran Akbarian. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qunawi berhasil menerjemahkan gagasan-gagasan Ibnu Arabi dalam bahasa yang lebih filosofis dan dipahami dunia akademis. Dan menurut Claude Addas, al-Qunawi pula yang pertama kali mempopulerkan dan memperkenalkan gagasan filosofis tentang ''waḥdatul wujūd''.<ref name=":0" />
 
<small>Pada suatu hari di musim panas, aku melintasi bentangan luas pegunungan Taurus, dan menyaksikan angin timur berhembus membuat bunga-bunga yang sedang mekar bergoyang-goyang. Saat aku menatapnya dengan penuh kekaguman dan merenungkan kemahakuasaan Allah Ta'ala,</small> <small>cinta dari Dia yang Maha Pengasih menyeruak memenuhi dadaku begitu kuat sehingga saya terenggut dari semua yang terlihat.</small> <small>Kemudian, Syekh Ibnu 'Arabī muncul di hadapanku dalam bentuk yang paling indah, seolah-olah cahaya yang murni, dan berseru kepadaku, "Hai, engkau yang sedang kebingungan, perhatikan aku!</small> <small>Jika Allah yang Maha Agung dan Maha Gaib menyingkapkan diri-Nya yang mulia dan luhur kepadaku dalam manifestasi (tajali) yang hakiki, engkau seketika tidak akan nampak dalam pandanganku".</small> Aku <small>langsung setuju dengan ucapannya. Dan Syekh al-Akbar [yakni, Ibnu Arabī], yang seolah nyata berada di depan mataku, menyapaku dan memelukku dengan penuh kasih sayang, seraya mengatakan: "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang tabirnya telah diangkat dan yang membawa mereka yang terkasih satu sama lain ke dalam sebuah pertemuan.</small> <small>Tidak ada maksud, upaya, atau hasil yang dapat dicegah".</small> <ref>{{Cite book|last=b. Ismā'īl al-Nabhānī|first=Yūsuf|title=Jāmi' karamāt al-awliyā'|location=Beirut|publisher=Dār al-Fikr|editor-last='Aṭwah'awḍ|editor-first=Ibrāhīm|volume=1|publication-date=1992|page=222}}</ref>
 
Pengalaman ini bukan hanya menunjukkan apa yang dia lihat sebagai tujuan praktis dari nalar, yang sifatnya sangat terbatas di alam inderawi; tetapi juga mencerminkan pandangannya tentang ajaran Akbarian. Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qunawi berhasil menerjemahkan gagasan-gagasan Ibnu Arabi dalam bahasa yang lebih filosofis dan dipahami dunia akademis. Dan menurut Claude Addas, al-Qunawi pula yang pertama kali mempopulerkan dan memperkenalkan gagasan filosofis tentang ''waḥdatul wujūd''.<ref name=":0" />
 
== Ihwal Epistemologi ==