Jainisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 38:
 
Aliran penolak dunia kedua yang kelak menjadi sebuah tradisi keaagamaan besar didirikan oleh Siddatta Gautama, rekan sezaman Mahavira tetapi lebih muda, yang kemudian dikenal sebagai Buddha, atau “Yang Tercerahkan”. Menurut perkiraan para pakar modern, dia wafat pada sekitar 400 SM. Mahavira dan Gautama memiliki banyak kesamaan. Keduanya berasal dari kasta Ksatria (Gautama berasal dari sebuah keluarga aristocrat di republic Sakka); keduanya memercayai doktrin ''karma'' dan kelahiran kembali’ dan keduanya mencapai pencerahan tanpa bimbingan guru, hanya mengandalkan upaya pribadi mereka tanpa bantuan siapa pun. Mereka berdua tidak percaya Weda berasal dari wahyu ilahi dan keduanya mengaku mengajarkan kebenaran kuno yang disadari “para orang pandai” masa lalu: telah ada banyak Buddha sebelum Gautama, dan dia maupun Mahavira menekankan bahwa siapa pun bisa mencapai tingkatan tinggi ini jika menjalankan latihan-latihan yang benar. Untuk itu, keduanya membentuk komunitas para murid, yang mereka sebut ''gana'' (“pasukan”) atau ''sangha'' (“sidang”); ini adalah istilah-istilah kaum Ksatria untuk persaudaraan-prajurit kaum muda dalam kehidupan tradisional Arya, tetapi keduanya menolak kekerasan dan menekankan pentingnya welas asih kepada semua makhluk.
 
Kitab-kitab suci Buddhis tidak memberi kita narasi berkesinambungan tentang kehidupan Buddha, dan tidak terlalu banyak pula mengisahkan tentang misi pengajarannya selama 45 Tahun. Namun, umat Buddhis masa awal merenungu dalam-dalam berbagai peristiwa terpilih dalam perjalanan hidup Buddha, yang dikisahkan secara detail dalam kitab-kitab suci Pali–keputusannya meninggalkan kehidupan berkeluarga, perjuangan panjangnya mencapai nirwana, pengalamannya mencapai pencerahan, masa-masa dia mengajar, dan wafatnya–karena episode-episode ini memberitahu mereka apa yang harus diperbuat untuk mencapai pencerahan. Imbauan untuk menjalani laku penuh dedikasi ini mentransformasikan sejarah hidup Buddha menjadi sebuah mitos yang tak bermaksud menawarkan biografi akurat Gautama, tetapi lebih merupakan upaya mengungkapkan sebuah kebenaran abadi. Nirwana bukan tujuan mustahil; hal itu ada dalam fitrah manusia dan bisa dipakai oleh siapa pun yang mengikuti teladan Buddha. Seperti mitos mana pun, maknanya tetap samar jika tidak diterapkan setiap saat, setiap hari.
 
Jika umat Jaina hanya menaruh sedikit minat pada teknik-teknik meditative yang rumit, Buddha mencapai nirwana melalui sebuah yoga khusus. Kitab-kitab suci memberi tahu kita bahwa setelah meninggalkan rumah, dia menjalani latihan di bawah bimbingan sejumlah yogi (pelaku yoga) yang paling mumpuni saat itu. Pada masa itu, yoga telah menjadi ilmu yang disusun secara cermat, yang memungkinkan yogi menggembleng dirinya sendiri untuk memasuki kondisi transenden, dengan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari perilaku alamiah manusia. Ketika berlatih ''asana,'' yogi mencegah dirinya bergerak: sementara tubuh kita secara alamiah selalu bergerak–bahkan dalam tidur pun tubuh kita tidak pernah sepenuhnya diam–sehingga Ketika yogi duduk tanpa gerak dalam posisi yang benar selama berjam-jam, dia tampak lebih mirip tumbuhan atau patung ketimbang manusia. Ketika berlatih ''pranayama,'' dia mencegah fungsi-fungsi badan kita yang paling naluriah dengan cara mengatur nafasnya secara radikal. Yogi kemudian menemukan bahwa disiplin jasmani ini mmebangkitkan perasaan kebesaran, keluasan, dan ketenangan yang agung. Dia pun siap melakukan ''ekagrata,'' konsentrasi “pada satu titik”. Pikiran kita selalu berubah-ubah, sarat dengan berbagai gagasan serta emosi yang bergejolak tanpa henti memenuhi kesadaran kita. Oleh karena itu, yogi berlatih untuk memusatkan perhatian pada satu objek dengan inteleknya semata, indra-indranya berhenti beraktivitas, dengan gigih dia mencegah timbulnya emosi atau asosiasi apa pun. Sampai pada akhirnya dia memasuki kondisi ''trance'' (''jhana''), yang di dalamnya dia akan menemukan bahwa dirinya tak terpengaruh oleh hasrat, kenikmatan, atau kepedihan. Pada tahap-tahap berikutnya, dia akan mengalami rasa ketakberbatasan dan persepsi kekosongan yang secara pardoks secara penuh. Para yogi yang amat berbakat dapat memasuki serangkaian “keadaan meditatif” (''ayatana'') yang demikian intens sehingga mereka merasa memasuki tanah dewata, karena keadaan ini tak serupa denga napa pun dalam kehidupan sehari-hari, mereka sesungguhnya mengalami kesadaran murni yang hanya menyadari dirinya sendiri.
 
== Kitab suci ==