Jainisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Rachmat04 memindahkan halaman Jain ke Jainisme dengan menimpa pengalihan lama
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 8:
 
Dewasa ini ada lebih dari 8 juta pengikut agama ini. Mereka terutama ditemukan di [[India]]. Secara sosial, biasanya para penganut Jainisme termasuk golongan menengah ke atas. Agama Jaina itu mewariskan bangunan-bangunan kuil yang amat terkenal keindahan arsitekturnya di India dan senantiasa dikunjungi wisatawan.
 
== Asal-usul ==
Istilah Jaina yang paling dekat dengan “kitab suci” adalah ''agama'', “kedatangan” seperangkat doktrin melalui transmisi oleh paraguru otoritatif danbersilsilah jelas, yaitu orang-orang “tercerahkan” yang telah menemukan kebenaran ''ahimsa. Agama'' disimpulkan dalam sebuah pernyataan yang sering dikutip: “Sang Manusia yang Layak menurutkan makna, kemudian para murid menyusun ''sutta'' (teks suci), dan kemudian teks suci berlanjut demi kebaikan doktrin”. Inilah yang membuat makna sebuah teks terpisah dari kata-katanya. Terlebih lagi, ''sutta'' bermakna “indikasi” – sesuatu yang hanya mengisyaratkan atau menunjukkan kepada makna yang secara utuh hanya diterangkan oleh seorang guru yang mumpuni.
 
Melalui hal itulah, dapat disaksikan bahwa proses tiga lapis ini terjadi pula dalam kisah Mahavira. Setelah pencerahanya, diriwayatkan bahwa ia berkhotbah di kuil roh pohon di hadapan raja dan ratu Champa, serta sekerumunan besar asketik, dewa, orang awam, dan binatang. Para murid Mahavira yang menyimak khotbah tersebut kemudian menyampaikan pesannya secara lisan, sehingga menjadi sebuah ''sutta''. Namun, ini hanya merupakan “indikasi” kata-kata Mahavira. Ia menuturkan kebenaran yang abadi dan tetap, yang seperti alam semesta itu sendiri, tak berawal dan telah disampaikan pula oleh para “manusia tercerahkan” pada era-era sebelumnya. ''Sutta'' tidak merekam kata-kata Mahavira sendiri, tetapi sebuah komentar semata terhadap pesannya.
 
== Konsep pemahaman ==
Menurut Karen Armstrong, Jainisme memang sering dianggap ateistik. Ajaran ini tidak memiliki konsep seperti Tuhan versi Barat modern yang menganut kosmos; bagi Mahavira, ''deva'' adalah suatu makhluk yang mencapai keilahian dengan jalan menghormati esensi suci setiap makhluk lebih jauh, Mahavira percaya bahwa siapa pun yang mengikuti tuntunannya secara otomatis akan menyucikan kemanusiaannya dan menjadi “pahlawan agung”.
 
Belakangan, pengikut Jaina mengembangkan sebuah kosmologi pelik yang memandang ''karma'' sebagai materi halus, semacam debu, yang membebani roh. Mereka kemudian memandang bahwa Mahavira sebagai sekadar seorang tokoh dalam sederetan panjang ''tirthankara'' (penyelamat atau guru spiritual) yang telah berhasil menyebeerangi sungai ''dukkha'' dan mengajarkan ''ahimsa''. Namun, teks-teks Jain paling awal tidak menunjukkan adanya doktrin-doktrin ini, meskipun memandang ada penyebutan mengenai “orang-orang pandai” yang menyerukan ''ahimsa'' pada masa lampau. Tampaknya bagi Mahavira, jalan menuju pencerahan adalah ''ahimsa tout court'' (semata).
 
Umat Jaina percaya bahwa mansia ditentukan bukan oleh kelas sosial berdasarkan Weda, melainkan oleh perbuatan mereka. Mereka tidak tertarik sedikit pun kepada Weda dan tidak menganggap kitab-kitab itu diilhami wahyu ilahi. Mereka mengecam ritualisme teks-teks Brahmana sebagai “ilmu kekejaman” – teks-teks dan mantra-mantra itu tidak bisa menetralisasi kekejaman pengorbanan ternak tak berdaya.
 
Mereka mengembangkan ritual tersendiri, yang jauh lebih penting daripada kitab suci. Hal ini dikarenakan ritual-ritual itu memungkinkan mereka mendapatkan kesadaran bahwa segala sesuatu di sekeliling mereka – bahkan benda-benda yang tampaknya tidak hidup memiliki ''jiva'' yang dapat merasakan penderitaan. Oleh karenanya, umat Jaina selalu berjalan dengan sangat hati-hati supaya tidak dengan ceroboh menginjak seekor serangga; mereka melatakkan barang dengan lembut dan tidak pernah bergerak dalam gelap untuk mencegah diri mereka secara tidak sengaja melindas sesama makhluk.
 
Seperti halnya semua penolak dunia, umat Jaina melaksanakan empat sumpah yang melarang pembunuhan, dusta, mencuri, dan hubungan kelamin. Namun, menambahkan unsur-unsur yang menumbuhkan kebiasaan empati. Seorang Jaina bukan hanya harus menahan diri dari berdusta, penganut laki-laki atau perempuan (Jaina mengizinkan perempuan menjadi anggota ''sangha'' mereka) harus tidak pernah berbicara kasar atau gusar. Tidak cukup hanya menahan diri tidak mencuri, seorang Jain juga dilarang memiliki apa pun karena setiap benda atau makhluk memiliki ''jiva'' yang berdaulat dan merdeka.
 
Lebih lanjut, umat Jaina lebih memilih mengembangkan bentuk meditasi mereka sendiri daripada menghabiskan waktu berlatih yoga, yaitu berdiri tidak bergerak dalam postur ''tithankara,'' tangan tergantung lurus di sisi badan mereka yang secara sistematis menekan semua pikiran dan dorongan jahat. Pada saat yang sama, mereka melakukan upaya sadar untuk mengisi pikiran dengan kasih dan kebaikan kepada semua makhluk.
 
Umat Jaina yang telah berpengalaman akan berupaya mencapai kondisi yang mereka sebut sebagai ''samakiya'' (ketenangan), yang di dalamnya mereka ''tahu'' bahwa semua benda, binatang, dan manusia berstatus setara pada semua level keberadaan mereka. Mereka juga menyadari tanggung jawab mereka kepada sembarang makhluk, serendah atau semenjijikkan apa pun itu.
 
Ritual Jaina begitu berat, sehingga hanya ada sedikit waktu untuk mengkaji kitab suci. Umat Jaina tidak mengalami yang ilahi dalam teks-teks suci mereka, tetapi dengan menumbuhkan kesadaran tentang kesucian segala sesuatu. Selama berabad-abad kemudian, mereka mengembangkan sikap ambivalen terhadap kitab suci. Mereka sepakat bahwa kitab suci mungkin dapat membantu orang yang belum tercerahkan, dengan cara membuat mereka menyadari pentingnya ''ahimsa''. Namun, ketika seseorang berkomitmen menempuh jalan Jaina, kitab suci tidak lagi berperan penting.
 
Kebanyakan penganut Jaina tidak terlalu berminat membaca kitab suci mereka, bahkan kitab suci bisa berbahaya bagi orang yang belum menjalani inisiasi. Sampai sekarang, sejumlah sekte Jaina tidak memperbolehkan orang awam membaca kitab-kitab suci mereka, bahkan para biarawati Jaina hanya boleh membaca kumpulan kutipan yang diseleksi secara ketat. Ada kekhawatiran mereka bahwa tiap orang akan merasa telah menguasai pesan Jaina hanya dengan memahaminya secara intelektual.
 
== Kitab suci ==