Suku Tengger: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Thijs!bot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: ru:Тенгеры
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 23:
[[jv:Tengger]]
[[ru:Тенгеры]]
 
 
 
== Pluralisme Suku Tengger Ngadas ==
Keelokan Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, bukan saja pada panorama alamnya, tapi juga keanegaragaman adat istiadat dan budaya di dalamnya. Desa yang dihuni Suku Tengger itu mampu mempertahankan budaya di tengah derasnya arus globalisasi.
 
Desa Ngadas yang terletak di lereng Gunung Semeru tidak ubahnya seperti desa lainnya di wilayah kabupaten. Yang membedakan adalah kebudayaan Suku Tengger yang tetap terjaga kuat di desa ini. Padahal masyarakatnya sangat plural dari sisi keyakinan. Sebab, di desa ini sekitar 1.820 warganya menganut agama yang beragam. Ada yang beragama Islam, Buddha, dan Hindu.
 
Namun, keyakinan berbeda itu tak menyurutkan masyarakatnya mempertahankan adat Suku Tengger. Tak hanya orang dewasa, tapi juga ditanamkan sejak dini pada anak-anak. Dengan kuatnya menjaga ada istiadat itu, Desa Ngadas diakui menjadi Desa Tengger. Yakni desa yang didiami oleh Suku Tengger asli yang sangat kuat mempertahankan dan menjalankan budaya dan adapt istiadat Tengger.
 
Di Jawa Timur, ada 37 Desa Tengger. Di wilayah Kabupaten Malang hanya ada satu. Yakni Desa Ngadas. Sebelumnya, di wilayah kabupaten ada tiga Desa Tengger. Yakni Desa Gubuk Klakah (Poncokusumo), Desa Tosari (Tumpang), dan Desa Ngadas sendiri.
 
Namun sekarang Desa Tosari dan Desa Gubuk Klakah sudah tergerus zaman sehingga hanya sebagian kecil saja masyarakatnya yang mempertahankan tradisi Tengger. Karena itu, keduanya tidak lagi masuk dalam golongan Desa Tengger.
 
"Saat ini yang masih kuat mempertahankan tradisi Suku Tengger ya di Desa Ngadas itu, makanya kini menjadi satu-satunya Desa Tengger di Kabupaten Malang,'' jelas Dwi Ilham, Camat Poncokusumo saat ditemui Radar.
 
Tidak masuknya Desa Tosari dan Desa Gubuk Klakah di jajaran Desa Tengger tidak lepas pergeseran nilai budaya pada masyarakatnya. Maklum saja, letak geografis di dua desa itu sudah berada di bawah Desa Ngadas. Sehingga transformasi dan akulturasi budaya lebih cepat karena akses jalan ke perkotaan lebih enak.
 
Kondisi itu berbeda dengan Desa Ngadas. Lokasinya di ujung timur kabupaten yang terpisah dengan desa lain membuat desa ini sangat orisinil dalam manjalankan ada dan budaya Tengger. Baik adat desa maupun spiritualitas. Mereka tetap memegang teguh budaya yang diwariskan nenek moyangnya.
 
Itu misalnya ditunjukkan dengan menghormati para leluhur yang babat alas (buka lahan) menghidupi keluarganya. Mereka tetap meyakini leluhur akan menciptakan kedamaian di desa.
 
Karena itu, di makam Mbah Sadek - orang yang diyakini sebagai pembabat alas pertama Desa Ngadas yang meninggal tahun 1831 - hingga kini masih tetap terjaga. Bahkan di makam yang disakralkan masyarakat tersebut sering digunakan berbagai upacara adat. Terutama saat melakukan ritual bersih desa.
 
Begitu juga roda pemerintahan. Kepala desa lebih mudah mengatur sistem pemerintahannya. Mengingat dengan kondisi masyarakat yang mudah diatur, roda pemerintahan desa bisa berjalan sesuai dengan kesepakatan bersama.
 
Walau masyarakatnya tidak tahu politik, warga Ngadas sebenarnya sudah sejak dulu sadar berpolitik. Misalnya, masalah pemilihan kepala desa. Calon kepala desa diajukan oleh masyarakat. Mereka yang ditunjuk harus siap lahir batin. Pengajuan para calonnya pun melalui rapat adat.
 
Setelah diajukan dan memenuhi persyaratan pencalonan, masyarakatlah yang akan mengumpulkan dana untuk pesta demokrasi tersebut. Sedangkan para calon tidak boleh mengeluarkan sedikit pun. Begitu juga saat terpilih, calon yang kalah harus bijaksana ikut mengantar atau mengarak kades terpilih ke balai desa.
 
Walau tidak mengeluarkan uang satu sen pun, tugas kades di desa tidaklah mudah. Selain menjalankan pemerintahan desa, dia juga menjadi pelayan masyarakat yang baik. Misalnya, saat orang akan melahirkan. Dia harus siap kapan pun mengantar. Selain itu kades juga dituntut memberikan keputusan yang tepat saat mengambil sebuah kebijakan. "Warga memang tidak paham politik. Tetapi sejak dahulu sudah sadar berpolitik," ungkap Kades Ngadas Kartono pada Radar.
 
Dengan memiliki kesadaran berpolitik secara alami, kondisi desa tetap aman. Tidak ada yang mempermasalahkan siapa yang menjadi pimpinan desa. Masyarakat tetap menerima dan menghormati hasil pemilihan yang telah dilakukan.
 
Selain bertugas menjalankan pemerintahan, kades juga diminta menjaga adat istiadat desa. Salah satunya menjaga tanah desa tetap utuh dimiliki warga desa sendiri. Warga dari desa tetangga atau luar desa dilarang membeli tanah di kawasan Desa ngadas. Karena itu tanah di desa tersebut tetap utuh dikelola masyarakat sendiri. Itu juga menjadi salah satu faktor mengapa kebudayaan di Ngadas tetap terjaga.
 
Hingga sekarang, tanah pertanian yang ada semuanya dikelola masyarakat. Tidak satu pun penduduk luar desa yang mengelola. Walau diberi harga yang sangat tinggi, aturan adat, masyarakat tidak boleh menjualnya. Hanya boleh pada masyarakat yang ada di desa.
 
Sedangkan hasil pertanian maupun peternakan dijual kepada pengepul. Kebanyakan para pengepul sayuran dating langsung ke desa tersebut. Mereka langsung membeli tanaman dari petani. Harganya pun mengikuti pasar. Tergantung musim panen pada saat itu.
 
Para petani menggunakan pupuk organik. Pupuk tersebut didapat dari kotoran atau sisa makanan hewan ternak yang mereka pelihara di ladang. Karena pupuk dari kotoran hewan itulah tanaman di Desa Ngadas tumbuh subur. Dan resep tersbut sudah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang warga sekitar.