Biogas: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
(Tidak ada perbedaan)

Revisi per 30 Maret 2006 01.08


BILA kita menengok pasar-pasar tradisional di Indonesia sangat menjijikkan. Bau sampah yang sebagian besar sisa-sisa kotoran sayur-mayur menumpuk begitu saja di pojok-pojok pasar. Namun, siapa sangka dari sanalah muncul ide cemerlang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka menemukan sumber energi baru berbahan baku sampah dari pasar-pasar tradisional tersebut.

Hal itu sebagaimana ditujukkan dalam hasil karya Workshop Himatek Departemen Teknik Kimia ITB dan Pusat Penelitian Energi ITB (PPE) yang ikut pameran di Gen-E Entreprenuership Expo 2002 minggu lalu di Bandung.

Kedua karya mahasiswa ITB itu bisa menjadi solusi mengurangi beban masyarakat, sebagai sumber energi alternatif, karena harga bahan bakar minyak (BBM) terus naik. Selain itu, karya mereka juga bisa menyelamatkan lingkungan.

Selama ini sudah wajar bila orang tidak betah berlama-lama berada di lingkungan pasar tradisional. Pasalnya, sampah menggunung dengan bau yang sangat menusuk hidung, merupakan pemandangan yang tidak terpisahkan dari lingkungan pasar tradisional. Tumpukan sampah busuk itu pun telah mengundang dan membuat lalat-lalat betah di sana.

Tumpukan sampah menggunung tersebut sangat menjijikkan. Selain itu, sampah tersebut berperan mencemari lingkungan sekitarnya. Yang jelas sampah-sampah yang lembab, busuk, dan sarang lalat akan turut berperan menebarkan berbagai penyakit di sekitarnya.

Namun tampaknya di mata para mahasiswa ini, tumpukan sampah yang menjijikkan itu bisa diubah menjadi hal yang sangat bermanfaat. Sisa sayuran, buah busuk, kulit buah-buahan, dan dedaunan sekilas adalah onggokkan yang harus dijauhi. Tetapi, justru didekati oleh para mahasiswa, bahkan mereka mengaduk-aduknya agar bisa menjadi barang bermanfaat.

Riesta, mahasiswi ITB, menjelaskan tentang pemanfaatan sampah-sampah organik itu. Caranya, jelas dia, mudah, sederhana, dan murah, yaitu dengan menyediakan tangki tertutup atau tempat dari plastik yang bisa menyimpan sampah-sampah itu.

"Bisa menggunakan plastik sebagai pengganti tangki. Tetapi, biasanya yang bagus menggunakan plastik polyotilen. Kalau tak ada, bisa juga menggunakan galon air mineral," jelas Riesta.

Tangki atau plastik itu digunakan untuk menampung sampah-sampah organik (sampah yang mudah hancur). Dalam bahasa ilmiahnya dikenal sebagai bioreaktor. Kemudian bioreaktor itu dilengkapi selang yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk menyalurkan gas yang dihasilkan. Selanjutnya, bagian dari bioreaktor itu diberi lubang untuk membuang limbah sampah yang tidak bisa dikonversi.

Untuk mendapatkan biogas yang diinginkan, bioreaktor (tangki) harus bersifat anaerobik. Menurut Riesta, tangki itu tak boleh ada oksigen dan udara yang masuk sehingga sampah-sampah organik yang dimasukkan ke dalam bioreaktor bisa dikonversi mikroba.

Dalam skala kecil, sampah rumah menghasilkan 1.000 liter sampah atau 300 kg sampah, sudah bisa menghasilkan sekitar 50-60 persen gas CH4, metan, dan sisanya karbon dioksida.

"Dalam satu bulan sudah bisa menghasilkan biogas. Jelas kalau sudah dimanfaatkan untuk kompor gas sudah bisa menghemat bahan bakar yang harganya cukup mahal," katanya.

Sementara sampah dari bioreaktor yang tidak bisa dikonversi dan berupa limbah dapat dimanfaatkan untuk kompos. Limbah kompos itu dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman.

Kotoran kerbau

Hal yang sama dilakukan kelompok mahasiswa yang tergabung dalam PPE ITB. Mereka tak sekadar pamer bagan-bagan bagaimana kerja bioreaktor yang menghasilkan gas metan dan CH4 di Gen-E Entrepreneurship Expo 2003. Mereka membuktikannya di Desa Marga Mulya, Pangalengan, Bandung.

Cara kerjanya, menurut mereka, tidak rumit dan tergolong sederhana. Para mahasiswa itu membuat steam reformer (bioreaktor) hanya dari plastik yang berbentuk silinder berdiameter 50 cm. Materi atau bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan gas metan dan CH4 berasal dari kotoran kerbau, karena memang penduduk Marga Mulya banyak yang memelihara kerbau dan sapi.

Kotoran kerbau sebanyak 100 kg yang ditampung di bioreaktor ternyata dalam waktu tidak kurang enam hari sudah bisa menghasilkan biogas. Biogas itu sudah dapat dimanfaatkan untuk kompor gas yang digunakan untuk berbagai keperluan.

Haris, salah seorang mahasiswa yang terlibat dalam proyek pembuatan biogas itu mengatakan, ternyata biogas dari kotoran kerbau itu bisa menghemat bahan bakar minyak. "Bahkan dari bioreaktor yang kami buat di Desa Marga Mulya, masyarakat setempat bisa menghemat minyak tanah hingga enam liter dalam sehari," jelasnya.

Sementara itu, limbah atau ampasnya dari bioreaktor itu yang tak bisa dikonversi masih tetap bisa dimanfaatkan. Selain untuk pupuk kebutuhan perkebunan, ampasnya bisa menghasilkan cacing tanah Rubellus rumbricus yang bisa menyuburkan tanah.

Sebenarnya dua tahun belakang Rubellus rumbricus sempat menjadi komoditi yang dicari-cari peternak cacing. Cacing Rubellus rumbricus disebut-disebut sebagai bahan untuk pembuatan obat. Sayangnya belakangan tren cacing tanah yang bisa dihasilkan dari ampas bioreaktor yang menghasilkan gasbio lenyap begitu saja Melestarikan alam dengan Biogas Biogas memberikan solusi terhadap masalah penyediaan energi dengan murah dan tidak mencemari lingkungan. Berdasarkan hasil temuan mahasiswa KKN (1995) dan Penelitian Kecamatan Rawan di Magetan (1995) di desa Plangkrongan, rata-rata disetiap rumah terdapat 1-3 ekor lembu karena me- melihara lembu merupakan pekerjaan kedua setelah bertani. Setiap harinya rata-rata seekor lembu menghasilkan kotoran sebanyak 30 kg. Jika terdapat 2.000 ekor lembu, maka setiap hari akan ter- kumpul 60 ton kotoran.

Kotoran yang menggunung akan terbawa oleh air masuk ke dalam tanah atau sungai yang kemudian mencemari air tanah dan air sungai. Kotoran lembu mengandung racun dan bakteri Colly yang mem- bahayakan kesehatan manusia dan lingkungannya.

Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan Karbon dioksida (CO2) yang ikut memberikan kontri- busi bagi efek rumah kaca (green house effect) yang bermuara pada pemanasan global (global war- ming). Biogas memberikan perlawanan terhadap efek rumah kaca melalui 3 cara. Pertama, Biogas memberikan substitusi atau pengganti dari bahan bakar fosil untuk penerangan, kelistrikan, memasak dan pemanasan. Kedua, Methana (CH4) yang dihasilkan secara alami oleh kotoran yang menumpuk merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih besar dibandingkan CO2. Pembakaran Methana pada Biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah Methana di udara. Ketiga, dengan lestarinya hutan, maka akan CO2 yang ada di udara akan diserap oleh hutan yang menghasilkan Oksigen yang melawan efek rumah kaca. Dasar-Dasar Teknologi Biogas Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi kedap udara). Pada umumnya semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik (padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Disamping itu juga sangat mungkin menyatukan saluran pembuangan di kamar mandi atau WC ke dalam sistem Biogas. Di daerah yang banyak industri pemrosesan maka- nan antara lain tahu, tempe, ikan pindang atau brem bisa menyatukan saluran limbahnya ke dalam sistem Biogas, sehingga limbah industri tersebut tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Hal ini memungkinkan karena limbah industri tersebut diatas berasal dari bahan organik yang homogen.

Jenis bahan organik yang diproses sangat mempengaruhi produktifitas sistem biogas disamping pa- rameter-parameter lain seperti temperatur digester, pH, tekanan dan kelembaban udara.

Salah satu cara menentuka bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem Bio- gas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktifitas metabolisme dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20.Si Nyala Biru dari Kotoran ternak Bahan organik dimasukkan ke dalam ruangan tertutup kedap udara (disebut Digester) sehingga bakteri anaerob akan membusukkan bahan organik tersebut yang kemudian menghasilkan gas (disebut Biogas). Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tabung penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya. Komposisi gas yang terdapat di dalam Biogas dapat dilihat pada tabel berikut:

Jenis Gas Volume (%) Methana (CH4)

40 - 70 Karbondioksida (CO2)

30 - 60 Hidrogen (H2)

0 - 1 Hidrogen Sulfida (H2S)

0 - 3

Nilai kalori dari 1 meter kubik Biogas sekitar 6.000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel. Oleh karena itu Biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan pengganti minyak tanah, LPG, butana, batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal dari fosil.

Biogas dapat dipergunakan dengan cara yang sama seperti gas-gas mudah terbakar yang lain. Pembakaran biogas dilakukan dengan mencampurnya dengan sebagian oksigen (O2). Namun demi- kian, untuk mendapatkan hasil pembakaran yang optimal, perlu dilakukan pra kondisi sebelum Biogas dibakar yaitu melalui proses pemurnian/penyaringan karena Biogas mengandung beberapa gas lain yang tidak menguntungkan. Sebagai salah satu contoh, kandungan gas Hidrogen Sulfida yang tinggiyang terdapat dalam Biogas jika dicampur dengan Oksigen dengan perbandingan 1:20, maka akan menghasilkan gas yang sangat mudah meledak. Tetapi sejauh ini belum pernah dilapor- kan terjadinya ledakan pada sistem Biogas sederhana. Pupuk dari limbah biogas Limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahkan, unsur-unsur tertentu seperti protein, selulose, lignin, dan lain-lain tidak bisa digantikan oleh pupuk kimia. Pupuk organik dari bio- gas telah dicobakan pada tanaman jagung, bawang merah dan padi. Keuntungan Ekonomis dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Keluarga-keluarga yang menggunakan Biogas sudah tidak membutuhkan pembelian bahan bakar karena sudah bisa terpenuhi kebutuhannya dari kotoran ternak yang dipeliharanya. Bagi mereka yang bisanya mencari/memotong kayu bakar di hutan kini waktunya bisa dipergunakan untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah ekonomis, dengan pekerjaan sambilan yang lain.

Kotoran ternak menjadi sangat berharga, oleh karena itu mereka akan rajin merawat ternaknya sehingga kondisi kandang menjadi bersih dan kesehatan ternak menjadi lebih baik, pada akhirnya membawa keuntungan dengan penjualan ternak yang lebih cepat dan berharga lebih tinggi. Keluarga petani yang biasanya menggunakan pupuk kimia untuk menanam, kini bisa menghemat biaya pro- produksi pertaniannya karena sudah tersedia pupuk organik dalam jumlah yang memadai dan kuali- tas pupuk yang lebih baik.

Aspek Sosio-Kultural penerapan teknologi biogas. Menerapkan teknologi baru kepada masyarakat desa merupakan suatu tantangan tersendiri akibat rendahnya latar belakang pendidikan, pengeta- huan dan wawasan yang mereka miliki. Terlebih lagi pada penerapan teknologi biogas. Tidak pernah terbayangkan bahwa kotoran lembu bisa menghasilkan api. Selain itu juga mereka merasa jijik terhadap makanan yang dimasak menggunakan Biogas. Di desa Plangkrongan, perlu waktu 2 tahun hanya untuk membangun sebuah unit Biogas percontohan. Metode yang dipergunakan untuk men- sosialisasikan Biogas adalah dengan memilih sebuah keluarga sebagai Khalayak Sasaran Antara (KSA) yang diharapkan menjadi pelopor dan bisa mengembangkan Biogas itu kepada Masyarakat sebagai Khalayak Sasarannya.