Kebebasan beragama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Empat Tilda (bicara | kontrib)
membuat sub judul sejarah dan referensi
Tag: VisualEditor pranala ke halaman disambiguasi
Empat Tilda (bicara | kontrib)
Menambah sub bab perdebatan beserta referensinya
Baris 8:
Pada tahun 313 kekaisaran [[Romawi Kuno|Romawi]] menyatakan bersikap netral pada agama apapun. Hal ini berarti akan menghapus hambatan dan mentoleransi pada praktek keagamaan kekristenan. Sebagai awal pada 311 [[Galerius]] pertama kali mengeluarkan dekrit toleransi beragama yang menjadi gerbang awal sikap netral kepada agama kristen. Kejadian ini telah dikenal sebagai gerbang masuk kekristenan di Romawi dan dikenal sebagai [[Edict of Milan|Edict of Milan (313)]].<ref>{{Cite journal|last=Adams|first=J.N.|date=1989|title=Five Notes on Lactantius, De Mortibus Persecutorum|url=http://dx.doi.org/10.1017/s0066477400003713|journal=Antichthon|volume=23|pages=92–98|doi=10.1017/s0066477400003713|issn=0066-4774}}</ref>
 
Pada abad 17 dengan menguatnya solidaritas kebangsaan maka semakin menguat pula solidaritas kenegaraan, peran agama sebagai entitas politik yang berkuasa semakin berkurang.<ref name=":0" />Pemikiran kekuasaan absolut dari kekuasaan sekuler dimulai dari [[Thomas Hobbes]] (1588-1679), Pemikiran tersebut terpengaruh oleh [[Perang Sipil Inggris]] saat [[Raja Charles I]] yang didukung oleh [[katolik]] melawan pemberontak [[Oliver Cromwell]] yang didukung penganut [[Protestanisme|protestan]]. Kemudian pemahaman tersebut dikembangkan lagi oleh [[John Locke]] sebagai konsep liberalisme dalam buku ''Latter Concerning Toleration'' (1689) ia mengusulkan konsep toleransi antar agama dan memisahkan antara agama dan negara. Setelah [[Perang Dunia II|perang dunia kedua]] konsep tersebut tumbuh subur dan berkembang sebagai konsep humanis sekular di negara [[eropa]]. Pada tahun 1960, negara-negara eropa mulai memisahkan hukum gereja dan hukum sipil. Contohnya hukum perzinahan kini tidak lagi menjadi kejahatan sipil, dan juga banyak perilaku yang tidak termasuk jangkauan gereja.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Fatmawati|first=Author|date=2011|title=Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia|url=https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/download/179/176|journal=jurnal konstitusi|volume=8|issue=4|doi=1031078}}</ref>
 
Di [[Indonesia]] kebebasan beragama sudah digagas semenjak perumusan dasar negara, awalnya saat perumusan [[Piagam Jakarta]] 22 Juni 1945 ada kalimat, "ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Lantas pada pengambilan intisari dasar kebangsaan pada rapat [[Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan|BPUPKI]] [[Mohammad Hatta]] mengusulkan perubahan "ketuhanan yang maha esa", hal ini disetujui dan menjadikannya sebagai pembukaan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|UUD]] sekaligus tersematkan dalam pasal pertama [[Pancasila]].<ref>{{Cite web|last=Anom Wiranata|first=I Made|title=Bung Hatta dalam Merevisi Sila “Ketuhanan... - UNUD {{!}} Universitas Udayana|url=https://www.unud.ac.id/en/berita2052-Bung-Hatta-dalam-Merevisi-Sila-Ketuhanan-dengan-kewajiban-menjalankan-syariat-Islam-bagi-pemeluk-pemeluknya-.html?lang=in|website=www.unud.ac.id|access-date=2021-11-19}}</ref> Dasar hukum ini menjadi penting, karena dapat menjadikan dasar negara dalam menentukan arah kebijakan dan aturan. Dari dasar hukum ini lahirlah UU PNPS No.1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dapat membantu dalam penanganan kebebasan beragama, karena hanya memberlakukan pembatasan dalam pelaksanaan ajaran bukan dalam berkeyakinan, dan pembatasan tersebut hanya sebatas untuk melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat.<ref name=":1" /> Berdasarkan hal itu maka pembatasan kebebasan beragama hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan hukum saja, sehingga batasannya dapat dikatakan jelas antara agama satu dan lainnya.<ref>{{Cite web|date=2020-09-30|title=Perlindungan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia|url=https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/9/30/1577/perlindungan-hak-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan-di-indonesia.html|website=www.komnasham.go.id|language=id|access-date=2021-11-19}}</ref>
 
== Perdebatan ==
 
=== Teistik, non-teistik dan ateis ===
Pada tahun 1993, komite hak asasi manusia PBB menyatakan bahwa pasal 18 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik "melindungi kepercayaan teistik, non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun."<ref>{{Cite web|last=Refugees|first=United Nations High Commissioner for|title=Refworld {{!}} CCPR General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of Thought, Conscience or Religion)|url=https://www.refworld.org/docid/453883fb22.html|website=Refworld|language=en|access-date=2021-11-19}}</ref>komite lebih lanjut menyatakan bahwa "kebebasan untuk memiliki atau menganut suatu agama atau kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan seseorang dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik." Penandatangan konvensi mengecualikan dari "penggunaan ancaman kekerasan fisik atau sanksi pidana untuk memaksa orang percaya atau tidak percaya" untuk menarik kembali keyakinan mereka atau pindah agama. Meskipun demikian, agama minoritas masih dianiaya di banyak bagian dunia.<ref>{{Cite web|last=Federasi HAM International|date=2003-08-01|title=Discrimination against religious minorities in Iran|url=https://www.fidh.org/IMG/pdf/ir0108a.pdf|website=FDIH.org|access-date=2021-11-19}}</ref>
 
=== Agama dan negara ===
Topik hubungan agama dan negara kerap diusung dalam perdebatan mengenai kebebasan beragama. Di beberapa negara yang mengusung ideologi liberalisme, kerap memisahkan peran negara dan agama. Agama cukup berhenti pada keyakinan yang dianut individu, sementara negara berlaku sebagai institusi yang melindungi setiap individu.<ref name=":1" /> Selain pandangan liberal juga ada pandangan negara dengan satu agama, yang menawarkan pemikiran ada satu agama yang didukung oleh negara. Segala kehidupan individu diatur dengan produk hukum yang dilahirkan oleh satu agama saja, dunia mengenal konsep ini dengan [[teokrasi]].<ref>{{Cite web|title=Arti kata teokrasi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online|url=https://kbbi.web.id/teokrasi|website=kbbi.web.id|access-date=2021-11-19}}</ref> Ada juga yang memilih untuk melakukan jalan tengah, seperti [[Indonesia]] yang mengusung konsep [[Demokrasi Pancasila|negara hukum pancasila]], yang tetap memperbolehkan agama lain masuk tapi juga tetap menghadirkan peran negara dalam mengatur ideologi individu. Dalam konsep ini tidak ada yang mutlak antara agama dan negara, pun juga negara tidak memiliki satu agama pedoman dalam melahirkan produk hukum.<ref>{{Cite book|last=Seno Adji|first=Oemar|date=1980|url=http://worldcat.org/oclc/10924911|title=Peradilan bebas negara hukum|location=Jakarta|publisher=Erlangga|oclc=10924911|url-status=live}}</ref>
 
== Referensi ==