Hak kodrati dan hak ikhtiyari: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rere999 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Rere999 (bicara | kontrib)
k bentuk baku "justifikasi", tambahan referensi
Baris 2:
'''Hak kodrati''' adalah [[hak]] yang dianggap tidak bergantung kepada hukum atau adat istiadat di suatu masyarakat, negara, atau peradaban manapun, serta bersifat umum (melekat pada setiap diri manusia tanpa memandang asal usul mereka) dan mutlak (tidak dapat dicabut ataupun dibatasi oleh hukum manusia). Konsep ini berlawanan dengan '''hak ikhtiyari''', karena hak semacam itu diberikan kepada seseorang oleh suatu [[sistem hukum]], sehingga dapat diubah, dicabut, atau dibatasi oleh hukum manusia.
 
Konsep [[hukum kodrat]] sangat terkait dengan hak kodrati. Hukum kodrat pertama kali muncul dalam tradisi [[filsafat Yunani Kuno]].<ref>Rommen, Heinrich A., ''The Natural Law: A Study in Legal and Social Philosophy'' trans. Thomas R. Hanley, O.S.B., Ph.D. (B. Herder Book Co., 1947 [reprinted 1959] ), hlm. 5</ref> Pada [[Abad Pencerahan]], konsep hukum kodrat dicetuskan untuk menentang [[hak ilahi]] raja-raja, dan juga menjadi justifikasi untuk membentuk [[kontrak sosial]], [[hukum positif]], dan [[pemerintahan]], walaupun ada juga yang memakai konsep ini untuk menentang hal-hal tersebut.<ref>{{Cite web|title=Natural Rights {{!}} History of Western Civilization II|url=https://courses.lumenlearning.com/suny-hccc-worldhistory2/chapter/natural-rights/|website=courses.lumenlearning.com|access-date=2021-11-02}}</ref>
 
Gagasan [[hak asasi manusia]] juga sangat berhubungan dengan konsep hak kodrati. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia]] tahun 1948 dianggap menuangkan konsep hak kodrati ke dalam suatu instrumen yang tergolong sebagai ''[[soft law]]'' dalam [[hukum internasional]]. Namun, terdapat pula pandangan bahwa hak asasi manusia itu pada dasarnya bersifat fungsional, atau dalam kata lain semua manusia dari berbagai latar belakang memiliki kebutuhan perlindungan dari penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah, sehingga mereka pun mengakui keberadaan hak-hak asasi untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan tersebut.<ref>{{cite book|authorlink=Eva Brems|last=Brems|first=Eva|title=Human Rights: Universality and Diversity|url=https://books.google.at/books?id=INlkqsHpIFEC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false|year=2001|publisher=Martinus Nijhoff|location=[[Den Haag]]|isbn=9789041116185|page=10}}</ref>