Hamka: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tri Ardiansyah (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Baris 31:
}}
 
'''[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|DR.]] [[Haji (gelar)|H.]] Abdul Malik Karim Amrullah''' gelar '''Datuk Indomo''', populer dengan [[nama pena]]nya '''Hamka''', atau terkadang '''M.K. Amrullah''' ({{lang-ar|عبد الملك كريم أمر الله}}; {{lahirmati|[[Kabupaten Agam|Agam]]|17|2|1908|[[Jakarta]]|24|7|1981}}) adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik melalui [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat [[Majelis Ulama Indonesia|Ketua Majelis Ulama Indonesia]] (MUI) pertama, dan aktif dalam [[Muhammadiyah]] hingga akhir hayatnya. [[Universitas al-Azhar]] dan [[Universitas Nasional Malaysia]] menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara [[Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)|Universitas Moestopo, Jakarta]] mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk [[Universitas Hamka]] milik Muhammadiyah dan masuk dalam [[daftar Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], menempuh perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke [[Mekkah]]. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.