Jalaluddin Rumi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
[[Berkas:Mevlana Statue, Buca.jpg|jmpl|ka|Rumi]]
 
'''Jalāl ad-Dīn Mohammad Rūmī''' ({{lang-fa|جلال‌الدین محمد رومی}}), also known as '''Jalāl ad-Dīn Mohammad Balkhī''' ({{lang|fa|جلال‌الدین محمد بلخى}}) atau sering pula disebut dengan nama '''Rumi''' (30 September 1207 – 17 December 1273), adalah seorang [[sufi|penyair sufi]] Persia, teolog Maturid, sekaligus ulama yang lahir di [[Balkh]] (sekarang [[Samarkand]]), padaPersia tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 [[Hijriah]] atau tanggal [[30 September]] [[1207]] [[Masehi]]Raya.

Ayahnya yang masih merupakan keturunan [[Abu Bakar]] bernama Bahauddin Walad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi merupakan seorang cendekia yang saleh, berpandangan ke depan, dan seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia tiga tahun, karena terancam oleh serbuan Mogol, keluarganya meninggalkan Balkh melalui Khurasan dan Suriah, sampai ke Provinsi Rum di Anatolia tengah, yang merupakan bagian Turki sekarang. Mereka menetap di Qonya, ibu kota provinsi Rum. Dalam pengembaraan dan pengungsiannya tersebut, keluarganya sempat singgah di kota Nishapur yang merupakan tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota inilah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah ketuhanan.
 
Hari itu, sebagaimana biasanya, Jalaluddin Rumi tengah mengajar para muridnya dalam sebuah perkuliahan. Tiba-tiba seseorang yang sebelumnya belum dikenal secara lebih dekat oleh Rumi masuk ruang perkuliahan tersebut. Orang asing itu pun menunjuk sebuah tumpukan buku sembari bertanya dengan nada berantakan, "Apa ini?" Rumi menjawab dengan nada jengkel, "Kau tidak akan mengerti." Mendapat jawaban yang demikian dari Rumi, orang itu lantas membawa buku-buku tersebut untuk dibakar. Maka, tersulutlah api yang membakar buku-buku tersebut, Rumi ganti bertanya, "Apa ini?" Orang asing itu menjawab, "Kau tidak akan mengerti." Saat itu, Rumi terhentak dalam kebingungan. Dia merasa bodoh, hingga pada akhirnya ia menjadi murid dari orang asing yang membakar buku-buku itu. Orang asing tersebut adalah Syamsuddin Al-Tabrizi, atau dikenal sebagai Syams Tabrizi. Dialah guru yang membimbing Rumi untuk meninggalkan segalanya. Sejak pertemuannya dengan Syams Tabrizi, Rumi berubah secara drastis. Hingga pada akhirnya, Rumi menjadi seorang sufi agung yang populer dengan syair-syair indahnya. Suatu ketika, Syams Tabrizi meninggalkan Rumi tanpa memberitahukan ke mana tujuan dari kepergiannya itu. Rumi bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Maka, lahirlah sebuah kitab yang berjudul ''Diwan Syams Tabrizi'' yang berisi ghazal-ghazal kerinduan Rumi kepada Sang Guru, Syams Tabrizi.<ref>Annemarie Schimmel, ''Matahari Diwan Syams Tabrizi,'' Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2018, 1.</ref>