Hak atas sandang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Elis (WMID) (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 29:
 
== Pakaian sebagai Penanda Konstruksi Sosial ==
PakaianDi merupakanlingkungan masyarakat, dikenali adanya rumor yang merebak bahwa pakaian menjadi investasi dari para ibu yang ditanamkan khususnya kepada anak perempuannyaperempuan. Gagasan dan pemikiran yang erat pada benak masyarakat di mana “anak perempuan menjadi permata tersembunyi karena ia dapat didandani” mungkin merupakan suatu kesempatan, atauataupun sebaliknya, tidak memberikanmemberi kesempatan, kepadapada para ibu untuk memperolehmeraih penghargaan atas penampilan anak perempuannya yang tampak cantik, rapi, dan terurus,. yangWalaupun kemudian, yang diidentifikasi oleh orang lain sebagai penampilan atau pertunjukan bukan hanya sang gadis kecil melainkan,yang dantelah lebihdidandani penting lagitersebut, prestasimelainkan—dan yang lebih penting—prestasi ibunya. Lebih jauh lagi, gagasan itu merepresentasimenjadi representasi pernyataan tentang diri dan masyarakat terkait pakaian. Dalam bukunya, Prabasmoro mengemukakan bahwa para ibu cenderung melekatkan fungsi pakaian sebagai konstruksi sosial untuk menandakan keluarga mereka termasuk golongan berada dengan memakaikan baju yang rapi dan elok kepada anak-anaknya bahkan bersikap seolah reputasi mereka bergantung kepada pakaian anak-anak mereka tersebut, "Pada konteks tahun 1950-an (atau bahkan sekarang), para ibu menggantungkan reputasinya melalui penampilan atau prestasi anak-anaknya. Suatu artikel dari majalan bulanan ''Housekeeping'', 13 Mei 1955, yang berjudul “The Good Wife’s Guide”, membuktikan kebutuhan para ibu untuk memastikan penampilan menarik anak-anaknya."<ref>Prabasmoro 2006, hlm. 405.</ref>
 
Mendiskusikan gagasan mengenai pakaian juga berfaedah guna mengedepankan isu mengenai kelas ke permukaan. Gagasan untuk diakui sebagai identitas tertentu (''passing'') atau kelas tertentu (pakaian sebagai penanda kelas) menjadi sorotan di masyarakat. Kelas bukanlah semata-mata perkara penampilan atau pertunjukan melainkan sesuatu yang ditorehkan di bawah kulit dan tidak dapat diubah oleh penampilan atau pertunjukan atau penampilan di bawah permukaan. Berusaha untuk keluar dari kelas tempat seseorang berada menimbulkan risiko tinggi, “amnesia, rasa ditarik dari akarnya—dan terutama, mungkin, kehilangan keotentikan, ketidakmampuan untuk memahami kearifan, kekuatan, dan sumber-sumber akar mereka untuk menjalani perjalanan menuju kedewasaan."<ref> Kuhn 1995, hlm. 98.</ref> Oleh karenanya, seseorang semestinya tidak boleh dipaksa untuk mengenakan pakaian yang akan membuat dirinya dikungkung oleh stigma sosial atau menjadikan dirinya mendapatkan diskriminasi. Pakaian tenaga kerja di bidang yang melibatkan pekerjaan teknis dan memerlukan aktivitas fisik yang berat serta lebih banyak bertugas di lapangan identik dengan seragam berwarna biru. Seragam berwarna biru digunakan agar pakaian tersebut tidak lekas tampak kotor, sehingga kemudian pada sejarahnya, tenaga kerja tersebut dikenal dengan sebutan pekerja kerah biru. Pekerja kerah biru kemudian diriwayatkan sering dibenturkan dengan tenaga kerja yang dijuluki pekerja kerah putih dengan tugas yang tidak terlalu sering melibatkan aktivitas fisik yang berat sehingga mendapatkan diskriminasi. Stigma terhadap tenaga kerja yang demikian, layaknya dihapuskan sehingga seragam untuk masing-masing bidang tidak lagi identik dengan warna biru atau putih belaka.
Dalam bukunya, Prabasmoro mengemukakan bahwa para ibu cenderung melekatkan fungsi pakaian sebagai konstruksi sosial bahwa keluarga mereka termasuk golongan berada dengan memakaikan baju yang rapi dan elok kepada anak-anaknya bahkan bersikap seolah reputasi mereka bergantung kepada pakaian anak-anak mereka tersebut, "Pada konteks tahun 1950-an (atau bahkan sekarang), para ibu menggantungkan reputasinya melalui penampilan atau prestasi anak-anaknya. Suatu artikel dari majalan bulanan ''Housekeeping'', 13 Mei 1955, yang berjudul “The Good Wife’s Guide”, membuktikan kebutuhan para ibu untuk memastikan penampilan menarik anak-anaknya."<ref>Prabasmoro 2006, hlm. 405.</ref>
 
Mendiskusikan gagasan mengenai pakaian juga bermanfaat untuk mengedepankan isu mengenai kelas ke permukaan. Gagasan untuk diakui sebagai identitas tertentu (''passing'') atau kelas tertentu (pakaian sebagai penanda kelas).
 
Kelas bukanlah semata-mata perkara penampilan atau pertunjukan melainkan sesuatu yang ditorehkan di bawah kulit dan tidak dapat diubah oleh penampilan atau pertunjukan atau penampilan di bawah permukaan. Berusaha untuk keluar dari kelas tempat seseorang berada menimbulkan risiko tinggi, “amnesia, rasa ditarik dari akarnya—dan terutama, mungkin, kehilangan keotentikan, ketidakmampuan untuk memahami kearifan, kekuatan, dan sumber-sumber akar mereka untuk menjalani perjalanan menuju kedewasaan."<ref> Kuhn 1995, hlm. 98.</ref>
 
Seseorang semestinya tidak boleh dipaksa untuk mengenakan pakaian yang akan membuat dirinya dikungkung oleh stigma sosial atau menjadikan dirinya mendapatkan diskriminasi.
 
== Pakaian sebagai Kebutuhan ==
Baris 50 ⟶ 44:
Mode dan gaya hidup pilihan seseorang untuk untuk dikenakan dan dijalani sesungguhnya meliputi busana, aksesoris, selera makan dan minum, moda transportasi, hiburan, tontonan, aktivitas yang dilakukan saat menghabiskan waktu luang, barang-barang produksi maupun konsumsi, dan sebagainya. Dalam penelitian oleh Tri Yulia Trisnawati, dikemukakan bahwa Alex Thio menyatakan, “''fashion is a great though brief enthusiasm among relatively large number of people for a particular innovation''.” Jadi sebenarnya ''fashion'' bisa mencakup apa saja yang diikuti oleh banyak orang dan menjadi tren. ''Fashion'' juga berkaitan dengan unsur ''novelty'' atau kebaruan, oleh karena itu ''fashion'' cenderung berumur pendek dan dan tidak bersifat kekal.<ref>Thio 1987, hlm. 36.</ref>
 
Pakaian menjadi suatu media untuk memproyeksikan pilihan mode yang dikehendaki seseorang untuk ditampilkan dan dilihat oleh orang lain. Aquarini Priyatna Prabasmoro dalam buku ''Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop'' mengemukakan tentang kelayakan pakaian yang dikenakan, “Keharusan untuk memakai pakaian “dengan tepat” atau “dengan layak” tidak dapat dianggap semata-mata sebagai persoalan disiplin ber-''fashion'' melainkan harus ditanggapiditanggdaapi secara serius sebagai pelanggaran hak seseorang untuk menyatakan ungkapan pribadinya sebagai Diri melalui pernyataan ''fashion''-nya. Apa “yang seharusnya” atau “yang layak” mengimplikasi bahwa dengan marka itu seseorang membuat keputusan apa yang diyakininya sebagai seharusnya dan layak bagi keseluruhan kelompoknya."<ref>Prabasmoro 2006, hlm. 400</ref>
 
Menurut Chaney di buku ''Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif'' yang dikutip oleh Hendariningrum dan Susilo, dalam masyarakat modern, gaya hidup membantu mendefinisikan mengenai sikap, nilai-nilai, kekayaan, serta posisi sosial seseorang.<ref>Chaney 2004 dalam Hendariningrum & Susilo 2008, hlm. 26</ref> Hal ini berkotonasi dengan individualisme, ekspresi diri, serta kesadaran diri untuk bergaya, dalam hal ini pakaian berperan penting sebagai salah satu komponen yang terlihat lebih mencolok dibandingkan unsur yang lainnya. Apalagi, tren dalam berbusana menjadi ikon utama dalam gaya hidup masyarakat yang semakin banyak ditampilkan di ruang publik.
Baris 73 ⟶ 67:
Pakaian adalah kesempatan bagi seseorang untuk mengekspresikan identitas diri dan kepribadiannya untuk dilihat oleh orang lain. Entah dirinya ingin dipandang sebagai orang kebanyakan ataupun orang yang unik dengan selera berbeda daripada yang lain, bahkan hingga di titik menggunakan gaya-gaya tertentu yang lain daripada yang lain. sebagai simbol identitas diri mereka. Sebagaimana menurut Willis, “''They use style in the symbolic work to express and develop their understanding of themselves as unique person, to signifying who they are and they think they are''.”<ref>Willis 1990 dalam Trisnawati 2011, hlm. 42.</ref>
 
Orang lain dengan serta merta dapat melihat kesan, nilai, maksud, makna, tujuan, dan pesan tertentu yang lekat pada seseorang melalui pakaian yang dikenakan. Demikian pula menurut Retno Hendariningrum dan Edy Susilo, “Benda-benda seperti baju dan aksesori yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.”<ref>Hendariningrum 2008, hlm. 25.</ref> Busana sebagai salah satu unsur penampilan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, busana yang tepat, rapi, memberi keindahahankeindahan, keserasian, serta keselarasan dapat menampilkan citra diri positif seseorang. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari tata cara berbusana dan berdandan, jenis dan warna pakaian yang dikenakan, serta tata krama yang sopan mencerminkan kepribadian seseorang.
 
Pakaian yang menjadi bagian dari fesyen dapat dimanfaatkan sebagai proyeksi dan ekspresi diri, serta media komunikasi dari seseorang yang mengenakannya kepada orang lain. Di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi,” Tri Yulia Trisnawati menyatakan bahwa pakaian sebagai fesyen dapat memberikan implikasi bagi penggunaan ''fesyen'' itu sendiri di dalam kaitannya dengan bagaimana orang bisa mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, karakter, identitas, emosi, dan perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi seseorang menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan pada saat hidup dalam bermasyarakat, di mana individualitas pada hakikatnya menjadi tolak ukur penilaian ataupun tafsiran terkait sebuah hubungan maupun interaksi antarmanusia. Karena fesyen dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak tersampaikan maupun tidak terucap secara verbal inilah, maka fesyen juga seringkali dimanfaatkan untuk dapat memperlihatkan dan menunjukkan identitas personal dari seorang individu. Hanya dengan melihat seseorang mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai dan menafsirkan karakter, kepribadian, maupun citra dirinya.<ref>Trisnawati 2011, hlm. 37.</ref>
Baris 83 ⟶ 77:
Fesyen merupakan pesan artifaktual yang ditampakkan melalui penampilan tubuh. Pakaian akan tampak begitu orang saling berhadapan. Bahkan ketika keduanya belum saling menyapa sekalipun. Menurut Kefgan dan Touchie, “pakaian menyampaikan pesan, pakaian terlihat sebelum suara terdengar…pakaian selalu berhubungan dengan perilaku tertentu.”<ref>Kefgan dalam Trisnawati 2011, hlm. 40.</ref> Hal ini seringkali tampak dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita seringkali menilai orang dari penampilan fisiknya, terutama yang diperlihatkan dari bagaimana cara dia berbusana.
 
Namun demikian, tidak semua orang membaca fesyen dengan cara yang sama, ada perbedaan gender, usia, kelas, dan ras. Akan tetapi semua yang berbagi kode-kodefesyenkode fesyen yang sama akan menginterprestasikan tanda-tanda itu relatif sama pula. Menurut Yasraf Amir Piliang, ''fashionfashion—'', yang dalam hal ini condongbertedensi kepada pakaian, menjadipakaian—menjadi ciri, identitas, danwatak, serta kepribadian dari pemakainyayang mengenakannya. Lebih lanjut Piliang mengemukakan, "Konsumerisme dan gaya hidup menjadikan prestise citra, perbedaan sebagai suatu kebutuhan (''need''), kesemuan dan artifisial yang ada di baliknya dianggap sebagai kebenaran."<ref>Piliang 1998 dalam Trisnawati 2011, hlm. 39.</ref>
 
Meskipun demikian, belum ada standar untuk apa yang disebut dengan “minimum” atau “layak” atas kepantasan pakaian yang dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Aturan mengenai pakaian yang layak dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia memang sudah ada, namun standar kelayakan itu sendiri belum ada.
Baris 100 ⟶ 94:
 
==== Jurnal ====
* Hendariningrum, Retno & M. Edy Susilo (2008). [https://media.neliti.com/media/publications/103100-ID-fashion-dan-gaya-hidup-identitas-dan-kom.pdf “Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi”]. ''Jurnal Ilmu Komunikasi''. '''6''': 25-32.
* Meyrasyawati, Dewi (2013). [https://media.neliti.com/media/publications/146568-ID-fesyen-dan-identitas-simbolisasi-budaya.pdf “Fesyen dan Identitas: Simbolisasi Budaya dan Agama dalam Busana Pengantin Jawa Muslim di Surabaya”]. ''Makara Seri Sosial Humaniora''. '''17(2)''': 99-108.
* Risnawati, V. Naniek (2012). [https://media.neliti.com/media/publications/132274-ID-perlunya-penampilan-dosen-dalam-memberik.pdf “Perlunya Penampilan Dosen dalam Memberikan Kuliah”]. ''Jurnal Stie Semarang''. '''4(1)''': 10-18.
* Trisnawati, Tri Yulia (2011). [https://journals.usm.ac.id/index.php/the-messenger/article/viewFile/268/170.%20Diakses%2012%20Oktober%202018 “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi”]. ''The Messenger''. '''3(1)''': 36-47.