Hak atas sandang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 70:
== Pakaian sebagai Proyeksi Kepribadian ==
 
Pakaian yang dikenakan dalam keseharian, dapat saja merefleksikan kepribadian seseorang. Di dalam kehidupan sosial, seseorang bisa dengan segera menilai penampilan yang tampak di luar saat pertama berinteraksi dengan orang lain sebelum mengintepretasikan kepribadiannya. Tampilan luar biasanya menjadi salah satu hal yang dinilai seseorang pada orang lain, bahkan di saat pertemuan pertama. Semata-mata karena penampilan fisiklah yang terlihat menonjol dibandingkan hal lainnya, bahkan meskipun sekadar sekilas pandang. Dalam hal ini, pakaian menjadi objek yang paling mencolok untuk diamati dari seseorang. Setidaknya, seseorang akan dinilai tampak dan tampil rapi atau lusuh—memperhatikan penampilan atau serampangan—hanya dari dilihat sepintas saja. Setelah mengenal seseorang cukup lama, pilihan pakaian dalam kesehariannya juga dapat menunjukkan citra dirinya. Sementara, keseharian dalam berpakaian tidak semata yang dikenakan di rumah atau di saat bersantai saja. Apa yang dipakai di dalam tempat tinggal bisa berbeda dari yang dikenakan di luar dengan penyesuaian tujuan dan kebutuhan. Lebih-lebih, desain dan bahan pakaian bisa berbeda sesuai fungsinya. Di rumah, seseorang mungkin nyaman hanya mengenakan busana kasual layaknya daster berbahan katun atau kaus dipadukan celana pendek, yang tentu saja tidak mungkin dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan di gedung megah dengan kode busana bertema formal yang mengharuskan para tamu setidaknya mengenakan kemeja lengan panjang dan celana panjang bagi pria atau gaun formal bagi wanita. Seperti halnya saat pergi ke luar rumah, seseorang pada umumnya mengenakan pakaian yang sesuai dengan acara atau tujuannya. Kepribadian seseorang pun bisa terlihat dari pakaian yang dikenakan untuk acara tertentu di tempat yang di luar kebiasaan untuk didatanginya. Kepribadian masing-masing individu yang berbeda, dapat mempengaruhi keputusan yang diambil mengenai pakaian bahkan walaupun menghadiri acara yang sama dengan kode busana yang sama pula. Belum lagi bila memiliki warna kesukaan yang berbeda, maka pakaian yang dikenakan tidak akan serupa di samping adanya perbedaan pilihan desain, pola, corak, jenis bahan, dan lainnya. Sebab itulah tidak bisa disangkal, pemilihan busana untuk apa pun yang dipakai, tidak lepas dari karakter seseorang. Setiap pilihan menjadi gaya individu dalam mengekspresikan diri, dan dengan gaya, seseorang bisa menunjukkan siapa jati dirinya. Pakaian yang dipilih, bisa menjadi karya seni yang unik dan tiada ternilai saat dikenakan sesuai dengan watak yang memakainya. Masing-masing individu secara visual menampilkan apa yang tak kasatmata di dalam dirinya kepada orang lain. Pakaian memainkan peran yang penting untuk bisa membantu seseorang memvisualisasikan diri. Seseorang tamu wanita di suatu resepsi pernikahan yang memilih untuk mengenakan kebaya modern berwarna [[toska]] dipadu dengan celana berbahan [[jins]] tidaklah mengherankan bila memiliki watak yang tidak mirip dengan seorang pria yang mengenakan setelan jas lengkap berwarna biru tua. Menurut V. Naniek Risnawati, “busana mengandung arti semua pakaian yang digunakan bagi seseorang mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki yang dapat mencerminkan kepribadian diri dan menampilkan citra diri…cara berbusana yang rapi dan serasi dapat menentukan identitas, kepribadian maupun watak seseorang.”<ref>Risnawati 2012, hlm. 10.</ref>
Menurut V. Naniek Risnawati, “busana mengandung arti semua pakaian yang digunakan bagi seseorang mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki yang dapat mencerminkan kepribadian diri dan menampilkan citra diri…cara berbusana yang rapi dan serasi dapat menentukan identitas, kepribadian maupun watak seseorang.”
 
Gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam aksesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri.
Pakaian adalah kesempatan bagi seseorang untuk mengekspresikan identitas diri dan kepribadiannya untuk dilihat oleh orang lain. Entah dirinya ingin dipandang sebagai orang kebanyakan ataupun orang yang unik dengan selera berbeda daripada yang lain, bahkan hingga di titik menggunakan gaya-gaya tertentu yang lain daripada yang lain. sebagai simbol identitas diri mereka. Sebagaimana menurut Willis, “''They use style in the symbolic work to express and develop their understanding of themselves as unique person, to signifying who they are and they think they are''.”<ref>Willis 1990 dalam Trisnawati 2011, hlm. 42.</ref>
 
Orang lain dengan serta merta dapat melihat kesan, nilai, maksud, makna, tujuan, dan pesan tertentu yang lekat pada seseorang melalui pakaian yang dikenakan. Demikian pula menurut Retno Hendariningrum dan Edy Susilo, “Benda-benda seperti baju dan aksesori yang dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi.”<ref>Hendariningrum 2008, hlm. 25.</ref> Busana sebagai salah satu unsur penampilan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, busana yang tepat, rapi, memberi keindahahan, keserasian, serta keselarasan dapat menampilkan citra diri positif seseorang. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari tata cara berbusana dan berdandan, jenis dan warna pakaian yang dikenakan, serta tata krama yang sopan mencerminkan kepribadian seseorang.
 
Pakaian yang menjadi bagian dari fesyen dapat dimanfaatkan sebagai proyeksi dan ekspresi diri, serta media komunikasi dari seseorang yang mengenakannya kepada orang lain. Di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi,” Tri Yulia Trisnawati menyatakan bahwa pakaian sebagai fesyen dapat memberikan implikasi bagi penggunaan ''fesyen'' itu sendiri di dalam kaitannya dengan bagaimana orang bisa mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, karakter, identitas, emosi, dan perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi seseorang menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan ketikapada kitasaat hidup dalam masyarakatbermasyarakat, dimanadi mana individualitas pada hakikatnya menjadi tolak ukur penilaian dalamataupun tafsiran terkait sebuah hubungan maupun interaksi antarmanusia. Karena fesyen bisadapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak tersampaikan maupun tidak terucap secara verbal inilah, maka fesyen juga seringkali digunakandimanfaatkan untuk dapat memperlihatkan dan menunjukkan identitas personal dari individuseorang yang bersangkutanindividu. Hanya dengan melihat seseorang mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai dan menafsirkan karakter, kepribadian, danmaupun citra dirinya.<ref>Trisnawati 2011, hlm. 37.</ref>
Busana sebagai salah satu unsur penampilan sangat mempengaruhi kepribadian seseorang, busana yang tepat, rapi, memberi keindahahan, keserasian, serta keselarasan dapat menampilkan citra diri positif seseorang. Kepribadian seseorang dapat dilihat dari tata cara berbusana dan berdandan, jenis dan warna pakaian yang dikenakan, serta tata krama yang sopan mencerminkan kepribadian seseorang.
 
Pakaian bukan semata kain yang dijahit atau dipintal menggunakan benang dengan tujuan sekadar sebagai penutup tubuh, akan tetapi juga memiliki kode-kode, petunjuk-petunjuk, penanda, ataupun tanda-tanda karena pakaian memformulasikan makna. Sehingga, pada hakikatnya, pakaian membawa dan mengantarkan sebuah pesan. Oleh karena itu fesyen (yang dalam hal ini, pakaian) menjadi simbol-simbol nonverbal yang ingin disampaikan oleh pemakainya sebagaimana yang diungkapkan Barnard di dalam jurnal Trinawati, “''fashion and clothing are form of nonverbal communication in that they do not use spoken or written words''.”<ref>Barnard 1996 dalam Trisnawati 2011, hlm. 39.</ref> Contohnya saja celana pendek yang menjadi penanda kesantaian, sehingga seringkali dikenakan untuk aktivitas yang santai seperti di rumah atau di pantai atau aktivitas bermain-main lainnya, dan tidak dipakai untuk menghadiri rapat resmi di kantor secara [[luring]]. Contoh lainnya bisa dilihat melalui pakaian seragam sekolah atasan putih beremblem ''badge'' Merah Putih SD berlatar warna kemerahan di saku kiri disertai bawahan—baik celana ataupun rok—merah dilengkapi dasi merah dan topi merah putih berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan, menandakan bahwa yang mengenakannya adalah murid SD di Indonesia. Beda lagi dari baju seragam sekolah atasan kemeja putih beremblem OSIS berlatar warna kuning di saku kiri dibarengi bawahan biru tua yang dipadukan dasi biru tua dan topi biru tua berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan berlatar putih, menjadi kode dan tanda bahwa sang pemakainya adalah siswa SMP di Indonesia. Tanda-tanda, penanda, petunjuk, dan kode-kode tersebut memberikan probabilitas bahwa pakaian membawa dan mengantarkan makna serta fungsi sebagaimana halnya bahasa, “''the language of fashion''.”
Pakaian yang menjadi bagian dari fesyen dapat dimanfaatkan sebagai proyeksi dan ekspresi diri, serta media komunikasi dari seseorang yang mengenakannya kepada orang lain. Di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi,” Tri Yulia Trisnawati menyatakan bahwa pakaian sebagai fesyen memberikan implikasi bagi penggunaan ''fesyen'' dalam kaitannya dengan bagaimana orang mengkomunikasikan nilai, status, kepribadian, identitas, dan perasaan kepada orang lain. Ciri dan identitas pribadi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditunjukkan ketika kita hidup dalam masyarakat, dimana individualitas menjadi tolak ukur penilaian dalam sebuah hubungan maupun interaksi. Karena fesyen bisa mengekspresikan sesuatu yang tidak terucap secara verbal inilah, maka fesyen juga seringkali digunakan untuk menunjukkan identitas personal dari individu yang bersangkutan. Hanya dengan mengenakan jenis pakaian tertentu maka, orang lain akan bisa menilai kepribadian dan citra dirinya.
 
Komunikasi nonverbal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi verbal. Pesan-pesan nonverbal seringkali mengikuti proses komunikasi verbal. Menurut Leathers di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi”, komunikasi nonverbal dapat diklasifikasikan menjadi 3tiga bagian, yaitu:termasuk di dalamnya adalah pesan nonverbal visual (meliputidi mana hal ini mencakup kinetik atauataupun gerak tubuh, proksemik atauataupun penggunaanpemanfaatan ruanganruang personal dan ruangan hubungan sosial, artifaktual seperti pakaianbusana, kosmetik), dan lainnya; pesan nonverbal auditif (meliputidi mana hal ini mencakup paraliguistik),; danserta pesan nonverbal nonvisual nonauditif atau tidakdalam hal ini pesan yang disampaikan bukanlah berupa kata-kata, bahkan tidak terlihat, danjuga tidak terdengar (meliputidi mana hal ini mencakup sentuhan danmaupun penciuman).<ref>Leathers dalam Trisnawati 2011, hlm. 40.</ref> Pakaian pada fungsinya kemudian dimanfaatkan sebagai pembawa pesan dari seseorang yang mengenakannya. Busana dikenakan lebih dikarenakan adanya nilai-nilai tanda dan kode yang terkandung di dalamnya. Busana yang dikenakan seseorang diperlihatkan untuk menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal dan mengungkapkan maksud.
Pakaian bukan semata kain yang dijahit atau dipintal menggunakan benang dengan tujuan sekadar sebagai penutup tubuh, akan tetapi juga memiliki kode-kode, petunjuk-petunjuk, penanda, ataupun tanda-tanda karena pakaian memformulasikan makna. Sehingga, pada hakikatnya, pakaian membawa dan mengantarkan sebuah pesan. Oleh karena itu fesyen (yang dalam hal ini, pakaian) menjadi simbol-simbol nonverbal yang ingin disampaikan oleh pemakainya, “''fashion and clothing are form of nonverbal communication in that they do not use spoken or written words''.” Contohnya saja celana pendek yang menjadi penanda kesantaian, sehingga seringkali dikenakan untuk aktivitas yang santai seperti di rumah atau di pantai atau aktivitas bermain-main lainnya, dan tidak dipakai untuk menghadiri rapat resmi di kantor secara [[luring]]. Contoh lainnya bisa dilihat melalui pakaian seragam sekolah atasan putih beremblem ''badge'' Merah Putih SD berlatar warna kemerahan di saku kiri disertai bawahan—baik celana ataupun rok—merah dilengkapi dasi merah dan topi merah putih berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan, menandakan bahwa yang mengenakannya adalah murid SD di Indonesia. Beda lagi dari baju seragam sekolah atasan kemeja putih beremblem OSIS berlatar warna kuning di saku kiri dibarengi bawahan biru tua yang dipadukan dasi biru tua dan topi biru tua berlogo Tut Wuri Handayani di bagian depan berlatar putih, menjadi kode dan tanda bahwa sang pemakainya adalah siswa SMP di Indonesia. Tanda-tanda, penanda, petunjuk, dan kode-kode tersebut memberikan probabilitas bahwa pakaian membawa dan mengantarkan makna serta fungsi sebagaimana halnya bahasa, “''the language of fashion''.”
 
Fesyen merupakan pesan artifaktual yang ditampakkan melalui penampilan tubuh. Pakaian akan tampak begitu orang saling berhadapan. Bahkan ketika keduanya belum saling menyapa sekalipun. Menurut Kefgan dan Touchie, “pakaian menyampaikan pesan, pakaian terlihat sebelum suara terdengar…pakaian selalu berhubungan dengan perilaku tertentu.”<ref>Kefgan dalam Trisnawati 2011, hlm. 40.</ref> Hal ini seringkali tampak dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita seringkali menilai orang dari penampilan fisiknya, terutama yang diperlihatkan dari bagaimana cara dia berbusana.
Komunikasi nonverbal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi verbal. Pesan-pesan nonverbal seringkali mengikuti proses komunikasi verbal. Menurut Leathers di dalam jurnal “Fashion sebagai Bentuk Ekspresi Diri dalam Komunikasi”, komunikasi nonverbal diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu: pesan nonverbal visual (meliputi kinetik atau gerak tubuh, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, artifaktual seperti pakaian, kosmetik), pesan nonverbal auditif (meliputi paraliguistik), dan pesan nonverbal nonvisual nonauditif atau tidak berupa kata-kata, tidak terlihat dan tidak terdengar (meliputi sentuhan dan penciuman). Pakaian pada fungsinya kemudian dimanfaatkan sebagai pembawa pesan dari seseorang yang mengenakannya. Busana dikenakan lebih dikarenakan adanya nilai-nilai tanda dan kode yang terkandung di dalamnya. Busana yang dikenakan seseorang diperlihatkan untuk menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal dan mengungkapkan maksud.
 
Namun demikian, tidak semua orang membaca fesyen dengan cara yang sama, ada perbedaan gender, usia, kelas, dan ras. Akan tetapi semua yang berbagi kode-kodefesyen yang sama akan menginterprestasikan tanda-tanda itu relatif sama pula. Menurut Yasraf Amir Piliang, ''fashion'', yang dalam hal ini condong kepada pakaian, menjadi ciri, identitas dan kepribadian dari pemakainya. Konsumerisme dan gaya hidup menjadikan prestise citra, perbedaan sebagai suatu kebutuhan, kesemuan dan artifisial yang ada di baliknya dianggap sebagai kebenaran.<ref>Piliang 1998 dalam Trisnawati 2011, hlm. 39.</ref>
Fesyen merupakan pesan artifaktual yang ditampakkan melalui penampilan tubuh. Pakaian akan tampak begitu orang saling berhadapan. Bahkan ketika keduanya belum saling menyapa sekalipun. Menurut Kefgan dan Touchie, “pakaian menyampaikan pesan, pakaian terlihat sebelum suara terdengar…pakaian selalu berhubungan dengan perilaku tertentu.” Hal ini seringkali tampak dalam kehidupan sehari-hari, di mana kita seringkali menilai orang dari penampilan fisiknya, terutama yang diperlihatkan dari bagaimana cara dia berbusana.
 
Namun demikian, tidak semua orang membaca fesyen dengan cara yang sama, ada perbedaan gender, usia, kelas, dan ras. Akan tetapi semua yang berbagi kode-kodefesyen yang sama akan menginterprestasikan tanda-tanda itu relatif sama pula.
Menurut Yasraf Amir Piliang, ''fashion'', yang dalam hal ini condong kepada pakaian, menjadi ciri, identitas dan kepribadian dari pemakainya. Konsumerisme dan gaya hidup menjadikan prestise citra, perbedaan sebagai suatu kebutuhan, kesemuan dan artifisial yang ada di baliknya dianggap sebagai kebenaran.
 
Meskipun demikian, belum ada standar untuk apa yang disebut dengan “minimum” atau “layak” atas kepantasan pakaian yang dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Aturan mengenai pakaian yang layak dikenakan sebagai bagian dari hak asasi manusia memang sudah ada, namun standar kelayakan itu sendiri belum ada.