Hamka: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahmatdenas (bicara | kontrib) k Suntingan Barron, Jr (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Rahmatdenas Tag: Pengembalian |
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android |
||
Baris 8:
|pseudonym = Hamka
|birth_date = {{birth date|1908|02|17}}
|birth_place = {{flagicon|Hindia Belanda}} [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[Kabupaten Agam|Agam]], [[
|death_date = {{Death date and age|1981|7|24|1908|2|17}}
|death_place = {{flagicon|Indonesia}} [[Jakarta]], Indonesia
|nationality = {{flagicon|Indonesia}} [[Indonesia]]
|ethnicity = Minangkabau
|school_tradition =
|notableworks = ''Tafsir Al-Azhar'' {{br}} ''[[Tenggelamnya Kapal Van der Wijck]]'' {{br}} ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah]]''
|subject =
|movement = [[Balai Pustaka]]
|children = [[Rusydi Hamka]]{{br}}[[Irfan Hamka]]{{br}}[[Aliyah Hamka]]{{br}}[[Afif Hamka]]{{br}}Hisyam Hamka{{br}}Husna Hamka{{br}}[[Fathiyah Hamka-Vickri]]{{br}}[[Helmi Hamka]]{{br}}[[Syakib Arsalan Hamka]]{{br}}[[Azizah Hamka]]{{br}}[[Fachry Hamka]]{{br}}[[Zaki Hamka]]
Baris 31:
}}
'''[[Profesor|Prof.]] [[Honoris Causa|DR.]] [[Haji (gelar)|H.]] Abdul Malik Karim Amrullah''' gelar '''Datuk Indomo''', populer dengan [[nama pena]]nya '''Hamka''' ({{lang-ar|عبد الملك كريم أمر الله}}; {{lahirmati|
Dibayangi nama besar ayahnya [[Abdul Karim Amrullah]], Hamka remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di [[Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek|Thawalib]], menempuh perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan Hamka pergi ke [[Mekkah]]. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami [[sejarah Islam]] dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah ''[[Pedoman Masyarakat]]''. Lewat karyanya ''[[Di Bawah Lindungan Ka'bah (novel)|Di Bawah Lindungan Ka'bah]]'' dan ''[[Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck]]'', nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
|