Safiatuddin dari Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Penambahan gambar kotak informasi
k →‎Ekonomi: Perbaikan tulisan
Baris 50:
|website =
}}
'''Sultanah Safiatuddin''' bergelar ''Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum [[Iskandar Muda dari Aceh|Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah]]''. Anak tertua dari [[Sultan Iskandar Muda]] dan dilahirkan pada tahun [[1612]]<ref name="kabari">[http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=31184 ''Perempuan-perempuan Aceh Tempo Dulu yang Perkasa.''] [http://www.kabarinews.com/ Kabari, 19 Maret 2008.]</ref> dengan nama '''Putri Sri Alam'''. ''Safiatud-din Tajul-’Alam'' memiliki arti “''kemurnian iman, mahkota dunia''.” Ia memerintah antara tahun [[1641]]-[[1675]]. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya.<ref name="kalyana">[http://www.kalyanamitra.or.id/kalyanamedia/2/1/kronik2.htm Kronik Perempuan-perempuan Pejuang Aceh di Kalyanamedia]</ref> Menurut sejarawan Sher Banu A.L. Khan, kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}} Selain itu, menurut ''[[Bustanus Salatin|Bustan us-Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh menggeliat pada masa Safiatuddin.{{sfn|Khan|2017|p=233}} Safiatuddin meninggal pada tanggal [[23 Oktober]] [[1675]].<ref name="kabari"/>
 
== Riwayat ==
Baris 57:
 
=== Masa pemerintahan ===
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam [[Perang Malaka]] tahun [[1639]]. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
 
==== Ekonomi ====
Menurut ''[[BustanBustanus us-Salatin]]'', ekonomi dan perdagangan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin mengalami perkembangan pesat. Sumber tersebut menjelaskan bahwa pelabuhan Aceh selalu sibuk dengan datangnya berbagai kapal pedagang asing. Selain itu, ''Bustan'' menyebutkan bahwa pada masa Safiatuddin, harga makanan murah dan Kerajaan Aceh menikmati kesejahteraan.
''Bustan'' juga menjelaskan bahwa emas dalam jumlah yang besar telah ditemukan pada masa Safiatuddin, sehingga meningkatkan pendapatan negara.{{sfn|Khan|2017|p=233-234}}
 
Perdagangan gajah di Aceh juga menggeliat pada masa Sultanah Safiatuddin. Antara tahun 1628 hingga 1635, terdapat sekitar 62 gajah yang diekspor dari Aaceh ke [[Benggala]] dan [[Masulipatnam]]. Pada tahun 1641, jumlah gajah yang diekspor dari Aceh ke Masulipatnam, Benggala, [[Orissa]], dan [[Koromandel]] tercatat sebanyak 32 ekor. Pada tahun 1644, [[Shah Shuja]] (putra [[Maharaja Mughal]] [[Shah Jahan]]) mengirim utusan ke Aceh untuk membeli 125 ekor gajah. Walaupun jumlah gajah yang dijual ke India setiap tahunnya berubah-ubah antara 2 hingga 32 ekor pada periode 1641 hingga 1662, pada tahun 1663 jumlahnya mencapai 43 ekor. Safiatuddin sendiri sangat melindungi komoditas gajah Aceh dan berhasil melindungi perdagangan gajah Aceh dari permintaan konsesi [[VOC]].{{sfn|Khan|2017|p=229}}
 
==== Hubungan luar negeri ====
Baris 72:
 
==== Sastra dan budaya ====
Kajian dan literatur Islam mengalami perkembangan pesat pada masa Sultanah Safiatuddin. Terdapat berbagai karya sastra penting yang ditulis pada masa kekuasaannya. [[Syekh al-Islam]] Aceh [[Nuruddin ar-Raniri]] menulis setidaknya tujuh buku mengenai agama, sejarah, literatur, dan hukum, seperti ''[[Shiratul Mustaqim]]'' (Jalan Lurus), ''[[Syaiful-Qutub]]'' (Obat untuk Hati), dan ''[[Bustanul Salathin fi Dzikrilawwalin wal-Akhirin]]'' (Kebun Sultan mengenai Biografi Tokoh Masa Lalu dan Depan). Safiatuddin juga menugaskan [[Abdurrauf as-Singkili|Abdul Rauf al-Singkel]] untuk menulis sebuah buku mengenai [[fikih]], yang kini dikenal dengan sebutan ''[[Mir’at al Tullab]]''. Buku yang diselesaikan pada tahun 1663 ini merupakan buku pertama mengenai hukum agama yang ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Dengan perkembangan berbagai karya ini, sejarawan Sher Banu A.L. Khan berkomentar bahwa masa Sultanah Safiatuddin dapat dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini".{{sfn|Khan|2017|p=191}}
 
== Lihat pula ==