Masjid Mantingan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
AnsyahF (bicara | kontrib)
k Tradisi dan kepercayaan
AnsyahF (bicara | kontrib)
Memperbarui permakaman
Baris 33:
 
Masjid ini memiliki [[gaya arsitektur]] campuran dari kebudayaan [[Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha|Hindu-Buddha]], [[Arsitektur Jawa|Jawa]], dan [[Budaya Tionghoa-Indonesia|Tionghoa]]. Contohnya adalah bentuk [[atap]] tumpang dan mustaka yang merupakan [[akulturasi]] dari arsitektur masa [[Majapahit]] dan Tionghoa. Kebudayaan Jawa dapat terlihat dari [[gapura]] masuk masjid dan sebuah [[petilasan]] candi di dekat masjid, meskipun sudah tidak utuh lagi.<ref name=":0" />
 
Pendirian masjid ini diperkirakan terjadi di tahun 1559, berdasarkan prasasti yang terdapat di [[mihrab]]. Prasati ini berisi sebuah [[candrasengkala]] yang berbunyi ''rupa brahmana warna sari'', yang menunjukkan arti angka tahun 1418 [[Tahun Saka|Saka]] (1559 [[Masehi]]).{{Sfn|Sugiyanti|1999|p=160}}
 
== Sejarah ==
{{External media|image1=[https://archive.org/details/in.gov.ignca.37053/page/13/mode/2up Foto-foto Masjid Mantingan dalam laporan ''Oudheidkundig Verslag 1930''], Internet Archive|float=right|width=250px}}
Masjid Mantingan diperkirakan berdiri pada tahun 1559 berdasarkan [[prasasti]] yang terdapat di [[mihrab]]. Prasasti ini berisi sebuah [[candrasengkala]] yang berbunyi ''rupa brahmana warna sari'', menunjukkan arti angka tahun 1418 [[Tahun Saka|Saka]] (1559 [[Masehi]]). Riwayat Masjid Mantingan juga berkaitan dengan [[Ratu Kalinyamat]] dan suaminya, [[Sultan Hadlirin]], yang dimakamkan di sana. Menurut tradisi Jawa, Ratu Kalinyamat adalah putri dari [[Kesultanan Demak|Sultan Demak]] ketiga [[Trenggana|Pangeran Trenggana]].{{Sfn|Sugiyanti|1999|p=160}} Konon, kompleks masjid tersebut dibangun oleh Ratu untuk mengatasi kesedihannya ketika suaminya dibunuh oleh [[Arya Panangsang]] terkait penerusan [[takhta]] Demak.<ref name=":0" />
Masjid Mantingan merupakan masjid kedua setelah [[Masjid Agung Demak]], yang dibangun pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 Masehi berdasarkan [[candrasengkala]] yang terukir pada mihrab Masjid Mantingan berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari”. Pembangunan masjid ini berkait dengan anak R. Muhayat Syeh, sultan Aceh, yang bernama R. Toyib. Pada awalnya R. Toyib yang dilahirkan di Aceh ini menimba ilmu ke Tanah Suci dan Negeri Tiongkok (Campa) untuk dakwah Islamiyah. Ia pergi ke Jawa (Jepara) dan menikah dengan [[Ratu Kalinyamat]] (Retno Kencono). Ratu ini adalah putri [[Sultan Trenggono]], sultan [[Kerajaan Demak]]. Akhirnya dia mendapat gelar [[Sultan Hadlirin]] dan sekaligus dinobatkan sebagai adipati Jepara hingga wafat.
 
Masjid ini merupakan salah satu pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara Pulau Jawa dan merupakan masjid kedua setelah masjid Agung Demak. Konon, pengawas pekerjaan pembangunan masjid ini adalah Babah Liem Mo Han.
 
Antara tahun 1977 dan 1978, [[Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia|Departemen pendidikan dan Kebudayaan]] [[Jawa Tengah]] melakukan pemugaran terhadap Masjid Mantingan melalui proyek yang bernama Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.{{Sfn|Sugiyanti|1999|p=160}}{{Sfn|Anom dkk.|1997|p=119}}
Masjid Mantingan sebagai salah satu konsep Masjid-Makam-Keraton, karena disanalah disemayamkan Sultan Hadlirin, pada tahun 1559 dengan sengkala Rupa Brahmana Warna Sari. Di Masjid Mantinganini kebudayaan dikembangkan pada ornament-ornamen yang digunakan berupa ukiran dengan motif suluran flora dan fauna yang disamarkan. Tipologi bangunan dengan konsep perpaduan Islam-Hindu terlihat jelas pada bentuk bangunan serta gapura yang berbentuk lengkung. Di dekat Masjid mantingan tersebut di dalamnya terdapat petilasan sebuah candi hindu yang sudah hilang.
 
== Arsitektur Masjid ==
Baris 53 ⟶ 49:
 
== Relief ==
Masjid Mantingan memiliki hiasan-hiasan berupa panel relief yang terdapat di dinding depan bangunan induknya. Selain di bangunan induk, panel relief ini juga terdapat di dinding belakang dan dinding pembatas antara ruangan tengah dengan samping kiri dan kanan, sehingga jumlah panel relief yang ada diterpasang masjid berjumlah 51. Bentuknya beragam antara [[persegi]], [[lingkaran]], [[heksagon]], hingga berbentuk [[kelelawar]]. Dalam panel ini terdapat relief [[wikt:id:sulur|sulur]], untaian tali, [[bunga]], [[daun]], dan binatang yang distilir (disamarkan).{{Sfn|Anom dkk.|1996|p=119}}
 
=== Foto koleksi [[Tropenmuseum|Tropenmuseum]] tahun 1930 ===
Baris 74 ⟶ 70:
 
== Permakaman ==
Di halaman belakang masjid, terdapat kompleks makam yang terdiri dari duatiga halaman. Seperti dengan makam-makam kuno, halaman ini memiliki tingkatan yang dibatasimenunjukkan olehkedudukan pagarsosial batayang dimakamkan. Halaman pertama disiimerupakan makam-makam kerabatumum. Halaman kedua jugamerupakan dikelilingimakam-makam pagarorang batayang danstatusnya mempunyaicukup sebuah gapura paduraksatinggi. GapuraSedangkan initeras merupakanketiga pintuadalah masukmakam keorang-orang bangunanyang cungkup.statusnya Tokohtinggi, terutama yang dimakamkandi adalahdalam cangkup. Ratu Kalinyamat dan suaminyaSultan PangeranHadlirin Hadiridimakamkan sertadi sini beserta kerabatnya. Halaman dua dengan halaman tiga dibatasi oleh candi [[paduraksa]], sementara halaman pertama dibatasi oleh [[candi bentar]].{{Sfn|Sugiyanti|1999|p=159-160}}<ref name=":1">{{Cite web|title=Makam dan Masjid Mantingan|url=http://tic.jepara.go.id/component/k2/item/185-makam-dan-masjid-mantingan|website=tic.jepara.go.id|language=en-gb|access-date=2021-02-11}}</ref>
 
=== Tradisi dan kepercayaan ===
Makam ini selalu ramai dikunjungi pada saat [[Haul]] untuk memperingati wafatnya Sunan Mantingan dengan upacara ''ganti luwur'' (penggantian kelambu). Upacara ini diselenggarakan setiap satu tahun pada tanggal 17 Rabiul 'Awal, sehari sebelum peringatan Hari Jadi Jepara.[[Rabiulawal]] Makam Mantingan sampai sekarang masih dianggap sakral dan mempunyai tuah bagi masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pohon [[pace]] yang tumbuh di sekitar makam, kononKonon bagi Ibu-ibu yang sudah sekian tahun menikah belum dikarunia putra, diharapkan sering berziarah ke Makammakam Mantingan dan mengambil buah pace[[mengkudu]] yang jatuhtumbuh di sekitar makam untuk dibuat [[rujak]] kemudian dimakan bersama suami.<ref name=":1">{{Cite web|last=|first=|date=|title=Masjid Mantingan|url=http://duniamasjid.islamic-center.or.id/109/masjid-mantingan/|website=Dunia Masjid :: Jakarta Islamic Centre|access-date=2021-02-11}}</ref>
 
Kepercayaan lain adalah adanya tuah ''air mantingan'' yang menurut kisahnya ampuh untuk menguji kejujuran seseorang dan membuktikan hal mana yang benar dan yang salah. Biasanya air keramat ini digunakan masyarakat Jepara dan sekitarnya bila sedang menghadapi suatu sengketa. Air ini diberi mantra dan doa lalu diminum.<ref name=":1" />
 
== Referensi ==