Bahasa Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
NFarras (bicara | kontrib)
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 36.68.92.183) dan mengembalikan revisi 17451871 oleh Rachmat04
Tag: Pengembalian manual
tambah bagian sejarah
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 48:
# [[Aceh Barat Daya]] (kecuali di kecamatan [[Susoh, Aceh Barat Daya|Susoh]] di mana [[bahasa Jamee]] dituturkan)
# [[Aceh Selatan]] (bercampur dengan [[bahasa Kluet]] dan [[bahasa Jamee]])
 
== Sejarah ==
Pada tahun 1931 pemerintah [[Hindia Belanda]] di Aceh menghendaki supaya bahasa Aceh dipergunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat, di samping bahasa Melayu yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Namun para cendikiawan Aceh yang di antaranya terdiri dari beberapa tokoh ''[[ulee balang]]'' tidak menyetujui maksud pemerintah Hindia Belanda tersebut. Para cendikiawan Aceh menganggap usaha pemerintah itu akan mencegah berkembangnya bahasa Melayu di Aceh. Dengan demikian akan menghambat rakyat Aceh untuk mengerti bahasa tersebut yang amat diperlukan bagi pengembangan ekonomi mereka, dan dalam berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Tetapi pemerintah Hindia Belanda di Aceh tetap bersikeras untuk melaksanakan rencana itu. Maka pada tanggal 1 Juli 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan secara resmi pemakaian bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rakyat sebagai pengganti bahasa Melayu kecuali di beberapa daerah yang tidak dihuni oleh etnis Aceh.
 
Meskipun bahasa Aceh telah ditetapkan sebagai bahasa pengantar sejak tanggal l Juli 1932, tetapi bahasa Melayu pada beberapa sekolah masih tetap digunakan. Menurut laporan umum pemerintah Hindia Belanda tentang pendidikan di Aceh pada tahun 1933 dan tahun 1934, masih terdapat 88 buah [[sekolah rakyat]] yang berada di kota-kota besar di Aceh yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, dan yang lainnya (sebanyak 207 buah) telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa bantu/pengantar. Adapun perinciannya di setiap kotakota besar yang terdapat di Aceh sebagai berikut:
* Yang telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar yaitu Langsa 16 buah, Lhok Seumawe 60 buah, Sigli 42 buah, Kutaraja 42 buah, Meulaboh 30 buah dan Tapak Tuan 17 buah.
* Yang tetap menggunakan bahasa Melayu yaitu Langsa 38 buah, Lhok Seumawe 5 buah, Sigli 6 buah, Kutaraja 7 buah, Meulaboh 1 buah dan Tapak Tuan 34 buah.
 
Menurut J. Jongejans yang menjabat sebagai Residen di Aceh sejak 5 Maret 1936 hingga bulan September 1938, pada tahun 1939 dari 328 buah jumlah sekolah rakyat yang te rdapat di seluruh Aceh, 210 buah di antaranya telah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa bantu/pengantar di sarnping bahasa Melayu.<ref>{{Cite book|last=Sufi|first=Rusdi|date=1998|url=http://pustaka.kebudayaan.kemdikbud.go.id/index.php?p=fstream&fid=1543&bid=4833|title=Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942)|location=Banda Aceh|publisher=Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh|isbn=979-95312-4-1|pages=19-21}}</ref>
 
== Literatur ==