Muhammad dari Banjar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
Baris 282:
 
== Dinasti Tamjidullah I ==
Siasat Tamjidillah I berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat [[1761]]<ref name="kardiyat">{{id}}A. Kardiyat Wiharyanto; Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX, [[Universitas Sanata Dharma]], 2006</ref>, sementara [[Putera Mahkota]] masih kecil, karena itulah jabatan [[mangkubumi]] kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum [[dewasa]], dan Tamjidullah I menunjuk puteranya sendiri yaitu Pangeran Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai [[Sunan Nata Alam]], [[raja]] dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke-18. Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Chamidullah/[[Sultan Kuning]] mangkat, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar [[tahta]] tetap dipegangnya dan [[ahli waris]] berada pada garis keturunannya. Nata Alam/Sulaiman Saidullah I mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum [[bangsawan]], dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah II yang saat itu baru berusia 6 tahun ([[1767]]). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun [[1782]] kembali diangkatnya [[cucu]] yang baru lahir dengan [[gelar]] Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya. Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar ([[1787]] – [[1801]]).<ref name="Kerajaan Banjar"/>
 
Siasat Tamjidillah I berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat pada 16 Januari [[1761]]<ref name="kardiyat">{{id}}A. Kardiyat Wiharyanto; Sejarah Indonesia madya abad XVI-XIX, [[Universitas Sanata Dharma]], 2006</ref>, sementara [[Putera Mahkota]] masih kecil, karena itulah jabatan [[mangkubumi]] kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum [[dewasa]], dan Tamjidullah I menunjuk puteranya sendiri yaitu Pangeran Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai [[Sunan Nata Alam]], [[raja]] dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke-18. Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Chamidullah/[[Sultan Kuning]] mangkat, kembali terulang setelah Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah mangkat. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar [[tahta]] tetap dipegangnya dan [[ahli waris]] berada pada garis keturunannya. Nata Alam/Sulaiman Saidullah I mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum [[bangsawan]], dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaiman Saidullah II yang saat itu baru berusia 6 tahun ([[1767]]). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun [[1782]] kembali diangkatnya [[cucu]] yang baru lahir dengan [[gelar]] Sultan Adam al-Watsiq Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengan mudah diperolehnya. Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar ([[1787]] – [[1801]]).<ref name="Kerajaan Banjar"/>
 
== Kematian tahun 1761==