Kewartawanan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: kadangkala → kadang kala
Tag: Dikembalikan
Baris 15:
 
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh [[Belanda]]. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah ''Bintang Timoer'', ''Bintang Barat'', ''Java Bode'', dan ''Medan Prijaji ''terbit.
 
Pada masa [[Indonesia: Era Jepang|pendudukan Jepang]] mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: ''Asia Raja'', ''Tjahaja'', ''Sinar Baru'', ''Sinar Matahari'', dan ''Suara Asia''.
 
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan [[Radio Republik Indonesia]] sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan [[Asian Games]] IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak [[1962]] inilah [[Televisi Republik Indonesia]] muncul dengan teknologi layar hitam putih.
 
Masa kekuasaan Presiden [[Soeharto]], banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus [[Harian Indonesia Raya]] dan [[Majalah Tempo]] (yang saat ini masih eksis) merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan [[Persatuan Wartawan Indonesia]] (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan [[Aliansi Jurnalis Independen]] (AJI) yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih (salah satu tempat pendidikan wartawan Tempo), [[Jawa Barat]]. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
 
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat Bacharuddin Jusuf Habibie ([[BJ Habibie]]) menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
 
Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dikeluarkan [[Dewan Pers]] dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau [[KPI]].
 
== Lihat pula ==