Fikih: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 30:
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, pemegang otoritas fikih adalah para sahabat, yakni [[Khulafaur Rashidin]]. Para sahabat berpegang teguh pada dua sumber utama, yakni ''Ajâtul Ahkâm'' yang bersumber dari [[Al-Qur'an]] dan ''Ahâdietsul Ahkâm'' yang berasal dari [[Hadis]].{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=24. : "Setelah Rasul SAW meninggal dunia, kembali ke hadirat Ar Rafiequl A'la, dipeganglah kendali fiqh oleh sahabat-sahabat besar, terutama Khulafaur Rasyidin,"}}
 
Pada masa itu para sahabat mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad di berbagai pelosok negeri dari para perawi. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hadis-hadis yang shohih. Para sahabt juga sangat berhati-hati dalam mengumpulkan hadis-hadis agar tidak ditemukan para pemalsu hadis. [[Abu Bakar Ash-Shiddiq]] dan [[Umar bin Khattab]] bahkan benar-benar menyaring para perawi hadis, caranya adalah para perawi yang akan menyampaikan hadis harus bisa menghadirkan sedikitnya dua orang saksi yang dapat membenarkan riwayatnya. Jika para saksi membenarkan riwayat hadis dari perawi, maka riwayat perawi tersebut diterima. Namun, jika pewari tidak mampu menghadirkan saksi, maka riwayatnya ditolak.{{Sfn|Ash' Shiddieqy|1962|p=24. : "Setelah Rasul SAW meninggal dunia, kembali ke hadirat Ar Rafiequl A'la, dipeganglah kendali fiqh oleh sahabat-sahabat besar, terutama Khulafaur Rasyidin,"}}
 
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan [[adat]], [[budaya]] dan [[tradisi]] yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan [[dalil]] yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua. Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di [[Hadis]] maka para faqih ini melakukan [[ijtihad]].<ref name="MQ" />