Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 44:
Terlepas dari hambatan ini, pada awal abad ke-17, Gowa dan Tallo berhasil menjadi kekuatan paling utama di semenanjung Sulawesi Selatan dengan menyokong perdagangan internasional serta membantu [[Penyebaran Islam di Nusantara|penyebaran agama Islam]].{{sfnp|Wellen|2014|pp=29, 177}} Antara tahun 1608 dan 1611, pasukan Gowa berhasil menaklukkan negeri-negeri di Sulawesi Selatan, mengislamkan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611.{{sfnp|Andaya|1981|p=33}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=136–137}} Setelahnya, ''Tellumpoccoé'' menyerahkan kendali atas urusan hubungan luar mereka kepada Gowa, walaupun mereka diperbolehkan mempertahankan persekutuan tersebut dan masih diberi kebebasan untuk mengatur urusan dalam negeri mereka.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=37–38}} Kebijakan ini ternyata cukup berhasil mengambil hati orang-orang Bugis, khususnya Wajo yang menjadi semakin setia kepada Gowa. ''Arung Matoa'' To Mappassaungngé (menjabat 1627–1628{{sfnp|Abidin|1985|p=576}}) bahkan menawarkan untuk menjaga ibu kota Gowa ketika penguasanya sedang pergi berperang, walaupun ia tidak diharuskan untuk melakukannya.{{sfnp|Andaya|1981|pp=37–38}} Pada masa ini pula orang-orang Wajo mulai merantau ke [[Makassar]] untuk berdagang, bersamaan dengan bertumbuhnya jalur pelayaran dari Danau Tempe ke [[Teluk Bone]] melalui muara [[Sungai Walanae|Sungai Cenrana]].{{sfnp|Pelras|1996|pp=140–141}}
 
Wajo kembali terlibat dalam konflik ketika penguasa Bone [[La Maddaremmeng]] (memerintah 1626–1643), entah dengan alasan politis atau agama, menyerang dan menjarah [[Peneki, Takkalalla, Wajo|Pénéki]], salah satu daerah bawahan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|p=40}}{{efn|La Maddaremmeng sebelumnya telah memicu kontroversi, sebab ia disebutkan menerapkan agama Islam dengan lebih tegas kepada rakyatnya. Ia juga menghapuskan perbudakan (kecuali yang berdasarkan keturunan), dan memaksa anggota ''Tellumpoccoé'' yang lain untuk mengikuti langkahnya. Upaya Bone untuk menyebarkan pengaruh agamanya kepada negeri Bugis yang lain ditanggapi negatif oleh Gowa, sebab bagi Gowa, ini merupakan penentangan terhadap hegemoninya di Sulawesi Selatan.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=39–40}}{{sfnp|Pelras|1996|p=142}}}} Karena La Maddaremmeng menolak untuk memberi ganti rugi akibat penjarahannya di Pénéki, Wajo pun menyatakan perang terhadap Bone.{{sfnp|Wellen|2014|p=29}} Gowa dan Soppeng memihak Wajo dalam konflik ini, dan pasukan gabungan mereka berhasil mengalahkan Bone pada akhir 1643.{{sfnp|Andaya|1981|pp=39–40}}{{sfnp|Pelras|1996|p=142}} Bone dihukum keras dengan dijadikan negeri bawahan Gowa,{{sfnp|Wellen|2014|p=29}} dengandan seorangpenguasanya digantikan oleh wali negeri dari kalangan Bone yang memerintah atas nama bangsawan Makassar. Sebuah pemberontakan lanjutan dari saudara La Maddaremmeng juga berhasil dipadamkan. Status Bone kembali diturunkan menjadi "budak" (jajahan) Gowa, sementara keluarga bangsawannya ditawan serta dibawa paksa ke Gowa.{{sfnp|Andaya|1981|pp=41–42}}{{sfnp|Pelras|1996|pp=142–143}} Beberapa wilayah sengketa yang dikuasai Bone diambil alih oleh Wajo, dan sejumlah besar rakyat Bone dibawa untuk melakukan kerja paksa di Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|pp=29–30}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=42–43}} Kejadian ini menumbuhkan rasa dendam pada rakyat Bone terhadap Gowa dan Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|p=43}}
 
=== Perang Makassar dan migrasi orang-orang Wajo (1660–1730) ===
Memasuki perempat kedua abad ke-17, Gowa-Tallo menjadi negeri terkuat di Nusantara bagian timur baik secara politik maupun ekonomi. Akibat upaya kerajaan kembar ini untuk mempertahankan hegemoni, mereka berselisih dengan [[Vereenigde Oostindische Compagnie|Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC), yang ingin memonopoli [[perdagangan rempah]] di [[Kepulauan Maluku]].{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=45–47}} Pada tahun 1660, VOC menyerang Gowa dan berhasil mengambil alih kendali atas benteng di [[Panakkukang, Makassar|Paʼnakkukang]].{{sfnp|Andaya|1981|p=49}} Gowa lalu memaksa rakyat dari negeri-negeri bawahannya untuk bekerja membangun konstruksi militer sebagai antisipasi terhadap konflik lanjutan. Kerja paksa ini pada akhirnya menjadi pemicu pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan Bone [[Arung Palakka]].{{sfnp|Andaya|1981|pp=50–52}} Namun, usaha Arung Palakka untuk menghidupkan kembali persekutuan ''Tellumpoccoé'' gagal, karena Wajo menolak untuk memutuskan perjanjiannya dengan Gowa.{{sfnp|Wellen|2014|p=30}}{{sfnp|Andaya|1981|p=54}} Terlebih lagi, ''Arung Matoa'' Wajo kala itu, [[La Tenrilai To Sengngeng]] (menjabat 1658–1670), merupakan menantu dari Sultan Gowa [[Hasanuddin dari Gowa|Hasanuddin]].{{sfnp|Andaya|1981|p=55}} <!-- According to the historian [[Leonard Andaya]], Wajoq's decision can be explained by the fact that its recent experiences with Gowa were much more positive than those with Boné.{{sfnp|Andaya|1981|pp=54–55}} In the most recent memory of the Wajorese, it was Boné, not Gowa, which invaded their country. Wajoq and Boné also had frequent disputes over territorial boundaries and the allegiance of their vassals.{{sfnp|Andaya|1981|pp=54–55}}{{efn|system of vassals...}} On the other hand, Wajoq's relationship with Gowa had been more friendly in the preceding years; Wajoq was one of Gowa's most trusted vassals, with the ''arung matoa'' [[La Tenrilai To Senngeng]] (menjabat 1658–1670) had even been married to a daughter of Gowa ruler [[Hasanuddin of Gowa|Hasanuddin]] (r. 1653–1669).{{sfnp|Andaya|1981|pp=37, 54–55}}--> Karena tiadanya dukungan yang cukup, pemberontakan ini pun berhasil ditumpas oleh pasukan gabungan Gowa dan Wajo, sehingga memaksa Arung Palakka melarikan diri ke [[Kesultanan Buton|Buton]], sebelum kemudian pergi ke [[Batavia]] untuk meminta bantuan dari VOC.{{sfnp|Andaya|1981|pp=56–59, 66}}
 
Selama [[Perang Makassar]] (1666–1669), Wajo memberi dukungan penuh bagi Gowa untuk menghadapi VOC serta pasukan pimpinan Arung Palakka dari Bone dan sekutu-sekutunya. Bahkan ketika istana Gowa di Somba Opu jatuh ke tangan musuh dan Gowa-Tallo menyerah secara resmi, ''Arung Matoa'' La Tenrilai To Sengngeng tetap menolak untuk tunduk kepada [[Perjanjian Bungaya]] dan terus memberikan perlawanan kepada pasukan Belanda dan Bone.{{sfnp|Wellen|2014|pp=31–32}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=37, 124–126, 138}} Pada pertengahan tahun 1670, Arung Palakka pun melancarkan invasi besar-besaran ke tanah Wajo.<!-- Along the way, several Wajoq's vassals deserted and joined Boné forces, bringing the total number of invading forces to around 40,000 people when it arrived to besiege Tosora, the walled capital city of Wajoq.{{sfnp|Andaya|1981|pp=138–139}}--> Meski pasukan Arung Palakka mendapati perlawanan yang gigih dari orang-orang Wajo, benteng ibu kota Wajo di Tosora akhirnya [[Pengepungan Tosora|jatuh ke pihak Bone]] pada Desember 1670. La Tenrilai [[gugur dalam tugas|gugur di medan pertempuran]], dan penerusnya La Paliliʼ To Malu (menjabat 1670–1679) terpaksa menandatangani perjanjian yang membatasi kekuatan politik, niaga, serta militer Wajo, ditambah dengan Perjanjian Bungaya.{{sfnp|Wellen|2014|pp=33–35}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=140–141}} Terlepas dari kekalahannya, Wajo masih mendapati pembalasan yang keras dari Arung Palakka dan orang-orang Bone. Banyak orang Wajo yang diculik, dirampas barangnya, atau dilecehkan; seorang Wajo dapat ditampar atau bahkan dibunuh jika tidak menuruti keinginan orang-orang Bone.{{sfnp|Wellen|2014|pp=36}} Bone juga mencaplok wilayah pesisir di muara Sungai Cenrana, yang merupakan satu-satunya jalur sungai yang menghubungkan pusat Wajo ke laut.{{sfnp|Andaya|1981|p=143}} Pengaduan Wajo kepada VOC di Makassar mengenai perlakuan semena-mena Bone juga tidak digubris.{{sfnp|Wellen|2014|pp=37–38}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=142–143}}{{efn|Ketika itu, VOC menghindari untuk berselisih dengan Arung Palakka, sebab ia merupakan sekutu yang terlalu penting. Apalagi, VOC juga memerlukan bantuan militernya dalam [[Pemberontakan Trunajaya]] (1678–1680) yang melibatkan VOC di Jawa.{{sfnp|Wellen|2014|pp=37–38}}{{sfnp|Andaya|1981|pp=142–143, 190–192, 205}}}}
 
Kesulitan yang dihadapi rakyat Wajo di tanah air menjadi pemicu migrasi keluar.{{sfnp|Andaya|1981|p=143}} Walaupun tradisi merantau telah menjadi bagian utama dari budaya Wajo sejak masa pendiriannya, tradisi ini semakin menonjol setelah Perang Makassar, ketika sejumlah besar orang Wajo bermigrasi ke luar negeri dan menetap di berbagai wilayah seperti Makassar, [[Kalimantan]] bagian timur, [[Nusa Tenggara]], dan kawasan sekitar [[Selat Malaka]].{{sfnp|Andaya|1981|p=143}}{{sfnp|Wellen|2009|pp=38, 82}}{{sfnp|Lineton|1975b|p=178}} Komunitas-komunitas rantau ini terhubung baik dengan tanah air mereka maupun kepada sesama komunitas melalui ikatan kekerabatan, niaga, dan hukum.{{sfnp|Wellen|2009|p=82}} Memasuki abad ke-18, penguasa-penguasa Wajo secara berturut-turut mulai memanfaatkan jaringan ini untuk membangkitkan negeri mereka kembali. Beberapa penguasa, misalnya, memerintahkan rakyat-rakyat Wajo di perantauan untuk membeli senjata demi memperkuat pertahanan Wajo.{{sfnp|Wellen|2009|p=82}}{{sfnp|Duli|2010|pp=144–145}} Perhatian yang signifikan juga diberikan kepada perniagaan; ''Arung Matoa'' La Tenriwerrung Puanna Sangngaji (menjabat 1711–1713) bahkan menyatakan bahwa hanya dengan mengejar kekayaan-lah orang-orang Wajo dapat "berdiri tegak".{{sfnp|Wellen|2009|p=82}} Penerusnya, [[La Saléwangeng To Tenrirua]] (menjabat 1713–1736), mendukung perdagangan internasional dengan cara-cara yang lebih praktis.{{sfnp|Wellen|2009|pp=82–83}} Ia [[pengerukan|mengeruk]] aliran sungai yang menuju ibu kota Tosora untuk memperlancar akses bagi kapal-kapal besar, memperkuat industri pertanian dan perikanan dengan meminta mereka menunjuk wakil dalam pemerintahan yang disebut sebagai ''akkajenangngeng'', mengadakan jabatan birokrasi baru yang bertugas secara khusus untuk mempromosikan perdagangan, serta mendirikan sebuah institusi yang berperan sebagai bank peminjam modal untuk perniagaan dan pertanian sekaligus sebagai badan jaminan sosial.{{sfnp|Duli|2010|pp=144–145}}{{sfnp|Wellen|2009|pp=82–83}}{{sfnp|Noorduyn|1955|p=126}}