Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 79:
Pasukan [[Jepang]] mendarat di Sulawesi Selatan pada 9 Februari 1942. Selama [[Perang Pasifik]], tenaga Jepang dipusatkan pada usaha untuk memenangkan perang, sehingga Jepang tidak memedulikan pembangunan di Wajo atau negeri Sulawesi Selatan lainnya.{{sfnp|Patunru|1983|p=75}}{{sfnp|Harvey|1974|pp=110–111}} Meski begitu, pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan tidak separah di Jawa; penduduk setempat tidak harus menjadi ''[[romusha]]'', walaupun mereka dipaksa untuk menyediakan beras bagi pasukan Jepang.{{sfnp|Harvey|1974|pp=116–117, 125–126}} Tidak lama setelah [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasikan kemerdekaan Indonesia]] pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan bersama dengan tentara [[Blok Sekutu dalam Perang Dunia II|Sekutu]].{{sfnp|Patunru|1983|p=76}} Opini di kalangan aristokrat Sulsel pun terbelah; sebagian di antaranya mengikuti ''Arumpone'' [[Andi Mappanyukki]] dengan mendukung pihak pro-republik, sementara sebagian lagi bersedia bekerja sama dengan Belanda terlebih dahulu. Di Wajo, ''Arung Matoa'' Andi Mangkonaʼ dan sebagian besar pejabat tinggi Wajo memilih untuk bekerja sama.{{sfnp|Harvey|1974|pp=139–140, 143–148, 155–157}} Sebagian kecil petinggi Wajo, seperti ''[[#Pemerintahan pusat dan daerah|Cakkuridi]]'' Andi Makkulau (menantu Andi Mappanyukki) dan ''Ranreng'' Tua Andi Ninnong, menentang posisi ini. Andi Makkulau mundur ke hutan dan menjadi [[gerilya|gerilyawan]] hingga tertangkap dan dipenjara.{{sfnp|Patunru|1983|p=77}}{{sfnp|Harvey|1974|pp=148, 156–157}} Suami Andi Ninnong terbunuh dalam [[Kampanye Sulawesi Selatan|kampanye pasifikasi]] [[Raymond Westerling|Westerling]], sementara putranya tewas di Jawa saat membantu perjuangan di sana.{{sfnp|Patunru|1983|pp=76–77}}{{sfnp|Harvey|1974|p=157}}
 
Pada Desember 1946, Wajo bergabung ke dalam [[Negara Indonesia Timur]] sebagai swapraja di bawah Daerah Sulawesi Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari [[Republik Indonesia Serikat]] setelah [[Konferensi Meja Bundar]] tahun 1949.{{sfnp|Patunru|1983|p=77}} ''Arung matoa'' terakhir, Andi Mangkonaʼ, meletakkan jabatannya pada 21 November 1949, walaupun Wajo masih terus bertahan sebagai swapraja selama beberapa tahun berikutnya.{{sfnp|Patunru|1983|p=78}} Akibat [[Negara Islam Indonesia|pemberontakan DI/TII]] yang diprakarsai [[Abdul Kahar Muzakkar|Kahar Muzakkar]] di Sulawesi Selatan pada awal 1950-an, banyak orang Wajo yang mengungsi dan merantau ke luar.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=23–24}} Daerah pesisir dan pegunungan yang jauh dari Sengkang menerima dampak paling parah dalam konflik ini.{{sfnp|Lineton|1975a|p=49}} Tatanan masyarakat lama Sulawesi Selatan berubah drastis setelah kemerdekaan Indonesia, terutama setelah pemberontakan Kahar Muzakkar.{{sfnp|Lineton|1975a|p=116}} Pada tahun 1957, swapraja Wajo (yang tadinya merupakan bagian dari Daerah Otonom Bone di bawah Provinsi Sulawesi) diubah menjadi daerah otonom tingkat II (setingkat [[kabupaten]]), dan Andi Tanjong diangkat sebagai kepala daerah pertamanya.{{sfnp|Patunru|1983|p=80}} Sistem swapraja baru benar-benar dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959.{{sfnp|Harvey|1974|p=382}} Setahun kemudian, seluruh 20 ''wanua'' bagian Wajo pun dilebur menjadi sepuluh [[kecamatan]], mengikuti sistem pembagian administratif di wilayah Indonesia lainnya.{{sfnp|Lineton|1975a|p=116}}{{sfnp|Patunru|1983|p=82}}
 
== Pemerintahan ==