Poerwadhie Atmodihardjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k replaced: Karir → Karier
OrophinBot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-\bDi tahun\b +Pada tahun, -\bdi tahun\b +pada tahun)
Baris 45:
Di Ngawi, Poerwadhie bersekolah di HIS, yang selanjutnya tamat dan melanjutkan ke ''Openbare MULO-School'' di [[Kota Madiun|Madiun]]. Setelah tamat dari MULO, dirinya pergi ke ''Particuliere Algemeene Middelbare School'' di Sala. Akan tetapi, di Sala, ia malah terseret terhadap kebiasaan hidup remaja yang cenderung mengarah ke hal yang negatif, dengan sering tidak masuk sekolah. Mengetahui hal tersebut, lantas sang ayah marah sehingga semua biaya sekolahnya otomatis dihentikan. Kejadian tersebut membuat Poerwadhie menjadi terpukul dan dirinya tidak bersedia untuk melanjutkan pendidikan. Dirinya semakin hari malah semakin terjebak pada kehidupan remaja yang cenderung mengarah ke hal-hal negatif, bahkan berjudi, dan lain sebagainya.
 
Kenakalan Poerwadhie tersebut ternyata tak berlangsung lama. Pada saat itu, datanglah orang Belanda dengan memberikan bantuan dalam mendirikan sekolah swasta di Paron. Poerwadhie ditunjuk sebagai Kepala Sekolah. Beberapa waktu kemudian, Poerwadhie lantas jatuh cinta terhadap seorang wanita yang bernama Mursini, yakni seorang pengajar di sekolah tersebut. Akan tetapi, cinta tersebut ternyata kadas, karena orang tua yang tidak merestui. Cinta yang tak berjalan dengan mulus tersbeut begitu membekas di hatinya, sehingga mengilhami karyanya yang berjudul "''Mung Kari Sasiliring Bawang''" atau '''Tinggal Selapis Kulit Bawang''<nowiki/>'. DiPada tahun 1939, pada saat menginjak usia 20 tahun, Poerwadhie menikahi Sri Juwariyah, yang merupakan gadis yang berasal dari Kendal. Pada tahun 1955, Poerwadhie menikah lagi dengan Sutami, gadis yang berasal dari Paron. Pernikahan dengan istri pertama telah membuahkan sebanyak 9 anak, sedangkan dengan istri kedua hanya membuahkan seorang anak. Istri yang pertama tetap setia mendampingi, sedangkan istri yang kedua bertempat tinggal di Paron, Ngawi.
 
== Karier ==
Poerwadhie pada awalnya bekerja menjadi guru di Paron. Akan tetapi, dirinya "tidak kerasan", sehingga memilih pindah ke Semarang dan bekerja di Kantor Jawatan Irigasi. Itupun "tidak kerasan" lagi, sehingga ia memilih untuk pergi ke Surabaya menjadi seorang pelayan di Toko Taiyo dan selanjutnya menjadi tukang penjual mesin jahit di General Electric. Dari Surabaya, ia kembali lagi ke Semarang dan bekerja menjadi seorang ahli ukur tanah di Banyubiru, Ambarawa. Dari Banyubiru, Poerwadhie pindah bekerja ke kantor yang sama di Kendal. Pada tahun 1940, pindah ke Dinas Militer di Cilacap dengan pangkat sersan dua. Selanjutnya, dipada tahun 1942, keluar dari dinas tersebut dan pindah ke Paron menjadi seorang penjual minyak. Tak berselang lama, pindah ke Jember untuk bekerja di Jawatan Kereta Api. Tahun 1945, pindah ke Kaliwungu dan bekerja di suatu pabrik pemain sandiwara Irama Masa. Beberapa hari dirinya berada di sana, ia pindah lagi ke Kendal dan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum.
 
Pada tanggal 5 Oktober 1945, Poerwadhi masuk TKR dengan pangkat letnan satu. Akan tetapi, jiwanya yang selalu ingin merasa "merdeka", tak mampu untuk menghalangi dirinya untuk terus berpindah. DiPada tahun 1949, dirinya bekerja sebagai mantri ukur tanah di Kendal. Pada tahun 1951, pindah ke Semarang dan bekerja di Dinas Bangunan Tentara. Tak lagma berselang, keluar dari pekerjaan tersebut dan mengembara sebagai seorang pengangguran. Dirinya berpindah-pindah dari Sala, Salatiga, dan Paron. Pada tahun 1955 hingga 1965, dirinya bekerja sebagai seorang redaksi Jaya Baya di Surabaya. Dirinya juga sempat menjadi redaksi di Crita Cekak dan Gotong Royong. Sejak tahun 1965, ia menikmati hidup sebagai "wong mardika", yakni dengan menjadi seorang penulis bebas.
 
Pelarian hidup dan unsur kecewa tentu banyak melatarbelakangi proses pengarangan Poerwadhie. Pada tahun 1944, dirinya menulis cerpen "''Begja kang Ambegjakake''" (Panji Pustaka, 15 Februari 1944). Cerpen yang berhasil dimuat tersebut semakin memacu semangatnya untuk terus menulis. Dirinya juga menyadari jika menulis ternyata bisa menghasilkan uang. Dirinya menulis menggunakan Bahasa Jawa, karena dirinya merasa jika Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa yang patut untuk dilestarikan. Di sisi lain, baginya, mengarang menjadi "istri kedua".