Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 143:
Praktik-praktik perniagaan Wajo, menurut sejarawan Hans Hägerdal, dapat dianggap sebagai paralel dari konsep "kapitalisme dagang" yang berkembang di Eropa.{{sfnp|Hägerdal|2015|p=51}} [[Jalur perdagangan|Jaringan perdagangan]] Wajo berkembang pesat selama abad ke-18 dan 19 hingga mampu menyaingi perdagangan Belanda;{{sfnp|Ammarell|2002|p=57}}{{sfnp|Lineton|1975a|p=18}} perniagaan tekstil VOC bahkan mengalami penurunan tajam akibat "penyelundupan" tekstil [[India]] oleh pedagang-pedagang Wajo yang mampu menghindari [[monopoli]] Belanda.{{sfnp|Wellen|2014|p=85}}{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Pedagang-pedagang Wajo juga seringkali berkolaborasi dengan Inggris yang merupakan saingan Belanda. Pada tahun 1820, bandar Inggris di [[Singapura]] disinggahi oleh 90 kapal dagang dari Wajo, dan jumlah ini bertambah menjadi 120 pada tahun berikutnya.{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Menurut laporan John Crawfurd, pada tahun 1820-an saja jumlah perantau Wajo di Singapura telah mencapai sekitar 2.000 hingga 3.000 jiwa.{{sfnp|Lineton|1975a|p=17}} Kehadiran pedagang-pedagang Wajo merupakan salah satu kunci utama keberhasilan komersial Singapura sebagai [[Entrepôt|bandar persinggahan]].{{sfnp|Druce|2020|pp=82–83}} Ekspansi perdagangan Wajo pada abad ke-18 dan 19 juga berdampak pada meningkatnya kemakmuran di tanah Wajo, serta menyokong pertumbuhan penduduk pada permukiman berbasis niaga di sepanjang jalur pelayaran menuju laut; [[Lagosi, Pammana, Wajo|Lagosi]] (bandar utama Wajo di pedalaman), misalnya, diperkirakan memiliki lebih dari 15.000 penduduk pada sekitar tahun 1840.{{sfnp|Lineton|1975a|p=19}}{{efn|Sebagai perbandingan, penduduk Makassar dan pulau-pulau kecil di sekitarnya pada tahun 1828 berjumlah sebanyak 19.007 jiwa.{{sfnp|Sutherland|2015|p=143}}}}
 
Perniagaan Wajo dapat berkembang dengan baik karena dukungan dari pemerintah di Wajo serta komunitas-komunitas Wajo di perantauan.{{sfnp|Wellen|2014|p=67–68}} Pemimpin-pemimpin dari komunitas Wajo di perantauan mengadakan pertemuan secara berkala untuk mendiskusikan kepentingan mereka. Salah satu konferensi pemimpin rantau pada sekitar awal abad ke-18 menghasilkan [[Kodifikasi|kodifikasi hukum]] yang mengatur perdagangan dan pelayaran orang-orang Wajo, atau yang lazim dikenal sebagai Undang-Undang [[Amanna Gappa]].{{sfnp|Wellen|2014|pp=64–65}}{{efn|Amanna Gappa sendiri merupakan pemimpin (''matoa'') komunitas rantau Wajo di Makassar kala itu, menjabat 1697–1723.{{sfnp|Noorduyn|2000|pp=476, 479}}}} Hukum ini utamanya ditujukan untuk menetapkan praktik bisnis yang adil: bahasannya mencakup masalah seperti peminjaman [[modal]] (uang maupun barang), pembagian untung-rugi, [[warisan]], hak-hak penumpang kapal dagang, hingga perlindungan [[properti]].{{sfnp|Wellen|2009|pp=84–90}} Aturan-aturan ini menjadi kerangka dasar bagi penyelesaian konflik antar pedagang-pedagang Wajo.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}} Menurut sejarawan Kathryn Anderson Wellen, hukum semacam ini "sangat tidak lazim, kalau tidak dapat dikatakan unik, untuk kawasan kepulauan Asia Tenggara pada masa modern awal".{{sfnp|Wellen|2009|p=84}}{{efn|Kutipan asli: "''Such a law code is highly unusual, if not unique, for early modern insular Southeast Asia''".{{sfnp|Wellen|2009|p=84}}}} Catatan Wajo dari abad ke-18 menyebutkan bahwa para pelanggar hukum ini mendapatkan hukuman yang keras, sehingga tampaknya hukum ini berlaku dengan efektif kala itu.{{sfnp|Wellen|2014|pp=71}}
 
Pemerintah Wajo memberi dukungan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mendorong kemajuan ekonomi. Pada awal abad ke-18, misalnya, ''Arung Matoa'' La Saléwangeng memerintahkan para petani untuk menyisihkan sebagian beras hasil panen mereka untuk disimpan di dalam [[Lumbung padi|lumbung]] yang dikelola pemerintah. Beras ini kemudian digunakan untuk memberi makan orang-orang yang membutuhkan serta sebagai cadangan pangan dalam masa paceklik. Sebagian pendapatan pajak dalam bentuk uang juga disisihkan sebagai dana yang [[kepemilikan bersama|dimiliki secara bersama]]. Dana ini dapat digunakan untuk keperluan [[investasi]] dalam bidang pertanian dan perdagangan, atau untuk keperluan jaminan sosial.{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83}} Pemerintah dapat meminjamkan dana tersebut kepada rakyat yang ingin memulai usaha, dengan syarat, pinjaman tersebut dikembalikan berikut sepertiga dari keuntungan mereka. Hasil keuntungan ini kemudian digunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan [[arsenal|gudang senjata]] serta renovasi masjid negara. Sistem ini memungkinkan rakyat Wajo dengan sumber daya terbatas untuk ikut terlibat dalam perniagaan, sekaligus memanfaatkan kekuatan ekonomi mereka untuk kemaslahatan masyarakat Wajo secara keseluruhan.{{sfnp|Noorduyn|1955|p=126}}{{sfnp|Wellen|2009|p=82–83, 97}}{{sfnp|Wellen|2014|p=76}}