Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Swarabakti (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 93:
 
[[File:Government of Wajo ID.svg|center|thumb|upright=2.5|{{center|Struktur pemerintahan Wajo}}]]
Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari di Wajo, ''arung matoa'' dibantu oleh tiga pasang pemimpin [[sipil]] dan [[militer]] yang dikenal secara kolektif sebagai ''Petta Ennengngé'' ('Tuan yang Enam'); setiap pasangnya mewakili masing-masing ''limpo''.{{sfnp|Abidin|1983|p=482}}{{sfnp|Henley|Caldwell|2019|p=245}} Pemimpin sipil sebuah ''limpo'' disebut ''ranreng'', sementara pemimpin militernya disebut ''baté lompo''.{{sfnp|Pelras|1996|p=178}} Gelar bagi para ''baté lompo'' disesuaikan dengan warna panji yang mereka bawa, yaitu ''Pilla'' atau 'Merah' bagi Béttémpola, ''Patola'' atau 'Warna-Warni' bagi Talotenreng, dan ''Cakkuridi'' atau 'Kuning' bagi Tua.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Abidin|1985|p=485}} Setiap ''ranreng'' dan ''baté lompo'' dalam ''Petta Ennengngé'' memiliki kekuasaan yang setara di antara mereka dan sama besarnya dengan sang ''arung matoa''. Meski begitu, secara tradisi, ''Pilla'' Wajo-lah yang dianggap sebagai panglima ''Petta Ennengngé'' tertinggi di kala perang, sementara ''Ranreng'' Béttémpola dianggap sebagai pejabat ''Petta Ennengngé'' tertinggi di kala damai.{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Noorduyn|1955|pp=62, 165}} Jika posisi ''arung matoa'' sedang lowong, maka ''Ranreng'' Bettempola pula yang [[pelaksana tugas|mengambil alih tugas]]nya untuk sementara hingga terpilih ''arung matoa'' yang baru.{{sfnp|Patunru|1983|p=66}}{{sfnp|Abidin|2017|p=158}}{{sfnp|Mundy|1848|p=63}} Keseluruhan ''Petta Ennengngé'' ditambah dengan ''arung matoa'' membantukmembentuk dewan pemerintahan tertinggi yang disebut sebagai ''Petta Wajoʼ'' ('Tuan di Wajo').{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Pelras|1996|p=178}}
 
''Petta Wajoʼ'' merupakan bagian dari dewan perwakilan lebih besar yang terdiri dari 40 anggota, juga dikenal sebagai ''Arung Patappuloé'' ('Empat Puluh Raja'), dengan ''arung matoa'' sebagai ketuanya.{{sfnp|Abidin|1983|p=482}}{{sfnp|Wellen|2014|pp=23, 165}} Selain dari ketujuh anggota ''Petta Wajoʼ'', setiap ''limpo'' menyumbang seorang ''suro'' atau [[kurir|utusan]], 4 orang ''arung mabbicara'' atau [[hakim]] yang memutuskan perkara, serta 6 orang ''arung paddokki-rokki'' atau hakim yang hanya bertugas sebagai penasihat;{{sfnp|Wellen|2014|p=23}}{{sfnp|Pelras|1971|p=172}} setiap perkara dari masyarakat akan diperiksa lebih dahulu oleh mereka sebelum diteruskan ke ''arung mabbicara''.{{sfnp|Hafid|2016|pp=513, 516}} ''Arung mabbicara'' juga merangkap jabatan sebagai [[kepala daerah]] di bawah limpo, sementara ''arung paddokki-rokki'' tidak memegang jabatan lain selain sebagai anggota dewan pemerintahan.{{sfnp|Abidin|2017|pp=151, 153}} Keseluruhan anggota dewan hanya berkumpul dalam masa-masa tertentu saja, termasuk di antaranya saat pemilihan ''arung matoa'' yang baru.{{sfnp|Wellen|2014|pp=23, 175}}{{sfnp|Wellen|2018|p=51}}
Baris 108:
Struktur pemerintahan tiap daerah di Wajo berbeda-beda, tetapi secara garis besar polanya tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pusat. ''Arung'' Paria, misalnya, hanya bersifat simbolis, sementara wewenang pemerintahan ada pada tangan wakilnya yang disebut ''arung malolo''. Paria juga dibagi menjadi tiga ''limpo'', yang masing-masingnya dipimpin oleh sepasang ''arung'' dan ''arung malolo'', serta beberapa pejabat rendah dengan tugas yang berbeda-beda. Wilayah Pammana dipimpin oleh seorang ''datu'', yang diwakili oleh ''maddanreng'' dalam urusan luar daerah, perang dan perayaan, atau oleh ''sulléwatang'' dalam urusan daerah dan keadaan gawat. Sementara Bélawa memiliki dua orang ''arung'', satu di wilayah barat dan satu di wilayah timur; masing-masingnya dibantu oleh seorang ''sulléwatang'' yang bertindak sebagai panglima perang.{{sfnp|Pelras|1971|p=173}}
 
Di bawah penjajahan tidak langsung yang diberlakukan oleh Belanda, Wajo masih diperbolehkan untuk memiliki [[pemerintahan sendiri]], walaupun kekuasannya sangatlah terbatas.{{sfnp|Patunru|1983|p=71}}{{sfnp|Harvey|1974|p=64}} Secara praktis, seluruh jabatan tinggi Wajo dihapuskan oleh Belanda, kecuali jabatan-jabatan di dalam ''Petta Wajoʼ'', yang kini hanya bersifat simbolis.{{sfnp|Lineton|1975a|pp=119–120}} Kekuasaan sebenarnya ada pada [[kontrolir]] ''civiel gezaghebber'' ('komandan sipil') yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.{{sfnp|Patunru|1983|p=71}}{{sfnp|Harvey|1974|p=64}} Namun, meski kekuasaan (''power'') kalangan aristokrat Sulawesi Selatan pada masa penjajahan berkurang, ahli ilmu politik [[Barbara Sillars Harvey]] berpendapat bahwa mereka masih memiliki wewenang (''authority'') yang signifikan, sehingga para [[pamong praja]] Belanda masih memerlukan kerja sama mereka untuk memastikan kepatuhan masyarakat kepada pemerintah kolonial.{{sfnp|Harvey|1974|p=99}}{{efn|Kutipan asli: "''The traditional rulers did not have the power to act on their own initiative without the approval of the Dutch administration; the colonial civil servants lacked authority over the population, and were dependent on the cooperation of the local aristocracy to ensure compliance of the people to government orders.''"{{sfnp|Harvey|1974|p=99}}}}
<!--
- Diaspora governmental structure (focus on Borneo and Makassar)...